Peran Luhut dan Sikap Kritis PDI-P
Predikat ”menteri segala urusan” yang tersemat kepada Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memang menjadi suatu keistimewaan dari kuatnya sosok tersebut dibandingkan dengan para anggota kabinet lainnya.
Predikat ”menteri segala urusan” kepada Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memang tak sepenuhnya keliru untuk disematkan. Sosok Luhut terbilang istimewa dan berpengaruh dibandingkan dengan para anggota kabinet lainnya.
Selama masa penanganan pandemi, tampak jelas peran Luhut yang dominan mengendalikan orkestrasi jalannya pembatasan sosial masyarakat. Peran ini semakin tampak sejak dampak pandemi yang semula sudah relatif ”terkendali” hingga awal 2021, tiba-tiba terus naik dan melonjak tinggi pada Juli 2021.
Pada penanganan dampak pandemi 2020, sosok Kepala Gugus Tugas Covid-19 lebih banyak tampil untuk menyosialisasikan tindakan preventif-kuratif dan protokol kesehatan guna mengantisipasi dampak pandemi.
Sementara di akhir 2020 hingga pertengahan 2021 ini, tindakan preventif diwujudkan dengan pembatasan mobilitas melalui kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) akhirnya terpaksa ditempuh untuk membendung penyebaran virus korona baru.
Dalam masa PPKM yang terdiri dari sejumlah kategori, PPKM level 1, 2, 3, 4, dan PPKM darurat, sosok Luhut semakin sering muncul di hadapan publik. Acap kali bersama sejumlah menteri, termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Luhut memaparkan batasan-batasan pemberlakuan PPKM.
Pemerintah tampaknya terpaksa menempuh kebijakan pembatasan sosial secara dinamis, tetapi tetap melekat, karena perkembangan virus korona baru ternyata tetap membahayakan dengan munculnya kasus-kasus penularan baru.
Masa perpanjangan PPKM yang terus diberlakukan membuat pemerintah secara periodik harus mengomunikasikan kebijakan itu ke masyarakat luas. Luhut sebagai koordinator tentulah menjadi sosok sentral dalam setiap kebijakan penting tersebut.
Di setiap pengujung pembatasan kegiatan berakhir, publik akan menunggu keputusan baru yang diberlakukan pemerintah. Kebijakan diperpanjang atau tidaknya masa PPKM, hingga penyesuaian sejumlah aturan teknis lainnya menjadi informasi penting dan paling dinantikan masyarakat.
Seperti yang diketahui, sejak Juli 2021, Presiden secara langsung menunjuk Luhut untuk menjadi koordinator PPKM darurat untuk wilayah Jawa-Bali. Langkah pembatasan kegiatan itu perlu diambil karena kondisi ledakan kasus Covid-19 di wilayah tersebut sudah semakin tidak terkendali.
Penunjukan Luhut sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali memang menjadi otoritas penuh Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Penunjukan Luhut sebagai koordinator PPKM Jawa-Bali memang menjadi otoritas penuh Presiden sebagai kepala pemerintahan. Presiden sepertinya memang memercayai sosok Luhut yang tegas dan otoritatif untuk dapat bekerja cepat mengatasi dampak Covid-19 di Jawa-Bali.
Padahal, jika dilihat dari struktur dan ranah fungsi kelembagaan di dalam kabinet, Menko Pembangunan Manusia Muhadjir Effendy yang membawahi Kementerian Kesehatan semestinya yang lebih layak mendapat amanah koordinator tersebut. Dalam tugas ini, Presiden justru meminta Menko Perekonomian Airlangga Hartanto untuk mendampingi Luhut sebagai wakil koordinator.
Pelibatan Menko Kemaritiman dalam kerja strategis untuk menangani kondisi genting Covid-19 memang bukan kali ini saja. Sebelumnya, Presiden juga pernah meminta Luhut secara khusus untuk memimpin satuan tugas percepatan penanganan pandemi di sembilan wilayah provinsi yang ketika itu berada pada status zona merah penyebaran virus.
Selain itu, dalam kerja penanganan pandemi lainnya, sosok jenderal (purn) militer tersebut kini juga dipercaya untuk menjadi Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN).
Orang kepercayaan
Sebagai orang yang terbentuk dalam budaya kerja militer, bagi Luhut segala tugas yang diberikan oleh atasannya, dalam hal ini Presiden, memang harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Hal tersebut pun acap kali diungkapkan langsung oleh Luhut dalam sejumlah wawancara di media, bahwa menurut dia tak ada yang salah dengan berbagai tugas yang diberikan kepadanya meski kerap dinilai terlalu keluar batas dari tugas dan fungsi pokok lembaga.
Lebih lanjut dia menekankan bahwa penanganan kondisi darurat, seperti pandemi Covid-19, memang memerlukan kerja sama seluruh pihak. Berbagai amanah yang diberikan Presiden itu menjadi tanggung jawab untuk dikerjakan dan wujud dari kepercayaan pemimpin yang harus dijaga.
Sudah bukan rahasia lagi, Luhut dan Joko Widodo memang memiliki kedekatan secara personal. Rekam jejak jabatan-jabatan menteri yang pernah diemban Luhut dalam kabinet pun membuktikan sosok kuatnya sebagai orang kepercayaan Joko Widodo.
Sejak 2014, Luhut tercatat sudah beberapa kali memimpin lembaga kementerian. Dimulai ketika ia dipercaya sebagai Kepala Staf Kepresidenan, kemudian dalam sejumlah reshuffle kabinet berganti jabatan menteri. Pada Agustus 2015, Presiden meminta Luhut untuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
Jabatan itu hanya diemban tak genap setahun dan Presiden kembali meminta Luhut untuk menjadi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman menggantikan Rizal Ramli.
