Tumbuhkan Harapan Anak Yatim Piatu
Tanggung jawab untuk membantu mencarikan jalan keluar bagi anak-anak yang menjadi yatim dan/atau piatu akibat covid-19 menjadi beban semua komponen masyarakat.
Tanggung jawab untuk membantu mencarikan jalan keluar bagi anak-anak yang menjadi yatim dan/atau piatu akibat Covid-19 menjadi beban semua komponen masyarakat.
Gelombang kedua pandemi Covid-19 di Tanah Air yang diikuti dengan melonjaknya kasus positif serta angka kematian sejak Juni lalu meninggalkan warisan anak-anak yang kehilangan orangtua untuk selamanya.
Fenomena anak menjadi yatim, piatu, atau bahkan yatim piatu ini bak ”pandemi tersembunyi” di tengah gelombang pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya ini tiba-tiba menjadi akrab terdengar di telinga, bahkan mungkin sangat dekat dengan kehidupan kita.
Meski belum ada data pasti berapa banyak jumlahnya, angkanya diperkirakan tiga hingga empat puluh ribu anak-anak. Hal ini gambaran kisah pilu anak-anak negeri yang ditinggalkan salah satu atau kedua orangtuanya akibat terpapar virus korona.
Melacak kisah anak yatim dan/atau piatu ini, hasil Jajak Pendapat Kompas awal Agustus lalu juga menengarai cukup banyak responden yang mendengar anak menjadi yatim dan/atau yatim piatu akibat pandemi.
Setidaknya sepertiga bagian responden menyatakan mengetahui atau mendengar anak yang kehilangan minimal salah satu orangtuanya akibat pandemi.
Dari pengakuan responden yang pernah mengetahui peristiwa anak-anak kehilangan orangtua karena terpapar Covid-19 tersebut, separuhnya kehilangan sosok ibu, dan hampir separuh lainnya sosok ayah.
Sementara anak-anak yang kehilangan sekaligus ayah dan ibunya ada sebanyak 20,5 persen. Tak hanya orangtua, jajak pendapat juga memotret 10,7 persen pengasuh lain, seperti kakek/nenek/paman/bibi yang selama ini mengasuh anak-anak juga menjadi korban keganasan Covid-19.
Parahnya, narasi kepedihan itu kini banyak terjadi di lingkungan tempat tinggal mereka, yang mencakup pernyataan 26,9 persen responden. Di antaranya, sebanyak 6,5 persen responden mengaku kasus tersebut banyak menimpa teman-teman alumni sekolah; 2,1 persen dialami kolega di tempat kerja; 4,4 persen menimpa keluarga besarnya dan bahkan 0,6 persen responden mengalami kesedihan itu dalam lingkungan keluarga inti mereka sendiri.
Baca juga : Yatim Piatu akibat Pandemi, Bukan Sekadar Angka
Dampak mendalam
Kehilangan orangtua yang menjadi sandaran hidup secara mendadak tentu sangat membingungkan, terlebih bagi anak-anak, terlebih yang belum masuk usia dewasa/mapan. Tak hanya kehilangan kasih sayang, kondisi pandemi yang membuat kehidupan menjadi berat karena harus memikirkan kelangsungan ekonomi keluarga.
Dalam banyak kasus, keluarga lain atau saudara yang mengambil alih pengasuhan anak-anak terdampak pandemi ini pun tak luput dari kekhawatiran penularan virus dan terancam risiko kesehatan.
Dampak ditinggalkan orangtua akibat pandemi tidak hanya dirasakan saat ini. Jika tidak segera ditangani, anak-anak tersebut bisa kehilangan harapan dan masa depan.
Jumlahnya yang diperkirakan puluhan ribu dan semakin bertambah banyak tentu menjadi persoalan bangsa yang mengkhawatirkan. Jika mendapat pengasuhan yang tidak baik, ini berpotensi pada terjadi penelantaran, bahkan risiko kekerasan.
Jajak Pendapat Kompas juga menangkap kekhawatiran masyarakat terhadap kehidupan anak-anak tanpa pengasuhan orangtua akibat pandemi ini. Paling besar adalah kekhawatiran separuh responden soal dampak perkembangan psikologis dan mental anak.
Dalam jangka pendek, pemulihan psikologis anak harus diutamakan, apalagi saat orangtua meninggal mereka juga terpapar Covid-19 sehingga tidak bisa melihat orangtua untuk terakhir kali.
Dukungan moril dengan memberikan penghiburan, semangat, dan motivasi ini juga disepakati sebagian besar responden. Meskipun awalnya memang sulit, trauma psikis anak-anak setelah kehilangan orangtua harus segera dipulihkan agar bisa melanjutkan kehidupan.
Kelangsungan hidup sehari-sehari menjadi kekhawatiran sekitar 32 persen responden. Anak-anak yang masih belia, masih berstatus pelajar yang selama ini bergantung kepada orangtua, mendadak harus memikirkan bagaimana mereka harus makan dan bertahan hidup di tengah pandemi mengingat kasus ini juga tak terhindarkan terjadi pada keluarga miskin.
Empati dan atensi ditunjukkan responden dengan berbagai cara ketika mengetahui ada anak-anak ditinggalkan orangtua di lingkungannya. Dari memberi penghiburan, bantuan makanan dan keuangan, atau menggerakkan lingkungan (tetangga/saudara/teman) untuk sama-sama membantu, dan melaporkan ke instansi berwenang di daerah jika anak belum tersentuh bantuan pemerintah.
Sebagian responden mengaku memviralkan di media sosial untuk menumbuhkan kesadaran dan menggugah kepedulian masyarakat serta negara akan fenomena ini.
Baca juga : Jutaan Anak di Dunia Telantar akibat Covid-19
Saling membantu
Seperti langkah Ainun Najib dan kawan-kawan yang menginisiasi gerakan ”Kawal Masa Depan” untuk menyelamatkan generasi korban pandemi ini patut mendapat apresiasi dan dukungan masyarakat luas.
Semangat masyarakat untuk membantu tecermin pula pada kenaikan donasi yang dikumpulkan dengan berbagai inisiatif pada kitabisa.com.
Demikian pula dengan program ”Aku Sedulurmu” yang diluncurkan Polda Jawa Tengah untuk membantu penanganan anak yatim piatu ini juga patut didukung. Masih banyak lagi dampak jangka panjang yang akan dihadapi anak-anak yang terpaksa kehilangan orangtua akibat pandemi.
Memastikan anak tetap dapat tumbuh kembang dengan baik dari segala aspek kehidupannya adalah yang utama dan membutuhkan uluran tangan semua pihak.
Pemerintah, sebagaimana diamanatkan undang-undang, harus melindungi dan menjamin masa depan generasi bangsa yang menjadi ”telantar” karena peristiwa ini. Dibutuhkan skema perlindungan untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang yang tepat sasaran.
Memang tidak mungkin penanganan anak yatim piatu dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah. Karena itu, butuh keterlibatan semua pihak. Pemerintah harus menggandeng lembaga sosial dan semua elemen masyarakat. Publik jajak pendapat juga menilai bahwa semua pihak harus berperan dalam menangani anak-anak yatim dan/atau piatu ini.
Semangat saling membantu yang digaungkan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah akan menjadi pelukan kasih sayang yang hangat bagi anak-anak korban pandemi ini dan menumbuhkan asa bahwa masa depan mereka masih ada. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kawal Masa Depan Anak Korban Pandemi