Jutaan Anak di Dunia Telantar akibat Covid-19
Kehilangan pengasuh dalam waktu singkat tak hanya meninggalkan luka dan trauma bagi anak yang kehilangan orangtua akibat Covid-19. Masa depan mereka juga penuh dengan ketidakpastian.
Menurut estimasi, setidaknya 1,8 juta anak di seluruh dunia kehilangan orangtuanya dalam sekejap karena Covid-19. Kehilangan pengasuh dalam waktu singkat tak hanya meninggalkan luka dan trauma bagi penyintas, tetapi juga menjadikan masa depan mereka penuh dengan ketidakpastian.
Angka 1,8 juta anak telantar akibat Covid-19 ini diperoleh dari studi yang dilakukan oleh Bank Dunia. Di antara 1,8 juta anak tersebut, lebih dari separuhnya kehilangan wali utama mereka sekaligus. Artinya, sekitar 1,1 juta anak di dunia telantar tanpa diasuh oleh wali utama (orangtua/kakek-nenek) dalam waktu yang singkat.
Tak hanya mengerikan dari segi jumlah, fenomena anak telantar akibat pandemi ini juga mengkhawatirkan karena terjadi dengan sangat cepat. Berdasarkan estimasi Bank Dunia, selama 2020 terdapat 900.000 anak kehilangan pengasuh utama akibat Covid-19.
Angka ini bertambah dua kali lipat dalam waktu 8 bulan setelahnya. Dengan tingkat kematian wali anak sebesar ini, diperkirakan jumlah anak telantar meroket hingga lebih dari 2,2 juta di akhir tahun ini.
Meski persoalan ini dihadapi nyaris di setiap penjuru dunia, terdapat beberapa negara yang paling parah terdampak, di antaranya India, Brasil, Meksiko, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Peru, Kolombia, dan Iran. Jika digabung, jumlah anak telantar akibat wabah Covid-19 mencapai 1,06 juta anak atau sekitar 71 persen dari total keseluruhan di tingkat global.
Hingga 22 Agustus, India menjadi negara dengan jumlah anak yang kehilangan wali utama paling banyak dengan angka 239.000. Jumlah tersebut lebih tinggi 32 persen dibandingkan dengan Brasil di posisi kedua dengan angka yatim piatu sebesar 180.000.
Selain kedua negara di atas, beberapa negara lain, seperti Meksiko, Afrika Selatan, dan Amerika Serikat, juga memiliki persoalan anak yatim piatu akibat Covid-19 yang cukup mengkhawatirkan.
Di ketiga negara tersebut, jumlah anak telantar dampak dari pandemi berjumlah di atas 100.000 anak. Meski tak sebanyak negara yang telah disebutkan, Peru, Kolombia, dan Iran juga dihantui dengan permasalahan anak yatim piatu dampak dari Covid-19 dengan jumlah berkisar 52.000 hingga 86.000 anak yang terdampak.
Dari segi tingkat kematian, Peru justru menjadi negara dengan tingkat tertinggi. Meski memiliki jumlah anak telantar akibat Covid-19 di angka 86.000, lebih rendah dari beberapa negara lain di atas, prevalensi anak yatim piatu terdampak pandemi di negara ini ialah sebesar 10 dari 1.000 anak.
Tingkat prevalensi ini jauh lebih tinggi dibandingkan Meksiko (3 dari 1.000 anak) dan Brasil (2 dari 1.000 anak) yang memiliki jumlah korban yatim piatu dua kali lipat dari Peru.
Hilangnya pengasuh utama dari anak-anak ini sontak membuat masa depan mereka terombang-ambing. Tanpa kehadiran wali, sulit membayangkan mereka bisa memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan secara mandiri di usia dini.
Tak hanya itu, mereka juga terancam kehilangan kesempatan mereka untuk melanjutkan pendidikan yang tengah dienyam. Maka, hadirnya pemerintah menjadi penting untuk menjamin kelanjutan hidup anak yang telantar akibat pandemi.
Bukan tanpa alasan, terutama di negara berkembang, disintegrasi keluarga akibat krisis menempatkan anak terhadap bahaya ekstrem, seperti perdagangan manusia dan pernikahan paksa.
Di Indonesia, risiko ini pernah terjadi ketika bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Saat itu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) menemukan bahwa banyak terjadi perkawinan anak di lingkungan pengungsian.
Meski mengancam terenggutnya masa tumbuh kembang anak, banyak keluarga korban bencana yang menikahkan anak kecil di keluarga besarnya dengan pasangan yang jauh lebih tua untuk ”menjamin” masa depan sang anak.
Baca juga: Yatim Piatu akibat Pandemi, Bukan Sekadar Angka
Pendekatan keluarga
Kerentanan anak di tengah bencana ini pun diamini oleh Bank Dunia dalam laporannya yang bertajuk ”Children: The Hidden Pandemic 2021”. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia mencoba memberikan arahan bagi negara untuk menangani persoalan anak telantar berdasarkan dari pengalaman serupa sebelumnya ketika menghadapi penyakit endemik seperti HIV dan ebola.
Dalam hal penanganan kasus anak telantar akibat krisis, laporan ini menyebutkan bahwa pengalaman sebelumnya menunjukkan banyaknya donor atau sumbangan yang hanya diarahkan ke panti asuhan.
Memang, respons ini bisa dipahami karena pada umumnya panti berfungsi untuk mengayomi anak yang menghadapi persoalan karena kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, dan bentuk kerentanan lainnya.
