Ekonomi Jadi Tantangan Terberat Taliban Setelah Berkuasa
Berhasil menggulingkan rezim pemerintahan bukanlah akhir dari perjuangan Taliban. Setelah berhasil berkuasa, kini mereka harus bisa mengatur soal perekonomian negara.
Berhasil menggulingkan rezim pemerintahan bukanlah akhir dari perjuangan Taliban. Setelah berhasil berkuasa, kini mereka harus bisa mengatur soal perekonomian negara.
Mewarisi perekonomian yang amat bergantung pada bantuan internasional, upaya Taliban kali ini akan jauh lebih sulit ketimbang memenangi peperangan di medan gerilya.
Langkah kaki Mayjen Chris Donahue, Komandan Divisi Udara AD AS ke pesawat kargo C-17 pada 30 Agustus silam, praktis mengakhiri intervensi AS di bumi Afghan.
Setelah hengkangnya AS sepaket dengan rezim pemerintah sebelumnya, kekuasaan pun penuh dipegang oleh Taliban. Tak ayal, masa depan negara ini pun ada di tangan para milisi tersebut.
Di satu sisi, kepergian AS memberikan kemapanan bagi Taliban dalam hal kekuatan militer. Tak terhitung banyaknya persenjataan mutakhir AS yang dibiarkan jatuh ke tangan Taliban saat mereka angkat kaki. Namun, di sisi lain, urusan negara bukan cuma berkutat di urusan militer dan keamanan.
Meski telah terbukti tangguh menahan invasi asing selama dua dekade lebih, Taliban masih minim pengalaman soal kenegaraan. Selain soal keamanan, jalannya negara juga sangat dipengaruhi dengan kekuatan ekonominya. Tanpa adanya fondasi ekonomi yang kuat, kejatuhan Afghanistan ke jurang krisis hanya jadi soal waktu saja.
Baca Juga: 14 Juta Warga Afghanistan Terancam Kelaparan
Pertumbuhan Ekonomi
Di atas kertas, mudah saja melihat berkembanganya perekonomian Afghanistan selama masa okupansi AS. Dari segi PDB, negara ini mampu mendongkrak pendapatan negara dari 8,1 miliar dollar AS pada 2003 menjadi 21,7 miliar dollar AS pada 2019.
Selama rentang waktu itu, negara ini memiliki rerata pertumbuhan sebesar 6,6 persen. Bahkan, di titik puncaknya pada 2009, Afghanistan mampu mendongkrak pertumbuhan PDB-nya hingga lebih dari 21 persen dalam satu tahun.
Membaiknya situasi ekonomi Afghanistan ini juga tecermin dari meningkatnya kualitas hidup masyarakatnya. Salah satunya dapat terlihat dari aspek kesehatan di mana jumlah pusat pelayanan kesehatan di Afghanistan meningkat dari 1.866 buah menjadi 2.408 buah selama 2005 hingga 2018.
Selain itu, membaiknya aspek kesehatan di negara ini juga terlihat dari rasio kematian bayi yang menurun dari 145 bayi per 1.000 kematian pada 2002 menjadi 104 bayi per 1.000 kematian di 2019.
Selain aspek kesehatan, aspek pendidikan juga menjadi hal yang terdongkrak selama masa intervensi AS di Afghanistan. Sebelum AS datang ke negara ini, total rerata lama sekolah anak hanya ada di angka 8 tahun.
Parahnya, akses pendidikan bagi anak di Afghanistan masih tak merata, di mana anak perempuan rata-rata hanya diberikan waktu untuk sekolah selama 4 tahun saja. Ketimpangan ini pun perlahan berhasil digerus pada 2018, di mana rata-rata lama sekolah anak perempuan bisa didongkrak hingga ke angka 8 tahun.
Makin terbukanya akses pendidikan pun berdampak positif pada pembebasan masyarakat dari buta aksara. Dalam rentang waktu yang sama, Afghanistan berhasil menggenjot tingkat literasi masyarakatnya dari angka 28 persen menjadi 43 persen.
Selaras dengan semakin banyaknya anak perempuan yang sekolah, pertumbuhan tingkat literasi ini pun paling dominan terlihat di bagian demografi ini, di mana tingkat literasi dapat ditingkatkan dari 13 persen menjadi 30 persen.
Baca Juga: PBB Minta Dunia Ulurkan Tangan untuk Warga Afghanistan
Ketergantungan
Namun, manisnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kesejahteraan ini tak sepenuhnya merefleksikan situasi ekonomi di Afghanistan. Kejanggalan pertama bisa terlihat dari data neraca perdagangan negara tersebut.
Selama 2003 sampai 2019, Afghanistan tak pernah membukukan surplus perdagangan sama sekali. Bahkan, selama rentang waktu tersebut, rerata defisit neraca perdagangan mereka nilainya fantastis di angka -4,8 miliar dollar AS.
Pada titik terendahnya di 2012, defisit ini menyentuh angka -8,5 miliar dollar AS. Angka tersebut nyaris separuh dari total PDB saat itu yang sebesar 17,9 miliar Dollar AS.
Hal ini mengindikasikan suatu hal yang problematik, yakni perekonomian negara ini tak pernah mampu berdiri sendiri. Nyatanya, selama ini memang perekonomian Afghanistan sangat bergantung pada bantuan internasional, terutama dari AS.
Menurut data dari Bank Dunia, sekitar 40 persen dari total PDB Afghanistan berasal dari bantuan. Bila merujuk pada berbagai studi sebelumnya, Afghanistan bisa dikategorikan ke dalam negara yang bergantung pada bantuan (aid dependent country) di mana bantuan mengambil porsi lebih dari 20 persen dari PDB nasional per tahu.
