Endemik Covid-19 di Masa Depan
Para ahli memperkirakan masa depan Covid-19 di dunia. Covid-19 akan menjadi penyakit yang penyebarannya terbatas pada populasi atau wilayah tertentu (endemik).
Para ahli memperkirakan Covid-19 akan tetap ada di masa depan, hanya saja tidak separah situasi saat ini. Di satu sisi, ini menumbuhkan optimisme pemulihan di masa depan. Di sisi lain, ini menuntut tanggung jawab dan komitmen bersama untuk terus menangani Covid-19 dalam jangka panjang.
Sejumlah negara mulai menyusun rencana untuk dapat hidup “berdampingan” dengan Covid-19. Inggris, Jerman, Italia, Israel dan Singapura bahkan telah melonggarkan sejumlah aturan pembatasan mobilitas dan karantina wilayah. Pembatasan kegiatan masyarakat dilonggarkan, tempat perbelanjaan dan wisata dibuka, aktivitas perjalanan mulai diizinkan.
Masyarakatpun didorong untuk kembali berkegiatan seperti biasa dengan perspektif hidup berdampingan dengan Covid-19. Singapura dan Israel bahkan mengalihkan fokus penanganannya pada pasien bergejala berat dan ketersediaan ruang perawatan intensif dibanding memantau kasus infeksi biasa.
Indonesia pun mulai menyusun rencana untuk menghadapi Covid-19 dalam jangka waktu panjang meskipun penerapannya tidak secepat Singapura. Pada Selasa (17/8/2021), Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan skema Ketahanan Kesehatan Masyarakat Indonesia.
Skema ini terdiri dari pengendalian kegiatan masyarakat dan perilaku menjalankan protokol kesehatan, mempercepat pembentukan kekebalan imunitas, meningkatkan kapasitas kesehatan, mengawasi distribusi virus serta menyusun rencana ketahanan masyarakat.
Rencana tersebut didasarkan pada pendapat para ahli bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 tidak akan lenyap. Penyakit ini diperkirakan akan menjadi endemik. Hal ini diungkapkan 89 persen responden dari 100 ahli imunologi, virologi dan epidemiologi dari 23 negara dalam survei yang dilakukan Nature pada Januari 2021.
Para ahli memprediksi bahwa Covid-19 akan menjadi penyakit yang penyebarannya terbatas pada populasi atau wilayah tertentu. Hal ini ditandai dengan jumlah kasus baru konstan dan terbatas pada suatu wilayah saja.
Kondisi tersebut yang membedakan wabah endemik dengan pandemi. Pandemi ditandai dengan peningkatan kasus terus menerus secara meluas hampir di seluruh negara.
Menurut sejumlah ahli, salah satu skenario yang mungkin terjadi adalah Covid-19 menjadi penyakit infeksi pernapasan namun tidak bergejala berat. Sama seperti penyakit flu dan demam di masa sekarang demikianlah Covid-19 menginfeksi manusia di masa depan. Namun, belum ada yang mengetahui bagaimana pola dan tingkat keparahan Covid-19 jika menjadi endemik.
Demikian pula tidak ada yang dapat memastikan kapan Covid-19 mereda atau bahkan menjadi endemi. Untuk mencapai kondisi ini dibutuhkan waktu hingga bertahun-tahun bahkan beberapa dekade. Salah satu penentunya adalah tingkat kekebalan di masyarakat.
Tingkat kekebalan
Seberapa banyak dan kuatnya kekebalan dalam komunitas menentukan seberapa lama dan parahnya Covid-19 menginfeksi. Jika kekebalan komunitas meningkat dan bertahan lama, tingkat keparahan infeksi Covid-19 berkurang.
Kekebalan komunitas ini dicapai dari dua cara yaitu vaksinasi dan kekebalan alami dari infeksi virus Covid-19 itu sendiri. Vaksinasi memang menjadi elemen penting untuk menyiapkan kekebalan komunitas dalam jangka panjang. Meskipun tidak mencegah infeksi sepenuhnya, setidaknya orang yang telah divaksin berisiko rendah mengalami gejala berat. Hal ini mengurangi beban kesakitan pasien dan perawatan di fasilitas kesehatan.
Cara lainnya yaitu kekebalan alami didapatkan jika seseorang telah terinfeksi Covid-19. Penyintas Covid-19 memiliki antibodi yang membantu melindungi tubuh dari infeksi virus korona.
Akan tetapi, tidak mungkin membiarkan masyarakat mendapatkan kekebalan alami dari infeksi Covid-19. Alih-alih mendapatkan kekebalan, pasien bisa menderita gejala parah bahkan hingga menyebabkan kematian. Karena itu, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan vaksinasi.