Namun, Bank Dunia berpendapat bahwa fasilitas panti tersebut memiliki dampak negatif terhadap perkembangan fisik, kognitif, emosional dan sosial anak-anak, serta membuat anak terpapar risiko pelecehan fisik, seksual, dan emosional.
Selain itu, panti juga relatif lebih memakan biaya daripada pendekatan lain yang lebih berbasis pada keluarga. Maka, Bank Dunia pun menyarankan pada pemerintah untuk fokus membangun kebijakan yang menjamin pengasuhan anak berbasis keluarga. Sedangkan pendekatan berbasis panti asuhan tetap dipertimbangkan sebagai opsi terakhir.
Sebagai acuan dasar bagi pemerintah, Bank Dunia memberikan tiga pilar utama dalam penanganan anak telantar akibat pandemi. Ketiga pilar tersebut ialah pencegahan, persiapan, dan perlindungan.
Pilar pencegahan berfokus pada menekan angka kematian orangtua sehingga terjadinya anak yatim piatu bisa berkurang. Dalam implementasinya, hal ini bisa dicapai salah satunya dengan membuka lebar akses vaksin sehingga dosis bisa diberikan secara lebih merata ke seluruh bagian dari populasi.
Selanjutnya, pilar persiapan mengarah pada disiapkannya kebijakan dukungan terhadap korban anak yatim piatu berbasis keluarga. Dalam kerangka kebijakan ini, nantinya dukungan diberikan melalui berbagai skema, termasuk keluarga dekat (saudara orangtua), komunitas di lingkungan rumah (tetangga dekat), hingga dalam bentuk keluarga adopsi. Tentunya, hal ini bisa tercapai tak hanya dengan kebijakan sekali jadi, tetapi juga melalui pengawasan yang dilakukan secara berkala.
Terakhir, pilar perlindungan pada intinya berbicara soal pentingnya strategi kebijakan untuk menekan risiko kekerasan dan tekanan yang dialami oleh anak.
Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai strategi, seperti memperkuat keadaan ekonomi dan memberikan bimbingan konseling bagi keluarga pengasuh anak serta memberikan dukungan pendidikan anak.
Baca juga: Puluhan Ribu Anak Kehilangan Orangtua
Belajar dari India
Sebagai negara dengan jumlah anak telantar paling banyak di dunia, pemerintah India pun bergerak cepat meramu kebijakan. Dalam menangani persoalan ini, Pemerintah India mengeluarkan beberapa kebijakan.
Kebijakan itu di antaranya membuat database anak yang kehilangan pengasuhnya dan membuat institusi perlindungan anak (Child Care Institutions/CCI) untuk fokus menampung anak yang telantar.
Selain itu juga membangun fasilitas rehabilitiasi sementara bagi anak telantar, menyediakan konselor dan psikolog bagi anak yang terdampak, membangun jaringan telepon hotline hingga di tingkat daerah, dan membuat skema bantuan finansial bagi anak yang terdampak.
Dalam hal menjamin kondisi finansial anak telantar akibat pandemi, pemerintah pusat India menyediakan skema bantuan bertajuk PM CARES. Di bawah skema ini, setiap anak akan diberikan bantuan 1 juta rupee atau setara dengan Rp 194 juta hingga mereka berusia 23 tahun.
Baca juga: Covid-19 Mengancam Masa Depan Anak Indonesia
Sejumlah uang tersebut kemudian dibagi dan diberikan secara bulanan hingga mereka berusia 18 tahun. Setelah itu, sisa jatah bantuan selama 5 tahun akan diberikan secara langsung sebagai modal mereka untuk memulai karier.
Selain bantuan berbentuk uang, pemerintah juga memastikan bahwa anak telantar secara otomatis masuk ke fasilitas pendidikan terdekat dengan seluruh biaya pendidikannya ditanggung penuh oleh pemerintah. Tak hanya itu, mereka pun akan diberikan asuransi kesehatan senilai 500.000 rupee atau setara dengan Rp 97 juta hingga mereka berusia 18 tahun.
Terlepas dari bantuan pemerintah pusat, pemerintah daerah di beberapa negara bagian di India juga turut menyiapkan skema bantuan. Salah satunya ialah Negara Bagian Uttar Pradesh yang akan memberikan anak bantuan uang bulanan 4.000 rupee atau setara dengan Rp 7,7 juta sampai mereka dewasa.
Hal serupa dilakukan oleh Negara Bagian Karnataka dan Uttarakhand yang memberikan bantuan bulanan sebesar 3.500 rupee (Rp 6,7 juta) dan 3.000 rupee (Rp 5,8 juta).
Serupa tapi tak sama, Pemerintah Negara Bagian Kerala turut memberikan bantuan sebesar 2.000 rupee (Rp 3,8 juta) hingga sang anak berusia 18 tahun, tetapi diberikan secara langsung di awal dengan nominal maksimal hingga 300.000 rupee (Rp 58 juta).
Sebagai salah satu negara dengan kasus anak telantar akibat pandemi yang cukup tinggi di kisaran 30.000 hingga 40.000 anak, Pemerintah Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara lain, seperti India.
Tak hanya soal menyediakan bantuan uang, pemerintah perlu memastikan bahwa anak tinggal dengan lingkungan yang baik serta tetap menjalankan pendidikannya hingga tuntas.
Di sisi lain, memperbaiki situasi pandemi juga penting dalam konteks ini karena dengan bertambahnya jumlah korban jiwa akibat Covid-19 akan semakin banyak pula jumlah anak yang terlantar. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Bung Karno, Soeharto, dan Jejak Kepedulian pada Anak Yatim Piatu