Mendorong Tumbuhnya Kembali Industri Tekstil dan Pakaian Jadi Tanah Air
Perekonomian nasional mulai bangkit pada triwulan II 2021. Namun, tidak demikian dengan industri tekstil dan pakaian jadi yang masih mengalami kontraksi minus 4,54 persen.

Pameran Industri Tekstil - Pengunjung melihat kain yang dipamerkan dalam Intex Show 2016 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (9/6). Pameran yang menampilkan produk dan bahan tekstil ini akan berlangsung hingga 10 Juni.Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM)09-06-2016
Penguatan dan stimulus khusus perlu diberikan pada industri tekstil dan pakaian jadi lantaran merupakan satu-satunya industri unggulan yang masih mengalami kontraksi pada triwulan II 2021. Keberlanjutan industri tersebut mampu menyelamatkan jutaan tenaga kerja dan kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Kembali bangkitnya perekonomian nasional pada triwulan II 2021 tak lepas dari kinerja sejumlah sektor pembentuknya, salah satunya industri pengolahan. Sektor tersebut tumbuh positif sebesar 6,58 persen dan menjadi kontributor terbesar sumber pertumbuhan triwulan II 2021. Industri pengolahan menyumbang 1,35 persen dari total pertumbuhan 7,07 persen perekonomian nasional.
Jika tidak memperhitungkan kinerja industri batubara serta pengilangan minyak dan gas, industri pengolahan tumbuh lebih besar yakni 6,91 persen secara tahunan. Dari 15 sub industri pembentuknya, 11 di antaranya tumbuh positif. Pertumbuhan terbesar terjadi pada industri alat angkutan yang mencapai 45,70 persen.

Suasana hiurk pikuk pedagang dan warga di jalan kompleks pertokoan tekstil dan sepatu di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (12/8/2021). Momentum perayaan HUT Kemerdekaan dimanfaatkan pedagang untuk meningkatkan gairah penjualan di tengah kelesuan saat pandemi dengan berbagai promosi.
Capaian tersebut didukung oleh peningkatan permintaan kendaraan bermotor sebagai dampak positif dari insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Industri lain yang mencatat pertumbuhan tinggi adalah industri logam dasar yang tumbuh sebesar 18,03 persen, diikuti industri mesin dan perlengkapan (16,35 persen).
Namun demikian, pertumbuhan pada industri pengolahan non migas belum merata. Masih terdapat empat industri yang terkontraksi hingga pertengahan tahun ini. Industri kayu dan turunannya mengalami kontraksi terdalam sebesar minus 6,07 persen.
Posisi terendah kedua diisi oleh industri tekstil dan pakaian jadi dengan pertumbuhan minus 4,54 persen. Masih minusnya pertumbuhan sektor sandang ini menjadi ironi, pasalnya industri padat karya tersebut menjadi satu-satunya industri unggulan yang masih mengalami kontraksi setelah satu tahun pandemi Covid-19.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2Fc8223d65-78cf-4e51-9b9d-bc23e689c217_jpg.jpg)
Pedagang menunggu pembeli sembari memainkan gadgetnya di Blok A Pasar Tanah Abang, Jakarta (28/7/2021) Walaupun pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara tersebut sudah diijinkan untuk buka kembali pada masa PPKM Level 4 ini, tapi jumlah pengunjung masih sangat terbatas.
Industri unggulan
Sebelumnya, pada 2018, Kementerian Perindustrian menyusun peta jalan revolusi industri bertajuk “Making Indonesia 4.0” dalam memasuki era digitalisasi. Industri pengolahan secara khusus dipilih karena memiliki kontribusi yang besar pada perekonomian nasional. Hingga triwulan II 2021, hampir seperlima (19,29 persen) PDB nasional disumbang oleh industri pengolahan.
Peta jalan tersebut disusun demi mencapai cita-cita Indonesia menjadi 10 kekuatan terbesar di dunia berdasarkan PDB pada 2030. Industri tekstil dan pakaian menjadi salah satu industri unggulan yang diprioritaskan, bersama dengan empat industri lainnya.
Keempat industri tersebut adalah makanan dan minuman, otomotif, kimia, dan elektronik. Harapan besar dengan memasukkan industri tekstil dan pakaian menjadi industri prioritas adalah menjadikan produsen sandang tersebut masuk jajaran lima besar dunia.

