Produktivitas Kelapa Sawit di Masa Moratorium
Implementasi Inpres No 18/2018 terkait moratorium sawit belum dirasakan signifikan menyelesaikan persoalan kelapa sawit. Pemerintah masih mengevaluasi apakah moratorium akan diteruskan atau tidak.
Kurang dari satu bulan, masa moratorium kelapa sawit akan berakhir. Kebijakan moratorium yang berjalan hampir tiga tahun ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit melalui intensifikasi kebun yang ada tanpa melakukan ekspansi. Pemerintah masih mengevaluasi apakah moratorium akan diteruskan atau tidak.
Presiden Joko Widodo pada 19 September 2018 mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 18 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.
Instruksi ditujukan kepada instansi pemerintahan pusat dan daerah untuk mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan serta menunda pembukaan lahan kebun sawit baru selama tiga tahun.
Selama masa moratorium ini, peningkatan produksi minyak sawit Indonesia terbilang kecil. Tahun 2019, produksi minyak sawit Indonesia berdasarkan laporan di laman Indexmundi mencapai 43 juta metrik ton. Tahun 2021 ini diperkirakan produksi akan mencapai 44,5 juta metrik ton atau bertambah 3,5 persen saja.
Meski demikian, peningkatan produksi minyak sawit Indonesia ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata produksi dunia yang hanya sebesar 0,5 persen dalam kurun waktu yang sama.
Di level global, Indonesia masih menjadi produsen minyak sawit nomor satu. Produksi minyak sawit Indonesia kini menguasai porsi 58,3 persen, meningkat dibandingkan porsi tahun 2019 yang sebesar 57 persen. Di beberapa negara produsen kelapa sawit yang lain, porsinya menurun, seperti di Malaysia, Papua Niugini, dan Ekuador.
Tidak banyak negara di dunia yang dapat mengembangkan tanaman kelapa sawit. Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tanaman kelapa sawit hanya dapat tumbuh baik di daerah tropis dengan temperatur harian yang konstan. Tanaman ini dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah asalkan curah hujan mencukupi.
Kondisi tersebut hanya terdapat di beberapa negara di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina merupakan negara yang mendapat berkah dari tanaman kelapa sawit karena faktor geografis.
Malaysia menjadi negara produsen terbesar kedua yang menguasai porsi sebanyak 26 persen. Namun, angka tersebut turun 2 persen dibandingkan tahun 2019. Malaysia mengalami stagnasi produksi karena keterbatasan lahan dan masalah tingginya tingkat upah pekerja di sektor tersebut.
Thailand menjadi negara produsen minyak sawit terbesar ketiga dengan porsi 4 persen. Sementara Filipina porsi produksinya kurang dari 1 persen. Keempat negara di Asia Tenggara ini menguasai hampir 90 persen produksi minyak sawit dunia.
Baca juga : Perpanjangan Moratorium Sawit Langkah Penting Penurunan Emisi
Perkebunan besar
Penetapan moratorium sawit lewat Inpres No 18/2018 disambut gembira, terutama para pemerhati lingkungan. Inpres ini dinilai menjadi terobosan yang membuka ruang evaluasi terhadap izin-izin perkebunan sawit yang telah diterbitkan.
Kebijakan moratorium menjadi suatu langkah aksi koreksi terhadap penerbitan izin-izin di masa lalu yang prosedurnya menyimpang, tidak sesuai peruntukan, baik dari sisi kawasan hutan maupun tata ruang, hingga permasalahan sosial yang ditimbulkan karena keluarnya izin kelola.
Karena itu, timbul harapan agar izin-izin yang diterbitkan di masa lalu bisa dievaluasi dan permasalahan terkait legalitas, konflik sosial, hingga sanksi hukum dapat diselesaikan.
Setahun moratorium berjalan, banyak pihak menilai masih ada hambatan birokrasi dan administrasi dalam mewujudkan harapan yang terbangun dengan terbitnya inpres. Baru di tahun kedua kemajuan mulai terlihat melalui membaiknya kerja sama antarinstansi pemerintahan dan adanya konsolidasi data tutupan sawit.
