Vonis kasus korupsi bantuan sosial di tengah pandemi dianggap masih jauh dari rasa keadilan publik. Ketidaktegasan hukum terhadap para koruptor, pada akhirnya hanya akan terus menggerus komitmen pemberantasan korupsi.
Oleh
Eren Marsyukrilla
·6 menit baca
Vonis kasus korupsi bantuan sosial di tengah pandemi dianggap masih jauh dari penegakan hukum berkeadilan dan memberikan efek jera terhadap tindak pidana korupsi. Ketidaktegasan hukum terhadap para koruptor, pada akhirnya hanya akan terus menggerus komitmen pemberantasan korupsi.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 12 tahun penjara kepada Juliari Peter Batubara, terdakwa perkara korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19 di wilayah Jabodetabek karena terbukti melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Dalam hal tersebut, Juliari didakwa telah menerima suap untuk setiap pengadaan paket bansos yang total nilainya mencapai lebih dari Rp 32 miliar.
Bekas menteri sosial ini juga dikenakan denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan dan uang pengganti Rp 14,59 miliar. Uang penggantian tersebut harus dibayarkan dalam kurun sebulan setelah putusan pengadilan.
Jika tidak maka harta benda terdakwa akan disita dan bila tidak mencukupi akan diganjar tambahan pidana kurungan dua tahun. Hak politik Juliari juga dicabut selama empat tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani pidana pokok.
Sekalipun lebih berat setahun dari tuntutan 11 tahun, hukuman tersebut tetap dianggap tak setimpal. Sejak awal mencuat ke publik, kasus korupsi bansos ini memang telah menjadi bulan-bulanan masyarakat yang sebetulnya juga tak terlepas dari gaung komitmen pemerintah yang akan menjaga pelaksanaan bantuan sosial di tengah Covid-19 bersih dan transparan. Ketika itu pemerintah berjanji, jikalau terdapat penyelewengan dan realisasinya, maka akan ditindak tegas secara hukum.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai vonis 12 tahun penjara tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera. Lebih lanjut KPK juga membantah bahwa vonis yang dijatuhkan itu dikarenakan tuntutan Jaksa KPK 11 tahun yang tidak berdasar kuat. Dalam hal ini hakim telah memiliki pertimbangan yang memberatkan dan meringankan dalam memutuskan perkara.
Terkait hal tersebut, mantan hakim sekaligus pakar hukum pidana Asep Iwan Iriawan bahkan mengungkapkan sejak awal dakwaan yang dijatuhkan pada Juliari memang kurang tepat. Sebagaimana diketahui, Juliari didakwa terkait tindak penyuapan sebagaimana yang tertera dalam pasal 12 UU No.31/1999.
Jika dilihat dari perkaranya yang bermodus meminta fee sebesar Rp 10.000 dari tiap paket bansos yang akan dibagikan, semestinya dakwaan mengacu pada perbuatan tindak pidana yang merugikan negara.
Hal ini mengacu pada Pasal 2 ayat (1) atau (2) UU Tindak Pidana Korupsi yang ancaman hukumannya mencapai seumur hidup atau bahkan hukuman mati. Terlebih, kejahatan korupsi tersebut dilakukan pada masa pandemi dan oleh pejabat publik tanggung jawab sebagai teladan masyarakat.
Tidak sampai di situ, pertimbangan peringanan yang didasarkan pada pembulian atau hinaan terhadap terdakwa Juliari pun tak dapat diterima oleh publik. Hal tersebut dinilai kurang tepat karena sanksi sosial yang diterima Juliari bukanlah ranah hukum dan semestinya tidak menjadi kewenangan hakim dalam persidangan.
Pertimbangan keringanan hukum pada koruptor dengan alasan yang tak kuat tentulah hanya akan mencederai rasa keadilan atas kejahatan yang telah dilakukan kepada masyarakat. Masih segar diingatkan bersama, adanya pemotongan masa hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun kepada Pinangki Sirna Malasari dengan pertimbangan terdakwa seorang perempuan.
Seperti diketahui, Pinangki adalah oknum bekas jaksa yang terlibat skandal pengurusan perkara kasus cessie Bank Bali yang menjerat buronan Djoko Tjandra.