Pada 2018, industri tekstil dan pakaian jadi menyumbang 6,41 persen pada industri pengolahan non migas. Kontribusinya meningkat tajam pada 2019 menjadi 7,41 persen pada tahun berikutnya.
Peningkatan terjadi seiring menguatnya kinerja industri padat karya tersebut. Memasuki awal 2019, industri tekstil dan pakaian jadi mengalami pertumbuhan positif tertinggi dibandingkan industri lainnya, yakni sebesar 18,98 persen.
Pertumbuhannya semakin menggeliat di triwulan II menjadi 20,71 persen. Sepanjang 2019, pertumbuhannya sebesar 15,35 persen, tiga kali lipat pertumbuhan PDB nasional. Cepatnya perputaran ekonomi industri tersebut didorong oleh melimpahnya permintaan, terutama pasar luar negeri.

Dampak pandemi
Namun demikian, memasuki 2020 industri prioritas ini mulai mengalami kemunduran. Triwulan I 2020, setelah mengalami pertumbuhan ekonomi tertinggi, industri tekstil dan pakaian mengalami kontraksi sebesar minus 1,24 persen karena dampak pandemi.
Seiring dengan semakin meluasnya penularan Covid-19 yang berdampak pada melemahnya roda perekonomian, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi pun semakin terkontraksi menjadi 14,23 persen pada triwulan berikutnya. Penurunan ini tak lepas dari lesunya perekonomian global, sebab industri tekstil dan pakaian berorientasi pada ekspor.
Baca juga: Anomali Ekonomi Lebaran di Tengah Pandemi
Hingga triwulan II 2021, pertumbuhan industri tekstil dan pakaian jadi masih mengalami tekanan pertumbuhan. Hal ini menjadi anomali, pasalnya pada triwulan II terdapat momentum hari raya Idul Fitri 2021 yang diikuti meningkatnya permintaan akan produk tekstil dan pakaian. Namun demikian, momentum tersebut tak mampu mendongkrak kinerja industri prioritas tersebut.
Selain faktor rendahnya permintaan, baik pasar luar negeri maupun domestik, industri tekstil dan pakaian jadi terancam oleh hadirnya barang impor. Hal ini tecermin dari menurunnya rata-rata utilisasi industri menjadi 55 persen, di mana sebelumnya sudah mencapai 70 persen pada akhir 2020.

Barang impor tersebut membanjiri tanah air melalui penjualan daring atau e-commerce. Produk yang berasal dari luar negeri tersebut menjadi semakin murah karena mendapat subsidi ekspor dari negara asal. Hal ini juga sebagai dampak tertahannya ekspor tekstil dan produk turunannya dari luar negeri karena pembatasan selama pandemi.
Melemahnya kinerja industri tekstil dan pakaian jadi juga tecermin dari nilai prompt manufacturing index yang disusun oleh Bank Indonesia. Indeks PMI-BI yang menggambarkan kinerja sektor industri pengolahan itu menunjukkan bahwa kinerja industri tekstil dan pakaian jadi berada pada fase kontraksi, yakni 48,36 persen. Padahal, industri pengolahan secara keseluruhan berada fase ekspansi dengan nilai indeks sebesar 51,45 persen.
Distribusi industri tekstil dan pakaian jadi pun juga menurun selama masa pandemi. Setelah mampu berkontribusi lebih dari tujuh persen pada 2019, kontribusinya turun menjadi 6,75 persen pada 2020, dan semakin menurun menjadi 6,02 persen pada triwulan II 2021.

