Menghadirkan Jaminan Rasa Aman dari Penghilangan Paksa
Korban, saksi, kerabat korban, dan setiap orang butuh komitmen negara untuk memberikan langkah nyata guna menjamin rasa aman dari ancaman penghilangan paksa.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
Jaminan rasa aman dari ancaman penghilangan paksa tidak hanya ditagih untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, tetapi juga untuk masa depan. Korban, saksi, kerabat korban, dan setiap orang butuh komitmen negara untuk memberikan langkah nyata guna menjamin rasa aman dari ancaman penghilangan paksa.
Sikap ini menjadi harapan yang terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, pertengahan Agustus lalu. Hari ini, 30 Agustus, sejak 2011, ditetapkan sebagai Hari Anti-penghilangan Paksa Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penetapan ini dijadikan momentum untuk mengingatkan masyarakat dunia bahwa pernah terjadi kejahatan penghilangan orang secara paksa di berbagai negara.
Hasil jajak pendapat Kompas juga memberikan pesan soal kekhawatiran publik pada lambannya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), khususnya terkait penghilangan paksa yang pernah terjadi di Indonesia. Kekhawatiran ini tampak dari keraguan responden (42,9 persen) soal kemampuan negara, dalam hal ini pemerintah, memberikan jaminan penyelesaian kasus-kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi di negeri ini.
Dalam sejarah Indonesia, setidaknya ada sembilan peristiwa besar yang menyebabkan tercerabutnya HAM atas jaminan rasa aman dari penghilangan paksa. Peristiwa tersebut di antaranya adalah tragedi 1965, Timor Timur, penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, pembantaian Talangsari, penembakan misterius, kerusuhan Tanjung Priok, penculikan aktivis 1997-1998, dan operasi militer di Papua. Setidaknya 50.000 orang dilaporkan hilang dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Tragedi 1965 menjadi kasus yang paling menarik perhatian publik. Di antara kasus lainnya, kasus ini mendapatkan respons tertinggi. Sebanyak 50,9 persen responden menyampaikan kasus ini belum tuntas ditangani sampai hari ini. Komnas HAM mencatat, setidaknya ada 32.744 korban yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya. DPR dan Mahkamah Agung pun telah merekomendasi rehabilitasi korban-korban tragedi 1965 ini. Namun, sampai saat ini permintaan maaf kepada keluarga korban belum juga dilakukan negara.
Selain tragedi 1965, kasus lain yang mendapat sorotan responden adalah penculikan aktivis pada 1997-1998. Sebanyak 43,5 persen responden menyatakan kasus ini belum tuntas sampai hari ini. Penelusuran kasus ini pun sebenarnya telah melahirkan empat rekomendasi penanganan dari DPR pada 2009. Namun, hingga kini rekomendasi untuk adanya pengadilan HAM ad hoc, pencarian 13 aktivis yang hilang, rehabilitasi keluarga korban, dan ratifikasi dari Komite Kerja Penghilangan Paksa (Committee on Enforced Disappearances/CED) PBB pun belum satu pun dilaksanakan.
Ratifikasi
Sejak dibentuk pada 1980, CED PBB telah menangani sedikitnya 50.000 kasus dari lebih dari 70 negara. Pada akhir 2020 tercatat seribu permintaan penanganan kasus mendesak untuk ditangani. Mayoritas kasus yang terdaftar (91 persen) menyangkut penghilangan paksa di Irak dan Meksiko.
Tidak hanya kejahatan penghilangan paksa yang sudah terjadi, jaminan pada setiap orang atas haknya terbebas dari ancaman penangkapan, penahanan, atau penculikan yang dipaksakan tak kalah penting. PBB melalui Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (CPED) mengajak seluruh negara bangsa untuk berkomitmen memerangi impunitas atas kejahatan penghilangan paksa sekaligus menjamin hak semua orang dari tindak kejahatan penghilangan paksa pada masa lalu, masa kini, dan masa depan.
