Catatan Pertumbuhan Ekonomi di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua
Kuatnya perekonomian tiga provinsi tersebut tak lepas dari kekayaan alam yang menjadi mesin pertumbuhan di tengah pandemi Covid-19.
Kembalinya ekonomi ke zona positif pada triwulan II 2021 menunjukkan bahwa perekonomian nasional maupun regional sudah berada di jalur pemulihan. Ada tiga provinsi yang mencatatkan kinerja pertumbuhan baik, bahkan di saat ekonomi nasional dan 31 wilayah lainnya masih mengalami kontraksi.
Sinyal pemulihan ekonomi yang tampak dari positifnya pertumbuhan triwulan II 2021 terjadi hampir di seluruh nusantara. Secara nasional, ekonomi tumbuh 7,07 persen jika dibandingkan dengan triwulan II 2020.
Sebagian besar provinsi pun mengalami pertumbuhan positif. Hanya Papua Barat yang masih mengalami kontraksi sebesar minus 2,39 persen. Turunnya kinerja sektor industri pengolahan yang selama ini menjadi andalan Papua Barat menjadi salah satu penyebabnya. Sebab, hampir seperempat (23,89 persen) perekonomian Papua Barat disumbang oleh sektor tersebut.
Tekanan yang dialami perekonomian Papua Barat juga semakin terasa setelah sebelumnya provinsi ini mengalami pertumbuhan positif pada triwulan II 2020, yakni 0,53 persen.
Berbanding terbalik dengan Papua Barat, mayoritas provinsi lainnya justru mengalami kontraksi di triwulan II 2020. Hal tersebut membuat akselerasi pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2021 kian jelas terlihat.
Bahkan, sembilan dari 33 provinsi yang mengalami pertumbuhan positif, laju pertumbuhannya di atas ekonomi nasional. Maluku Utara menjadi provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi, yakni 16,89 persen.
Berikutnya adalah Sulawesi Tengah dengan pertumbuhan sebesar 15,39 persen dan Papua (13,24 persen). Provinsi dari Timur Indonesia itu juga menduduki posisi ketiga teratas pada laju pertumbuhan ekonomi se-Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua).
Tak hanya pada triwulan II 2021, ketiganya bahkan mengalami pertumbuhan positif sepanjang 2020. Saat itu ekonomi nasional dan provinsi lainnya masih terpuruk. Perekonomian nasional terkontraksi minus 2,07 persen, diikuti oleh 31 provinsi lainnya. Sementara, ekonomi Maluku Utara tetap tumbuh positif 4,92 persen, Sulawesi Tengah 4,86 persen, dan Papua 2,32 persen.
Sektor unggulan
Kuatnya perekonomian tiga provinsi tersebut tak lepas dari kekayaan alam yang menjadi mesin pertumbuhan, yakni sektor pertambangan dan penggalian. Kontribusinya cukup mendominasi perekonomian ketiga provinsi itu.
Bagi Papua, hampir seluruh pertumbuhan triwulan II 2021 disumbang oleh sektor pertambangan dan penggalian. Dari total pertumbuhan 13,14 persen, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang 11,25 persen. Hal itu didorong oleh kinerja tambang terbesar di Papua.
Sebelumnya, pada triwulan I 2021, produksi tembaga dan emas mencatatkan pertumbuhan 112,86 persen dan 93,42 persen. Peningkatan itu sebagai dampak positif dari pembangunan tambang bawah tanah yang berjalan sesuai jadwal.
Produksi yang melimpah pun didukung dengan kuantitas penjualan serta harga tembaga dan emas dunia yang meningkat. Pemulihan sektor produksi global di tengah terbatasnya tambang tembaga dan emas yang beroperasi mendorong peningkatan harga global tersebut.
Begitu pula dengan Maluku Utara, hampir separuh (7,95 persen ) dari total pertumbuhan 16,89 persen juga disumbang oleh sektor pertambangan dan penggalian. Separuh sisanya berasal dari industri pengolahan, di mana produksinya juga didominasi oleh pengolahan hasil tambang.
Tingginya pertumbuhan sektor tersebut sejalan dengan optimalisasi produksi smelter yang ada di Maluku Utara. Halmahera Tengah dan Halmahera Selatan menjadi lokasi utamanya. Produksi dan ekspor feronikel yang masif juga mendorong peningkatan produksi nikel mentah dan aktivitas pertambangan tersebut.
Sedikit berbeda dengan Maluku Utara dan Papua, pertumbuhan ekonomi di Sulteng didominasi oleh industri pengolahan. Kontribusinya sebesar 9,28 persen dari total pertumbuhan 15,39 persen. Pada triwulan II 2021, industri pengolahan mengalami pertumbuhan sebesar 35,79 persen secara tahunan. Bahkan, lebih dari sepertiga (34,50 persen) produk domestik regional bruto (PDRB) Sulteng pada periode yang sama disumbang oleh sektor tersebut.