Rekam jejak jabatan-jabatan menteri yang pernah diemban Luhut dalam kabinet pun membuktikan sosok kuatnya sebagai orang kepercayaan Joko Widodo.
Jabatan itu bertahan hingga saat ini, bahkan dengan perluasan bidang dan fungsi setelah adanya perubahan nomenklatur lembaga menjadi Kemenko Maritim dan Investasi.
Dalam perjalanannya sebagai Menko Kemaritiman, Luhut juga sempat menjabat menteri ad interim atau menteri sementara untuk mengisi kekosongan jabatan yang disebabkan kondisi tertentu.
Pada 2016, Luhut pernah merangkap jabatan sebagai Menteri ESDM setelah mencuat kisruh kewarnegaraan calon wakil menteri Arcandra Tahar. Kemudian, pada Maret 2020 ia juga pernah mengambil alih sementara kepemimpinan di Kementerian Perhubungan saat Budi Karya Sumadi tak dapat bertugas karena harus mendapatkan perawatan akibat terkena Covid-19.
Setelahnya, sosok yang juga kerap disapa LBP itu kembali harus merangkap kepemimpinan salah satu kementerian di bawah koordinasinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), setelah Edhy Prabowo dinonaktifkan dari jabatan menteri karena tersandung kasus korupsi.
Baca juga: Gerak Cepat Paten Luhut dan Birokrasi Era Pandemi
Kekhawatiran PDI-P
Menjadi orang kepercayaan Presiden Joko Widodo inilah yang oleh sebagian pihak dianggap menempatkan Luhut menjadi lebih istimewa dibandingkan dengan para anggota kabinet lain.
Di tengah gelombang arah politik pada 2024 yang sudah mulai dipersiapkan, kedekatan keduanya kerap dikaitkan dengan bermacam spekulasi politik.
Kondisi demikian tampaknya perlahan memantik ketidaknyamanan bagi PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu 2019. Sebagai orang yang sudah berada di dalam lingkaran istana sejak periode awal 2014, sosok Luhut begitu loyal dan menjadi bagian dari gerbong koalisi sekalipun ia bukanlah kader partai.
Namun, hal itu juga yang membuat manuver politik yang dilakukan Luhut dapat jauh lebih dinamis tanpa harus dalam pengaruh PDI-P sekalipun. Sebagai partai penguasa, wajar saja PDI-P cukup memperhitungkan keistimewaan sosok Luhut dalam pemerintahan.
Hal itu dibuktikan dengan sikap PDI-P yang mulai terbuka melancarkan kritik kebijakan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah.
Di akhir Juli lalu, Ketua DPR Puan Maharani sempat melontarkan kritiknya terkait adanya aturan makan 20 menit di masa PPKM. Menurut dia, pemerintah semestinya lebih dapat mengkaji penyesuaian aturan teknis yang dibuat sebelum memberlakukan kepada masyarakat.
Kritik seputar penanganan pandemi dari kubu partai banteng bergulir. Kali ini datang dari anggota DPR Fraksi PDI-P, Efendi Simbolon, yang menyatakan kekecewaannya terhadap ketidaktegasan pemerintah yang sejak awal pandemi seharusnya dapat memberlakukan lockdown sesuai aturan yang diamanatkan undang-undang kekarantinaan.
Tak mau kalah, lontaran kritik juga keluar dari anggota DPR sekaligus politisi PDI-P, Masinton Pasaribu. Bahkan, secara langsung Masinton menyoroti pernyataan Luhut yang sering kali menggampangkan masalah ketika membahas pengendalian Covid-19.
Di tengah penerapan PPKM, yang notabene merujuk pada sosok sentral Luhut sebagai pemegang koordinator, kritik tersebut mempertegas adanya pesan politik yang hendak disampaikan oleh partai banteng moncong putih.
Paling terbaru, dalam forum internal DPP PDI-P secara virtual 4 Agustus 2021, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengatakan, seharusnya Presiden Joko Widodo dapat langsung memegang komando penanganan Covid-19.
Menurut Megawati, Covid-19 merupakan persoalan extraordinary yang harus ditangani langsung oleh presiden sebagai kepala negara. Banyak pihak yang menilai pernyataan Megawati tersebut pada dasarnya merupakan kritik yang mengarah pada penunjukan Luhut sebagai Koordinator PPKM Jawa-Bali.
Pengamat politik yang juga Guru Besar Universitas Pertahanan Prof Salim Said sempat mengungkapkan bahwa Luhut dan Megawati memang memiliki ketidakcocokan visi. Berbagai intrik antara PDI-P dan Luhut yang muncul belakangan ini adalah bara lama yang kembali menyala.
Lebih lanjut dalam penjelasannya, sedari awal sang Ketua Umum PDI-P itu tak sepakat jika Luhut masuk dalam lingkaran kabinet pemerintahan. Namun, Presiden Joko Widodo kukuh mempertahankan hingga pada akhirnya membentuk Kepala Staf Kepresidenan yang diisi oleh Luhut.
Jika memang demikian, boleh jadi berbagai jabatan strategis yang diberikan kepada Luhut memang bukan hanya menjadi wujud kepercayaan Presiden, melainkan juga penguatan eksistensi.
Kini, tentu terlampau dini pula untuk dapat membuktikan bahwa berbagai rentetan polemik yang disajikan itu akan bermuara pada konfigurasi politik mendatang.
Di tengah berbagai spekulasi yang berkembang, tentu publik berharap para elite semestinya tetap dapat fokus kerja-kerja penanganan pandemi yang jauh dari kepentingan politis praktis. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Luhut: Buka Data dan Patuhi Protokol, Pasti Kasus Covid-19 Turun