CPED yang dilaksanakan pada 20 Desember 2006 di New York, Amerika Serikat, merupakan ajakan kepada semua negara untuk meratifikasi dan menerapkan kerangka hukum demi memenuhi hak-hak korban penghilangan paksa sekaligus mencegah terjadinya peristiwa serupa di masa depan. Negara yang telah meratifikasi harus menegaskan hak setiap korban untuk mengetahui kebenaran tentang keadaan penghilangan paksa dan hak atas kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi untuk tujuan ini.
Sampai 27 Agustus 2021 tercatat sudah 64 negara meratifikasi konvensi tersebut. Sudan menjadi negara ke-64 yang baru saja meratifikasi perjanjian ini pada 10 Agustus 2021. Di kawasan Asia Tenggara, hanya Kamboja yang meratifikasi perjanjian ini pada 2013.
Indonesia sendiri baru menandatangani perjanjian ini pada 27 September 2010, tetapi belum meratifikasi. Artinya, Indonesia berkomitmen mengambil langkah-langkah yang sejalan dengan semangat perlindungan hak semua orang dari penghilangan paksa, tetapi tidak terikat secara hukum. Sebagian besar responden dalam jajak pendapat ini (76 persen) berharap negara segera ikut meratifikasi CPED demi menghadirkan jaminan pada setiap orang atas hak dilindungi dari penghilangan paksa.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) juga mencatat, dorongan untuk meratifikasi datang dari komunitas internasional. Dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) PBB pada 2017, setidaknya tujuh negara mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi CPED. Ratifikasi CPED juga merupakan satu dari empat rekomendasi DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 28 September 2009 sebagai tindak lanjut penyelidikan Komnas HAM terkait kasus penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997/1998.
Urgensi ratifikasi yang disampaikan oleh berbagai lapisan masyarakat bukan tidak beralasan. Masyarakat Indonesia sendiri menunjukkan kesadaran HAM yang tinggi. Tujuh dari sepuluh responden dalam jajak pendapat ini mengaku mengetahui bahwa penghilangan paksa adalah bentuk pelanggaran HAM.
Sayangnya, penguatan ingatan kolektif publik pada kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu perlu untuk dikuatkan guna menjaga kesadaran publik akan pentingnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM itu sendiri. Hal ini tampak dari sikap responden soal pengetahuan terhadap kasus-kasus tertentu terkait penghilangan paksa pada peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu, belum banyak ditangkap dari memori mereka.
Sebut saja soal peristiwa di masa DOM di Aceh 1989 hingga 1998, sebagian responden tidak mengetahui apa yang terjadi dalam peristiwa tersebut. Padahal, Komnas HAM mencatat hampir dua ribu orang hilang pada peristiwa tersebut.
Meski demikian, absennya pengetahuan publik pada isu ini bukan berarti pelanggaran HAM layak diabaikan. Apalagi, hampir seluruh responden secara umum menyatakan, menjaga ingatan pada kasus pelanggaran HAM masa lalu tetap penting demi menyuarakan nasib korban dan keluarga korban yang hilang.
Tidak hanya menjaga ingatan kolektif masyarakat, negara pun perlu turut menjaga ingatan pada janji pembenahan pelanggaran HAM.
Seperti halnya program Nawacita yang pernah digaungkan oleh Presiden Joko Widodo saat kontestasi pemilihan presiden 2014, di situ disebutkan akan berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, termasuk penghilangan paksa.
Namun, sampai hari ini penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut masih tak kunjung menguat. Dalam pidato Presiden Joko Widodo pada peringatan 76 tahun kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 2021, isu HAM tidak disebut.
Tentu, layaknya pejuang yang tak putus asa, publik tetap menyematkan harapan agar pemerintah tetap mau menaruh kembali perhatian pada kasus pelanggaran hak asasi manusia ini, khususnya keadilan bagi mereka yang menjadi korban penghilangan paksa. Melupakan tragedi di masa lalu sama saja memenjara bangsa dari masa depan.