Ketergantungan terhadap bantuan internasional ini menjadi resep bagi bencana finansial Afghanistan. Hal ini karena bantuan yang selama ini mengalir kemungkinan besar akan mandek sejalan dengan hengkangnya AS dan koalisi barat dari Afghanistan. Tak hanya itu, hingga kini sekitar 9 miliar dollar AS cadangan devisa negara ini juga dibekukan oleh AS sehingga tak dapat diakses oleh Taliban.
Terlebih lagi, selama ini Taliban hanya bergantung pada bisnis ilegal, seperti opium, untuk mendanai aktivitas mereka. Selama ini, sebagai pemasok candu terbesar di dunia, strategi ini efektif untuk memberikan mereka dana yang diperlukan selama bergerilya. Namun, tentunya tidak mungkin bagi Taliban untuk menerapkan model bisnis ilegal seperti itu dalam lanskap perekonomian negara Afghanistan.
Baca Juga: Tidak Ada Lagi Pasukan AS, Afghanistan Kini Sepenuhnya Dikendalikan Taliban
Industri ekstraktif
Lantas, apakah ada jalan keluar bagi para milisi ini untuk mencegah Afghanistan jatuh ke jurang krisis ekonomi? Industri ekstraktif bisa jadi jawabannya. Ternyata, tak hanya subur, tanah Afghanistan juga kaya akan sumber daya mineral.
Menurut estimasi dari Kementerian Pertambangan dan Perminyakan Afghanistan di rezim sebelumnya, terdapat 60 juta ton cadangan tembaga yang belum termanfaatkan. Dengan harga jual saat ini dan seiring dengan meningkatnya permintaan mineral logam, jumlah tersebu setara dengan ratusan miliar Dollar AS.
Selain itu, masa depan industri pertambangan di Afghanistan menjadi menarik karena ditemukannya cadangan mineral tanah jarang dan litium yang berlimpah.
Sepuluh tahun silam, tim geolog dari AS serta Pentagon melakukan penelitian yang menemukan cadangan litium yang besar di Provinsi Ghazni. Temuan ini menyandingkan Afghanistan dengan Bolivia sebagai negara dengan cadangan litium terbesar saat itu.
Menurut telaah dari The International Energy Agency, permintaan terhadap litium, tembaga, nikel, kobalt dan logam tanah jarang akan meningkat seiring dengan tumbuhnya tren energi bersih.
Seperti diketahui, baterai sebagai salah satu implementasi dari tren energi bersih memanfaatkan mineral-mineral di atas. Selama ini, 75 persen dari suplai litium, kobalt, dan logam tanah jarang di dunia didominasi oleh China, Kongo, dan Australia saja.
Cadangan mineral yang seksi ini terbukti menarik negara-negara adidaya untuk turut ambil bagian. Salah satu yang telah tercium untuk ikut mencicipi gurihnya mineral tanah Afghanistan adalah China, di mana Menlu China Wang Yi telah mengundang petinggi Taliban Mullah Abdul Ghani Baradar untuk berkunjung pada 28 Juli lalu.
Minat China untuk mendatangkan modal ke Afghanistan sebetulnya bukanlah hal yang mengejutkan. Pasalnya, sebuah konsorsium tambang Mettalurgical Corp of China (MCC) dan Jiangxi Copper sebelumnya telah lebih dulu berbisnis dengan memeroleh konsesi tambang tembaga di negara ini selama 30 tahun terhitung dari 2008 lalu.
Namun, meskipun menyimpan potensi besar, pemanfaatan bahan tambang di Afghanistan tak dapat terjadi dalam satu malam. Pasalnya, selama ini Afghanistan masih belum mampu untuk memanfaatkan potensi mineralnya karena minimnya ketersediaan teknologi. Butuh investasi asing besar-besaran agar Afghanistan mampu menggali sumber dayanya.
Masalahnya, investasi di negara ini sulit dan penuh dengan resiko. Berdasarkan laporan Doing Business Survey dari Bank Dunia pada 2020, Afghanistan berada di peringkat 173 dari 190 negara.
Artinya, iklim bisnis dan investasi di negara ini masih sangat keruh akibat faktor instabilitas politik, keamanan yang tak terjamin, insititusi pemerintahan yang lemah, infrastruktur buruk hingga korupsi yang mengakar.
Tak hanya itu, Afghanistan juga akan mengalami kesulitan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya akibat SDM yang tak berkualitas. Industri ekstraktif seperti tambang membutuhkan pekerja yang mampu mengoperasikan peralatan canggih.
Padahal, selama ini sebagian besar masyarakat Afghanistan masih bergerak di sektor agrikultur. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa 44 persen dari total pekerja di Afghanistan bekerja di dan 60 persen rumah tangga di negara ini mendapat pendapatan dari sektor agrikultur.
Artinya, mau tidak mau, Taliban harus mau tunduk kepada hukum pasar dan perekonomian internasional apabila mau bertahan. Transformasi ekonomi negara ini tak akan bisa berjalan mulus tanpa adanya uluran tangan dari negara lain baik dalam bentuk bantuan maupun utamanya investasi.
Jika tidak, bisa dipastikan bencana kemanusiaan seperti kelaparan dan kemiskinan ekstrem akan menghantui Afghanistan. Ujungnya, negara ini bisa jatuh menjadi negara gagal (failed state) seperti negara lain di timur tengah termasuk Suriah dan Yaman. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Taliban Kuasai Aset Militer Pemberian AS pada Tentara Afghanistan