Bung Karno, Soeharto, dan Jejak Kepedulian pada Anak Yatim Piatu
Sepanjang sejarah Indonesia, anak yang kehilangan orang tua akibat pertempuran, konflik, hingga bencana, seringkali meraih perhatian dari beragam kalangan. Wujud perhatian yang diberikan beragam pada setiap zamannya.
Sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, anak-anak yang kehilangan orang tua akibat pertempuran, konflik, hingga bencana, seringkali memperoleh perhatian dari beragam kalangan. Wujud perhatian yang diberikan beragam pada setiap zamannya.
Anak-anak adalah modal utama yang dimiliki oleh sebuah negara untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Generasi penerus yang berkualitas turut menentukan masa depan bangsa dalam berbagai bidang.
Kondisi ini telah disadari oleh para pendiri bangsa. Sebagai generasi penerus, anak berhak memperoleh kehidupan yang layak. Saking pentingnya, anak-anak yang terlantar pun harus dipelihara oleh negara. Hal ini termaktub dalam Pasal 34 UUD 1945.
Baca juga : Mereka yang Kini Harus Menjadi Yatim Piatu...
Pada amandemen keempat tahun 2002, pasal ini ditambah dengan beberapa ayat yang berisi tentang tanggung jawab negara dalam mengembangkan sistem jaminan sosial dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Lahirnya pasal ini dalam konstitusi menunjukkan bahwa para tokoh bangsa telah memikirkan masa depan anak-anak bangsa. Apalagi, di tengah beragam situasi, anak-anak bisa saja kehilangan orang tuanya seperti karena perang, wabah, atau hal lainnya.
Kondisi inilah yang terekam dalam ingatan Presiden Soekarno setelah Indonesia melalui gejolak revolusi fisik. Dalam pidato perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia pertama setelah periode revolusi, Soekarno menyinggung tentang banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya.
“Banyak di antara mereka telah gugur, banyak di antara mereka telah invalid, banyak di antara mereka menjadi janda atau yatim-piatu, banyak di antara mereka kehilangan harta, kehilangan benda, kehilangan kebahagiaan zahir. Marilah kita mengenangkan jasa mereka itu,” kata Soekarno pada 17 Agustus 1950.
Hal senada juga disinggung oleh Soekarno dalam pidato kenegaraan pada Agustus 1951. Bahkan, dalam pidato ini, anak-anak yang kehilangan orangtuanya disebut oleh Soekarno bersamaan saat mengenang para pejuang gerilya, pemuda yang gugur, dan wanita yang ditinggal oleh suaminya selama periode pertempuran mempertahankan kemerdekaan.
Disebutnya anak yatim dan piatu dalam pidato kenegaraan menunjukkan pentingnya persoalan ini dari kaca mata penguasa saat itu. Apalagi, jika menengok pidato kenegaraan lainnya, anak yatim dan piatu cukup jarang disinggung secara khusus seperti pidato Soekarno tujuh dekade silam.
Selain dalam pidato kenegaraan, perhatian terhadap anak yatim dan piatu juga diberikan oleh negara dalam wujud pemberian bantuan. Pada Oktober 1965, misalnya, di tengah kecamuk politik setelah terjadinya gerakan tiga puluh September (Gestapu), perhatian terhadap anak yatim juga tidak surut.
Baca juga : Yatim Piatu Akibat Pandemi, Bukan Sekadar Angka
Wujud perhatian ini terlihat saat Menko Kesejahteraan Muljadi Djojomartono memberikan bantuan kepada anak yatim dan piatu serta para janda yang berasal dari keluarga Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Muljadi yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Harta Sosial saat itu memberikan sejumlah uang kepada pengurus sejumlah organisasi ABRI untuk diteruskan kepada yang membutuhkan (Kompas, 12 Oktober 1965).
Di tengah beragam kesulitan seperti kecamuk revolusi, goncangan politik, hingga kesulitan ekonomi, perhatian terhadap anak yatim dan piatu terus diberikan oleh negara dan sejumlah pihak.
Meski terkadang bantuan diberikan secara berkala, pemerintah dan sejumlah pihak tetap mencoba untuk memberikan perhatian pada anak-anak yang tidak memiliki orangtua.
Baca juga: Proklamasi dan Fantasi Revolusi yang Nyaris Terlupakan
Perhatian khusus
Pada era Orde Baru, perhatian kepada anak yang kehilangan orangtuanya tidak surut. Pemerintah bersama sejumlah yayasan dan berbagai pihak mencoba untuk memberikan perhatian dalam beragam wujud.
Perhatian pada anak yatim piatu fokus pada berbagai latar belakang. Perhatian utama pemerintah di periode ini salah satunya tertuju pada anak-anak yang kehilangan orangtuanya akibat usaha-usaha dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
Salah satunya adalah anak-anak yang kehilangan orangtuanya saat operasi pembebasan Irian Barat. Pada era pemerintahan Soekarno, tiga komando rakyat (trikora) sempat digaungkan demi menggagalkan pembentukan negara boneka di Papua. Sejak Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Indonesia memang masih berupaya memperoleh pengakuan politik atas wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI.