Putusan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi yang semakin jauh dari pemberian efek jera pun telah menjadi perhatian ICW sejak lama. Hal tersebut terbukti dari hasil kajian yang dilakukan oleh lembaga non profit ini sejak tahun 2005 ini dengan memantau vonis-vonis yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung.
Dalam catatan ICW, vonis-vonis yang diberikan kepada terdakwa koruptor selalu mengecewakan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan mayoritas sangatlah ringan. Dalam laporan terbaru ICW, sepanjang tahun 2020 rata-rata vonis terhadap terdakwa perkara korupsi di Indonesia hanya 3 tahun dan 1 bulan (37 bulan).
Pada proses pengkajiannya, ICW membagi dalam tiga kategori vonis, yaitu ringan (0-4 tahun penjara), sedang (dibawah 10 tahun penjara), dan berat (di atas 10 tahun penjara). Merujuk pada data tren yang didapatkan, putusan vonis kepada terdakwa korupsi memang selayaknya belum berpijak pada keadilan dan semangat pemberantasan korupsi.
Sekalipun tidak signifikan, sepanjang empat tahun terakhir, ada peningkatan jumlah vonis dengan kategori berat yang mencapai 18 vonis pada 2020 dari sebelumnya hanya sembilan vonis. Peningkatan drastis pada vonis justru sangat terlihat pada kategori sedang yang jumlahnya mencapai 438.
Di tahun tersebut setidaknya ada 1.218 perkara korupsi yang disidangkan di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung dengan jumlah terdakwa yang mencapai 1.298 orang. Jumlah kerugian negara pada 2020 akibat perbuatan korupsi itu pun meningkat empat kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi Rp 56,73 triliun.
Lebih lanjut terkait hal tersebut, dalam konteks persidangan ada sejumlah hal yang turut menjadi catatan yang dapat dilakukan guna memberikan efek jera pada tindak pidana korupsi.
Diantaranya terkait dengan dakwaan yang semestinya berorientasi pada pasal mengakomodir pemberian hukuman maksimal, mengoptimalkan pembuktian dan penuntutan oleh jaksa, hingga putusan yang menggambarkan rasa keadilan bagi masyarakat.
Dalam sejumlah perkara korupsi besar belakangan ini, justru banyak berujung pada polemik terkait hukuman yang diberikan kepada terdakwa karena dinilai terlalu ringan. Semua pihak tentu berharap dapat terwujud peradilan yang sejatinya memang harus bersih dari segala kepentingan apapun selain penegakan hukum.
Kerja-kerja penanganan korupsi memang perlu komitmen tinggi dan ketegasan. Salah satunya diwujudkan dengan hukuman berat dan efek jera. Di akhir 2020 lalu, masyarakat mengapresiasi ketegasan penegakan hukum terhadap enam terdakwa kasus korupsi Jiwasraya yang divonis seumur hidup.
Rekam sejarah ketegasan penegakan hukum pada kasus korupsi juga dibuktikan kepada sejumlah terdakwa koruptor. Diantaranya hukuman penjara seumur hidup kepada Adrian Waworuntu dalam kasus pembobolan BNI 46 dengan nilai korupsi mencapai lebih satu triliun rupiah.
Hukuman penjara seumur hidup juga pernah dijatuhkan pada bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang terlibat skandal putusan dan suap mencapai Rp 57 miliar.
Selain itu, komitmen dan ketegasan pemberantasan korupsi secara nyata juga pernah ditunjukkan oleh Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta yang menjatuhkan hukuman seumur hidup pada Brigjen Teddy Hermayadi.
Jenderal TNI yang menjabat sebagai Direktur Keuangan TNI AD / Kepala Bidang Pelaksanaan Pembiayaan Kementerian Pertahanan ketika itu terseret kasus korupsi anggaran alutsista 2010-2014 dengan kerugian negara mencapai USD 12,4 juta.
Memberikan efek jera dengan ketegasan penegakan hukum yang berkeadilan adalah bagian penting dari komitmen pemberantasan korupsi. Genderang perang melawan korupsi sebagai serious crime memang harus digerakkan oleh seluruh sendi elit yang memiliki kekuatan dan kewenangan, juga tentunya dengan terus merangkul masyarakat. (LITBANG KOMPAS)