Dari analisis citra satelit dan verifikasi data atau peta tematik antarkementerian/lembaga, didapat luas tutupan kelapa sawit pada 2019 sebesar 16,38 juta hektar. Namun, data ini belum menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan.
Masalah legalitas kebun, kepemilikan, luasan, dan masa berlaku izin masih belum terselesaikan. Tahun 2020, Sawit Watch mencatat luas kebun sawit di Indonesia mencapai 22,6 juta hektar dengan 30 persen di antaranya dimiliki oleh rakyat atau petani.
Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan luas tanaman pada perkebunan besar kelapa sawit selama 2019 dan 2020 bahkan meningkat. Tahun 2019, perkebunan besar kelapa sawit tercatat seluas 8,56 juta hektar, bertambah 52,4 hektar atau 0,6 persen dibandingkan tahun 2018.
Sementara pada tahun 2020, luas tanaman perkebunan besar kelapa sawit bertambah lagi menjadi 8,85 juta hektar atau naik 3,4 persen dari tahun sebelumnya.
Penambahan luas areal tanam di perkebunan besar ini berkontribusi terhadap produksi. Produksi minyak sawit dari perkebunan besar tahun 2019 bertambah 4.607 ton menjadi 32.194,3 ton atau naik 16,7 persen dari tahun 2018. Sementara produksi biji sawit bertambah 921,6 ton menjadi 6.438,9 ton atau naik juga 16,7 persen.
Akan tetapi, pada tahun 2020, produksi minyak sawit dan biji sawit dari perkebunan besar ini sedikit berkurang, yakni sebesar 0,6 persen dari tahun sebelumnya.
Selain itu, data dari BPS memperlihatkan jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit juga meningkat. Jika tahun 2018 jumlahnya tercatat sebanyak 2.165 perusahaan, tahun 2020 bertambah menjadi 2.335 perusahaan.
Data ini memperlihatkan upaya moratorium belum sepenuhnya mampu meningkatkan produksi minyak sawit tanpa ekspansi lahan baru karena penambahan luas tanam kelapa sawit oleh perusahaan perkebunan besar masih berlangsung. Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit pun bertambah.
Padahal, Presiden Joko Widodo melalui Inpres No 18/2018 meminta agar peningkatan produksi minyak sawit tidak lagi mengandalkan penambahan luas lahan. Penghentian izin baru bagi usaha perkebunan kelapa sawit harus dilakukan seiring dengan intensifikasi lahan-lahan kebun yang ada.
Kunci utama dalam intensifikasi adalah melakukan peremajaan kebun-kebun yang tanaman sawitnya sudah tua dan tidak produktif lagi serta digantikan dengan penanaman bibit yang baru dan lebih unggul. Percepatan peremajaan ini membutuhkan dukungan pemerintah dari sisi pembiayaan, terutama bagi perkebunan rakyat.
Baca juga : Implementasi Kebijakan Moratorium Sawit Perlu Ditingkatkan
Persoalan berlanjut
Industri perkebunan kelapa sawit telah berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Nilai ekspor minyak sawit Indonesia pada tahun 2020 tercatat sebesar 18.448 juta dollar Amerika Serikat atau naik 3 persen dibandingkan tahun 2018. Negara utama tujuan ekspor minyak sawit kita adalah India dan China.
Meski demikian, banyak persoalan yang belum terselesaikan selama masa moratorium berlangsung. Persoalan tersebut meliputi tidak saja terkait peningkatan produktivitas, tetapi juga terkait kerusakan lingkungan, konflik agraria, perburuhan, dan ancaman ketersediaan pangan.
Ekspansi lahan sawit masih terus terjadi, bahkan beberapa tahun terakhir menyasar daerah-daerah di wilayah timur Indonesia, daerah pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Implementasi Inpres No 18/2018 belum dirasakan signifikan menyelesaikan persoalan. Persoalan-persoalan itu berpotensi semakin berlarut setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja disebut sejumlah kalangan akan mengganggu pembenahan tata kelola kelapa sawit dan mendukung investasi yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat kecil, termasuk kelompok buruh dan petani sawit. Oleh sebab itu, sejumlah pihak menganggap kebijakan moratorium sawit masih perlu dilanjutkan. (LITBANG KOMPAS)