Dalam upaya ini, Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Komando Mandala Operasi Pembebasan Irian Barat. Wajar, jika Soeharto menaruh perhatian kepada anak-anak yang kehilangan orang tuanya di tengah upaya pembebasan Irian Barat saat itu.
Perhatian pada anak-anak korban trikora salah satunya terekam dalam arsip harian Kompas pada Juli 1970. Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Trikora yang dipimpin Presiden Soeharto saat itu masih merawat sekitar 500 orang anak yatim dan piatu korban trikora. Yayasan ini juga menerima sumbangan untuk kebutuhan anak-anak yang dirawat.
Pada Januari 1979, yayasan ini juga kembali memberikan bantuan pada anak-anak yang kehilangan orangtuanya di tengah operasi militer, yakni Trikora saat pembebasan Irian Barat, Dwikora saat berkonfrontasi dengan Malaysia, serta Seroja di Timor Timur. Bantuan yang diberikan berupa beasiswa bagi pelajar yang duduk di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Sejak dibentuk oleh Soeharto tahun 1963, yayasan ini memang kerap memberikan beasiswa kepada para pelajar, khususnya anak-anak yang kehilangan orangtuanya saat operasi militer. Bahkan, sebagian penerima beasiswa telah berhasil menamatkan pendidikan tinggi.
Perhatian khusus juga diberikan oleh pemerintah dan sejumlah pihak pada anak-anak yang kehilangan orangtuanya saat terjadi kekacauan di Timor Timur pada dekade 1970-an.
Pada September 1977, saat Timor Timur telah menjadi bagian dari provinsi di Indonesia, sebanyak 20 orang anak yatim dan piatu berusia 6-12 tahun dirawat oleh Panti Asuhan Santo Thomas di Ungaran, Jawa Tengah (Kompas, 12 September 1977).
Sebelumnya, 20 anak ini diterima oleh Soeharto di rumah cendana, Jakarta. Dari 20 anak, dua di antaranya dapat berbahasa Indonesia. Soeharto pun mengimbau kepada pemerintah Provinsi Timor Timur untuk dapat menampung sebanyak mungkin dari total sekitar 8.000 anak yatim dan piatu pada wilayah itu sebelum diberikan bantuan oleh Yayasan Dharmais yang juga dipimpin oleh Soeharto.
Selain anak yang kehilangan orangtuanya karena tugas operasi militer ataupun konflik dan kekacauan, perhatian juga diberikan pada anak-anak yatim dan piatu lainnya seperti anak korban bencana alam ataupun anak-anak yang menjadi yatim dan piatu karena persoalan lainnya.
Bahkan, pada Mei 1996, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) berdiri demi menjaga dan mempersiapkan masa depan anak-anak Indonesia yang membutuhkan.
Gerakan ini secara bertahap diimplementasikan pada berbagai daerah. Pada daerah Makassar , Sulawesi Selatan, misalnya, pada Juni 1996 telah terdapat 155 anak yang diangkat oleh orangtua asuh.
Sumbangan melalui GNOTA juga mengalir cukup deras. Hingga 31 Desember 1996, sumbangan yang terkumpul telah mencapai Rp 18 miliar dari 2.312 perorangan, 436 pembayar zakat, dan 4.177 dermawan.
Sayangnya, dana yang tersalur baru mencapai sebesar Rp 4,7 miliar. Meski belum tersalur sepenuhnya, program ini telah memberikan harapan baru bagi anak-anak yang kehilangan orangtuanya melalui kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat luas (Kompas, 22 Maret 1997).
Baca juga: Menjadi Rumah bagi Anak-anak Yatim Korban Pandemi
Tantangan
Perhatian serupa masih terus terawat, terutama pada awal periode reformasi. Anak-anak kehilangan orangtuanya karena bencana dan konflik silih berganti memperoleh bantuan dari berbagai pihak.
Salah satu bantuan, misalnya, diberikan oleh Universitas Islam Indonesia (UII) dalam bentuk beasiswa pada 128 mahasiswa asal Aceh pada tahun 2005. Para dosen juga diimbau untuk menjadi orangtua asuh bagi mahasiswa yang kehilangan orangtuanya akibat tsunami
Konflik di Aceh pada dekade 1990-an juga berdampak pada banyaknya anak yang kehilangan orang tua. Jika pada dekade 1990-1998 terdapat sekitar 5.000 anak yatim yang kehilangan orang tuangnya di daerah operasi militer (DOM), maka laju pertambahannya semakin cepat dalam kurun waktu 1998-2000 yang menyentuh angka 2.000 anak yatim (Kompas, 8 Maret 2001).
Dalam situasi ini, organisasi sosial berbasis kekuatan masyarakat dibentuk sebagai wadah untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam merawat anak yatim. Meskipun memiliki masalah pendanaan, gerakan ini telah membantu sebagian kehidupan anak yatim di wilayah konflik.
Kini, di tengah pandemi, tentu solidaritas dan soliditas antara pemerintah dan masyarakat dibutuhkan demi merawat anak-anak yang kehilangan orangtua selama pandemi.
Jejak sejarah masa lampau telah membuktikan bahwa upaya ini mampu dilakukan di tengah segala keterbatasan. Jangan sampai, kehilangan orangtua membuat anak-anak Indonesia kehilangan asa meraih masa depan. (LIRBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?