Kombinasi vaksinasi dan kekebalan dari penyintas Covid-19 menjadi penentu dari kekebalan komunitas. Berdasarkan penelitian awal Covid-19, kekebalan komunitas terbentuk apabila 60 hingga 70 persen populasi memiliki imunitas terhadap virus Covid-19.
Kendati demikian, bukan berarti hal itu mudah dilakukan. Seseorang yang sudah divaksin atau mendapatkan kekebalan alami bisa saja terinfeksi Covid-19. Potensi ini akan meningkat jika virus berevolusi dan bermutasi sehingga memiliki kesempatan menyerang tubuh manusia lebih efektif.
Berdasarkan survei Nature, sebagian besar responden (71 persen) menyebutkan bahwa hal itu menjadi faktor pendorong terbesar Covid-19 akan tetap ada. Para ahli menyebutnya sebagai immune escape. Fenomena ini terjadi saat varian baru virus dapat lolos dari imunitas tubuh meskipun sudah divaksin atau mendapatkan kekebalan alami.
Selain itu, enam dari sepuluh responden juga menyebutkan infeksi virus akan terus terjadi jika tingkat kekebalan tubuh terhadap virus berkurang. Sampai saat ini penelitian tentang jangka waktu efektivitas vaksinasi dan kekebalan alami penyintas Covid-19 masih terus dilakukan. Indikasi awal menghasilkan tanda bahwa tingkat antibodi terhadap virus Covid-19 menurun seiring waktu. Tetapi belum diketahui apakah hal ini mencerminkan berkurangnya perlindungan.
Jangka panjang
Meskipun demikian, percepatan dan pemerataan vaksinasi tetap perlu terus diupayakan. Sebab, rendahnya vaksinasi turut mendorong berkembangnya virus di kemudian hari. Para ahli mengkhawatirkan distribusi vaksin yang tidak merata dan penolakan vaksinasi oleh sebagian masyarakat memberikan peluang virus Covid-19 untuk terus menginfeksi dan bermutasi.
Distribusi vaksin yang tidak merata ini menyebabkan kesenjangan penerimaan vaksin. Mayoritas vaksinasi (83 persen) telah dilakukan di negara-negara kaya dan menengah atas. Sementara negara-negara berpendapatan rendah baru menerima 0,3 persen dosis vaksin Covid-19.
Kesenjangan ini akan berdampak pada kecepatan eliminasi Covid-19. Negara dengan vaksinasi tinggi berpotensi lebih besar mengeliminasi Covid-19 lebih cepat. Sementara Covid-19 di negara dengan vaksinasi rendah, infeksi Covid-19 akan terus menjadi bencana jika penanganan tidak terkendali.
Hal lain yang tidak kalah penting menentukan lamanya Covid-19 beredar di bumi adalah komitmen penanganan oleh pemerintah. Selain vaksinasi, upaya mengurangi penularan adalah yang terpenting saat ini. Artinya, pembatasan kegiatan sementara waktu, pengetesan dan pelacakan, serta penerapan protokol kesehatan terus diupayakan sembari menanti target vaksinasi terpenuhi.
Meresponi perkiraan para ahli tentang masa depan dunia dengan keberadaan Covid-19, dapat disarikan dua hal. Pertama, masih ada harapan untuk pulih dari situasi pandemi. Jika kekebalan terhadap Covid-19 meningkat dan tingkat keparahan penyakit menurun maka sedikit demi sedikit maka situasi akan membaik. Akan tetapi, perkiraan ini perlu disikapi dengan bijak sebab akan membutuhkan waktu lama dan konsistensi penanganan Covid-19.
Kedua, dengan perkiraan bahwa Covid-19 akan tetap ada dalam waktu lama, pemerintah dan masyarakat perlu bersikap terus waspada dan fleksibel terhadap segala perubahan yang mungkin terjadi. Ke depannya, pengetatan dan pelonggaran pembatasan kegiatan masyarakat akan terus dilakukan mengingat riak-riak lonjakan kasus yang mungkin terjadi.
Baca juga: Perubahan Wajah Kota di Balik Wabah
Pendapat para ahli yang menyatakan bahwa Covid-19 akan menjadi penyakit yang penyebarannya terbatas pada populasi atau wilayah tertentu memberikan refleksi kepada seluruh warga dunia untuk bersiap-siap hidup bersama dengan virus korona di masa depan.
Karena itu, pengalaman selama lebih dari satu setengah tahun menghadapi Covid-19 bisa dijadikan bahan evaluasi dan penyusunan rencana jangka panjang. Tidak hanya bagi sektor kesehatan, tetapi juga sektor ekonomi dan pendidikan yang sangat bergantung pada situasi pandemi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Vaksin Pan-Coronavirus Cegah Pandemi Covid-19 di Masa Depan