Puluhan penjahit menyelesaikan pembuatan baju di sebuah usaha kenveksi milik Enca di Curug, Bogor, Jawa Barat (27/2/2021). Pandemi menjadi berkah bagi Enca dengan membludaknya pesanan jahit baju, masker, dan alat pelindung diri dari para penjual baju daring.
Padat karya
Penurunan terus-menerus tersebut perlu diwaspadai lantaran industri tekstil dan pakaian jadi merupakan industri padat karya. Merujuk data terbaru BPS, hampir seperlima dari total tenaga kerja industri pengolahan ada pada industri tekstil dan pakaian jadi, yakni 18,80 persen. Jumlah tersebut membawa industri tekstil dan pakaian jadi menyumbang tenaga kerja terbanyak kedua setelah industri makanan dan minuman (29,23 persen).
Secara lebih rinci, pada 2018 terdapat 629.298 pekerja industri tekstil pada industri besar dan sedang. Sementara, industri pakaian jadi mempekerjakan 763.314 orang tenaga kerja. Tak hanya itu, terdapat juga 406.103 pekerja tekstil dan 1.081.978 pekerja pakaian jadi pada skala industri mikro kecil di tahun yang sama.
Artinya, ada lebih dari 2,8 juta tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di industri tekstil dan pakaian jadi. Dengan demikian, terganggunya kinerja industri tersebut akan berpengaruh pada kemampuan bertaham hidup jutaan rumah tangga.
Menurut catatan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani, terdapat 2,1 juta tenaga kerja pada industri tersebut yang terdampak pandemi pada pertengahan Mei 2020, baik dirumahkan maupun di PHK.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_11161193_82_0.jpeg)
Pekerja menjalankan proses produksi benang di bagian "spinning" (pemintalan) pabrik PT Dan Liris di Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (8/4/2011). Sebagian produsen tekstil dan produk tekstil (TPT) skala ekspor optimis menghadapi persaingan global pada era perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China yang berlaku sejak 2010.
Konsistensi penanganan
Melihat situasi tersebut, dibutuhkan penanganan dan stimulus khusus pada industri prioritas tersebut. Selama ini, pemerintah telah mencanangkan program restrukturisasi kredit, salah satunya untuk industri tekstil.
Restrukturisasi kredit merupakan upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan untuk debitur yang berpotensi mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya.
Wujud kongkret kebijakan tersebut dapat berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, dan pengurangangan tunggakan pokok maupun bunga kredit. Metode restrukturisasi adalah penambahan fasilitas kredit dan konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara.
Stimulus tersebut semakin diperlukan lantaran semakin banyak perusahaan tekstil dan pakaian jadi yang mulai mengalami kesulitan keuangan. Sritex misalnya, salah satu produsen tekstil dan pakaian jadi terbesar di Indonesia, menghadapi penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). PKPU merupakan prosedur yang dapat dilakukan debitur untuk menghindari kepailitan.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F06%2F20190624_ENGLISH-ANALISIS-EKONOMI_B_web_1561379714.jpg)
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri maupun ekspor namun menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA (RWN)13-02-2019
Berdasarkan laporan keuangan Desember 2020, total utang Sritex sebesar Rp 17,1 triliun. Padahal, total asset Sritex hanya Rp 26,9 triliun. Sementara, Sritex harus menghidupi lebih dari 17.000 karyawan.
Di sisi lain, berdasarkan Laporan Profil Industri Perbankan triwulan III 2020, risiko kredit atau non performing loan industri tekstil mengalami peningkatan menjadi 17,72 persen pada September 2020, dari 6,76 persen pada September 2019. Hal tersebut merupakan gambaran situasi sulit yang sedang dihadapi industri tekstil.
Baca juga: Jaga Keberlanjutan Industri Tekstil Nasional
Situasi tersebut perlu direspons dengan percepatan kebijakan restrukturisasi kredit serta stimulus khusus pada industri tekstil dan pakaian jadi. Sebab, menyelamatkan industri tersebut sama artinya dengan menyelamatkan jutaan rumah tangga dan kinerja perekonomian secara keseluruhan. Dalam lanskap ekonomi nasional, sektor sandang tersebut masuk daftar lima besar industri yang berkontribusi besar pada PDB nasional. (LITBANG KOMPAS)