Yatim Piatu Akibat Pandemi, Bukan Sekadar Angka
Pendataan anak kehilangan orangtua akibat Covid-19 cenderung luput dari perhatian pemerintah. Jumlahnya ribuan dan dampak yang diakibatkan menimbulkan problem sosial rumah tangga yang dalam. Bagaimana solusinya?
Pendataan anak kehilangan pengasuhan orangtua akibat terpapar Covid-19, cenderung luput dari perhatian pemerintah. Padahal jumlah mereka mencapai ribuan dan dampak yang diakibatkan menimbulkan problem sosial rumah tangga yang dalam.
Di luar prediksi banyak pihak, pandemi Covid-19 ternyata berjalan lama, hingga sudah berlangsung lebih dari satu setengah tahun, dan diperkirakan belum akan benar-benar mereda di tahun depan sekalipun. Tak pernah terbayangkan jika pandemi ini akan merenggut nyawa hingga ratusan ribu jiwa di Indonesia.
Tak hanya lansia yang paling rentan, tetapi juga populasi usia produktif, bahkan anak-anak pun tak luput dari ancaman virus mematikan tersebut. Anak-anak tak hanya menghadapi ancaman paparan dan kematian akibat virus SARs-CoV-2 yang semakin mengganas dengan berbagai variannya.
Ketika kasus melonjak tajam dan diikuti kematian yang semakin masif pada kelompok usia produktif, pandemi menjadi narasi yang memilukan bagi anak-anak yang kehilangan orangtua atau pengasuh lainnya.
Ditinggalkan selama-lamanya oleh ayah, ibu atau kedua orangtua akibat terpapar Covid-19 membuat banyak anak menjadi yatim, piatu bahkan yatim piatu dalam waktu singkat.
Datangnya pandemi dengan tiba-tiba dan merusak seluruh sendi-sendi kehidupan mungkin pada awalnya tidak terpikirkan, oleh pemerintah sekalipun, bahwa akan menimbulkan masalah baru pada pengasuhan anak. Sehingga dari awal pandemi tidak terdata dengan baik berapa banyak anak di bawah 18 tahun yang terdampak persoalan ini.
Seperti kisah Vino (10) dari Kutai Barat, Kalimantan Timur, yang menjadi sebatang kara setelah ayah ibunya meninggal dunia berturut-turut dalam dua hari. Selain Vino, banyak kisah pilu serupa yang “tersembunyi” di tengah riuh rendah penanganan gelombang pandemi Covid-19. Seberapa banyak sebenarnya “Vino-vino” lainnya yang kehilangan orangtua akibat terpapar Covid-19 ini?
Dalam lingkup global, merujuk temuan salah satu riset yang dipublikasikan lembaga The Lancet, diperkirakan ada 1.562.000 anak kehilangan, setidaknya satu orangtua yang meninggal karena Covid-19 sejak 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021.
Di Indonesia sampai hari ini belum ada rilis resmi dari pemerintah jumlah riil anak menjadi yatim, piatu atau yatim piatu. Informasi yang muncul hanya prediksi dan gambaran parsial dari beberapa wilayah maupun lembaga.
Kementerian Sosial menyebut berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 per 20 Juli 2021 diketahui ada 11.045 anak menjadi yatim, piatu, atau yatim piatu. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memprediksi terdapat lebih dari 40.000 anak, dan Kawal Covid-19 mengestimasi lebih dari 50.000 anak hingga Juli lalu.
Baca juga : Menjaga Asa Anak yang Kehilangan Orangtua karena Pandemi
Estimasi Indonesia
Menggunakan pendekatan angka kematian, khususnya usia produktif 31-45 tahun, Litbang Kompas memprediksi berapa jumlah anak menjadi yatim/piatu/yatim piatu dampak pandemi ini.
Dari data laman Covid19.go.id per 17 Agustus 2021, sebanyak 12,9 persen angka kematian nasional (120.034 jiwa) adalah kelompok usia 31 hingga 45 tahun, atau ada kematian sekitar 15.456 jiwa.
Dengan asumsi penduduk yang meninggal dalam rentang usia tersebut sudah menikah dan memiliki 2 orang anak di bawah 18 tahun, maka estimasi anak yang menjadi yatim/piatu/yatim piatu di Indonesia di kisaran angka 30.912 anak. Angka ini pun bisa kurang atau lebih karena tak sedikit keluarga yang hanya memiliki satu orang anak atau malah memiliki lebih dari dua anak.
Estimasi ini tak jauh berbeda dari model estimasi minimum yang dilakukan oleh Imperial College London yang diadaptasi dari penelitian Laura B Rawlings dan Susan Hillis.
Dengan menggunakan data kematian Covid-19 dan fertilitas sebuah negara yang disesuaikan dengan tingkat fatalitas Covid-19 di usia spesifik, didapat perkiraan anak-anak kehilangan salah satu atau kedua orangtua karena Covid-19 di 192 negara.