Namun demikian, pergerakan industri pengolahan tersebut juga tak lepas dari sektor pertambangan dan penggalian. Pasalnya, kinerja baik industri pengolahan di Sulteng didorong oleh pengolahan nikel dan gas, yang tak lain merupakan hasil tambang. Bahkan, salah satu industri di Kabupaten Morowali merajai produksi nikel olahan di Indonesia.
Sulawesi Tengah juga menjadi salah satu produsen nikel terbesar di Indonesia. Izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki sudah sebanyak 85 IUP. Sektor pertambangan dan penggalian sendiri berkontribusi sebesar 2,67 persen pada total pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 Provinsi Sulteng.
Kinerja baik sektor penopang ekonomi Sulteng tersebut pada akhirnya mampu mendongkrak investasi. Bahkan, realisasinya selalu melebihi target, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2018 misalnya, investasi di Sulteng mencapai Rp 21,7 triliun, melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp 20,3 triliun.
Peningkatan terus terjadi hingga 2019 dengan realisasi investasi sebesar Rp 31,51 triliun, dari target Rp 20,08 triliun. Bahkan, tahun 2020, saat pandemi melanda, nilai investasi tetap tinggi. Realisasinya mencapai Rp 30,88 triliun, lebih tinggi dari target Rp 24,20 triliun. Dari capaian investasi tersebut, mampu menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 10.506 orang.
Hal itu membuktikan bahwa kekayaan alam yang dimiliki ketiga provinsi tersebut mampu mendorong perekonomian, bahkan di tengah ancaman krisis akibat pandemi Covid-19.
Belum merata
Meski demikian, sinergi positif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri, dan masyarakat setempat harus ditingkatkan. Hal itu perlu dilakukan demi terciptanya dampak berganda dari positifnya pertumbuhan sektor tersebut.
Pasalnya, selama ini, sektor pertambangan dan penggalian baru dirasakan oleh segelintir orang saja. Hal tersebut tecermin dari masih rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja sektor pertambangan dan penggalian di tiga provinsi dengan pertumbuhan tertinggi.
Maluku Utara, misalnya. Terdapat 15.302 orang yang bekerja di sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2020. Padahal, total tenaga kerja saat itu mencapai 552.502 orang. Artinya, hanya ada 2,77 persen tenaga kerja yang terserap di salah satu sektor unggulan itu.
Begitupun dengan Sulawesi Tengah. Sektor pendongkrak perekonomian itu hanya mampu menyerap 1,34 persen dari total tenaga kerja 1,5 juta orang. Padahal, total PDRB sektor tersebut mencapai Rp 22,04 triliun pada 2020. Jika disimulasikan dengan jumlah pekerja yang terlibat sebanyak 20.321 orang, perkiraan penghasilan pekerja tambang di Sulteng pada 2020 mencapai Rp 1,08 miliar per orang per tahun.
Sementara, rata-rata upah buruh pada Agustus 2020 hanya sebesar Rp 29,99 juta rupiah selama satu tahun. Dengan demikian, perkiraan pendapatan pekerja sektor tambang mencapai 36 kali lipat rata-rata pekerja pada umumnya.
Hal serupa terjadi di Papua, surganya tambang Indonesia. Dari 1,69 juta tenaga kerja, hanya 0,78 persen yang terlibat di sektor tambang dan penggalian. Padahal, nilai PDRB sektor tersebut sangat besar, yakni Rp 45,39 triliun.
Dari PDRB tersebut, diperkirakan penghasilan pekerja tambang tahun 2020 mencapai Rp 3,4 miliar per orang dalam setahun. Dengan rata-rata upah buruh lainnya sebesar Rp 47,7 juta setahun, penghasilan tenaga kerja yang terlibat di sektor tambang 72 kali lebih besar.
Baca juga: Harapan dan Kehati-hatian di Balik Pertumbuhan Ekonomi
Fakta di ketiga wilayah tersebut menyiratkan masih adanya ketimpangan hasil tambang yang belum dinikmati sebagian besar masyarakat. Kekayaan alam yang secara historis mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, idealnya mampu dirasakan secara merata.
Karenanya, kolaborasi antar pihak demi melahirkan kebijakan yang tepat sasaran semakin diperlukan. Kue dari pemulihan ekonomi, salah satunya dari pemanfaatan kekayaan alam, harus mampu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijaga keberlanjutannya. Kesejahteraan yang merata akan mampu menggerakkan konsumsi masyarakat sekaligus menjaga momentum berlanjutnya pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mendorong Tumbuhnya Industri Tekstil dan Pakaian Jadi