Dari estimasi tersebut, per 4 Agustus 2021, jumlah anak di Indonesia yang kehilangan orangtua sekitar 38.127 anak. Dengan perkiraan angka ini Indonesia berada pada peringkat ke-9 negara-negara dengan jumlah anak menjadi yatim/piatu/yatim piatu terbanyak di dunia selain India, Brasil, Meksiko, Amerika Serikat, Afrika Selatan, Peru, Iran, Kolombia, dan Pakistan di urutan kesepuluh.
Jika proporsi angka kematian kelompok usia 31-45 tahun dibedah menurut provinsi, maka terlihat lima provinsi dengan estimasi jumlah anak menjadi yatim/piatu/yatim piatu terbanyak yaitu Jawa Tengah (7.139 anak), Jawa Timur (7.019 anak), Jawa Barat (3.571 anak), DKI Jakarta (1.913 anak) dan Kalimantan Timur (1.425 anak). Terkecil adalah Sulawesi Barat dengan 66 anak terdampak. Sekali lagi, ini adalah angka estimasi.
Baca juga : Pemerintah Pastikan Penuhi Hak Anak Yatim Piatu Karena Covid-19
Solusi cepat
Memang, fenomena anak menjadi yatim/piatu/yatim piatu dalam waktu singkat ini bukan sekadar kuantitas atau besar kecilnya angka statistik semata. Namun paling tidak dengan adanya data yang sesegera mungkin bisa dihimpun, dapat memberi gambaran bagi masyarakat dan pemerintah bahwa fenomena ini adalah persoalan yang serius.
Dengan demikian bisa segera mengambil langkah-langkah solusi cepat untuk menanganinya. Disamping itu data yang valid dan berkala dimutakhirkan hingga by name by address bisa menjadi kunci terealisasinya program akan tepat sasaran.
Bagi anak-anak, kematian orangtua atau kehilangan pengasuh semakin menambah kerentanan yang sudah mereka hadapi akibat pandemi. Harus diakui, Covid-19 telah memengaruhi seluruh sendi kehidupan anak, baik pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, keamanan, ditambah lagi persoalan pengasuhan.
Tak dapat dimungkiri, perubahan mendadak pada kehidupan setelah kehilangan orangtua sebagai sandaran hidup akan menimbulkan dampak jangka panjang, baik pada ekonomi maupun kesejahteraan sosial, dan emosional.
Lalu, solusi apa yang paling tepat dilakukan pemerintah untuk menangani persoalan ini.? Jajak pendapat Kompas awal Agustus lalu, menghimpun pendapat masyarakat dimana sepertiga diantaranya sepakat jika masalah pendidikan harus diutamakan. Pemberian beasiswa pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi lebih disarankan. Program Indonesia Pintar (PIP) bisa menjadi salah satu jalan keluar.
Seperempat responden (23,7 persen) mengharapkan pemerintah menjamin kehidupan atau memberikan pekerjaan jika ada anak yang sudah dewasa. Program kesejahteraan seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau program sosial lainnya bisa membantu mengatasi masalah kebutuhan sehari-hari.
Baca juga : Mereka yang Kini Harus Menjadi Yatim Piatu...
Sementara menurut seperempat responden lainnya (24,3 persen), memastikan anak-anak mendapat pengasuhan keluarga yang baik atau mencarikan orangtua asuh yang bertanggungjawab jika tidak ada pihak keluarga yang mengurus adalah solusi yang paling tepat. Hal ini untuk memastikan bahwa anak tidak akan terlantar meski tanpa kehadiran orangtua.
Bagaimanapun anak yang kehilangan pengasuhan orangtua sebisa mungkin mendapatkan suasana “rumah” sebagaimana sebelumnya. Karena tak dapat dimungkiri berbagai kesulitan akibat pandemi, kemudian pengasuhan orangtua tunggal atau berpindah pengasuhan, potensi penelantaran sangat mungkin terjadi, apalagi tanpa kehadiran negara.
Kehadiran negara sebagaimana diamanatkan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” harus tampak nyata.
Hasil jajak pendapat Kompas memotret hampir separuh responden (46,6 persen) mengapresiasi negara sudah menunjukkan perannya untuk menangani anak-anak yang kehilangan pengasuhan orangtua karena Covid-19 ini.
Meskipun 32,5 persen diantaranya menilai masih belum maksimal. Namun ada sekitar 42,2 persen suara publik yang menilai peran negara belum terlihat dalam hal ini.
Bagaimanapun negara harus hadir kepada anak-anak yang sudah kehilangan orangtua ini agar mereka tak semakin kehilangan kehidupan saat ini dan masa depannya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Menjadi Rumah bagi Anak-anak Yatim Korban Pandemi