Strategi Nike Memanfaatkan Momentum hingga Untung
Tiga peristiwa besar dalam dunia olahraga terjadi di pertengahan tahun ini, yakni Euro 2020, Olimpiade Tokyo 2020, dan kepindahan Messi ke Paris Saint-Germain. Di sanalah, Nike berhasil memanfaatkan momentum.

Penggemar Paris Saint-Germain memeriksa kaus dengan nama Lionel Messi di toko resmi PSG, Rabu (11/8/2021). Kehadiran Messi di PSG langsung menaikkan penjualan kaus di toko-toko resmi PSG.
Pandemi Covid-19 yang belum berakhir tampaknya tidak memengaruhi pencapaian perusahaan alat olahraga asal Amerika Serikat, Nike, untuk meraih keuntungan. Meski sempat mengalami penurunan pada 2020 kemarin, Nike berhasil membalikkan keadaan. Piala Eropa 2020, Olimpiade Tokyo 2020, dan valuasi Messi di klub Paris Saint-Germain menjadi tiga momen kebangkitan Nike.
Nike mengumumkan laporan keuangan kuartal keempat dan tahunan untuk tahun fiskal yang berakhir pada 31 Mei 2021 dengan hasil gemilang. Laba tahunan perusahaan alat olahraga itu melonjak 196 persen dibandingkan 2020 dan naik 42 persen dibandingkan hasil 2019. Hasil itu diperoleh dari pendapatan sebesar 12,3 miliar dollar AS atau 96 persen sepanjang tahun ini hingga Mei 2021 dibandingkan 2020 pada periode yang sama.
Tahun ini, penjualan langsung Nike dari tokonya baik luring maupun daring naik 32 persen atau mencapai lebih dari 16 miliar dollar AS dan mewakili 37 persen dari total pendapatan. Tahun lalu, hasil penjualan langsung hanya menyumbang 33 persen dari total pendapatan. Penjualan langsung dari ritel inilah yang menjadi faktor utama kebangkitan Nike.
Sebelumnya, Nike sempat mengalami kendala dalam penjualan pada 2020 karena banyaknya toko fisik yang dilarang beroperasi akibat kebijakan karantina wilayah di sejumlah negara. Kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial di Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia telah mengakibatkan 45 persen toko fisik Nike terpaksa tutup. Permasalahan arus logistik, seperti kekurangan peti kemas, kemacetan pelabuhan, dan inventaris perdagangan, menjadi rangkaian hambatan penjualan produk Nike.

Jaket putih yang digunakan atlet Amerika Serikat di Olimpiade Tokyo 2020. Jersi tim AS tersebut mencantumkan logo Nike.
Namun, sejak awal 2021 sejumlah wilayah telah melonggarkan kebijakan tersebut dan memberi peluang bagi pasar ritel. Sebagai contoh, permasalahan rantai pasokan dan penutupan toko fisik membuat pendapatan Nike turun sebesar 10 persen di Amerika Utara. Lalu, pada 2021 hingga Mei kemarin pendapatan Nike di Amerika Utara dari ritel langsung naik 141 persen dibandingkan 2020.
Presiden dan CEO Nike John Donahoe menyatakan bahwa 2021 adalah tahun yang penting bagi Nike untuk menghidupkan strategi percepatan langsung konsumen (consumer direct acceleration) di seluruh pasar. Ia menambahkan bahwa didorong oleh momentum, Nike terus berinvestasi dalam inovasi untuk menetapkan fondasi bagi pertumbuhan jangka panjang perusahan berlogo centang tersebut. Strategi Percepatan Langsung Konsumen yang diusung Nike mengandalkan peningkatan produksi serta percepatan penyaluran logistik hingga ke konsumen.
Sebenarnya, yang Nike lakukan pada 2021 adalah memanen investasi jangka panjang yang telah mereka mulai sejak lama. Merek Nike sudah tertanam dalam benak konsumen setia dan itulah yang dijaga Nike dengan inovasi produk, tentu juga untuk menggaet pelanggan baru. Secara tidak langsung, kedigdayaan Nike di bisnis retail alat olahraga disokong oleh investasi berkelanjutan di ajang olahraga dan sentimen pasar.

Tiga momentum
Capaian pendapatan Nike yang gemilang dari awal hingga pertengahan 2021 bukanlah proses sekali jadi. Dapat dikatakan, manajemen Nike lihai dalam melihat peluang investasi melalui promosi di tiga peristiwa olahraga. Ketiganya ialah Piala Eropa 2020, Olimpiade Tokyo 2020, dan kepindahan Lionel Messi dari klub Barcelona ke klub Paris Saint-Germain.
Dalam Piala Eropa 2020, tim negara pemenang memang diraih oleh Italia, tetapi ada pemenang lain yang tidak lain patut disematkan kepada Nike. Melansir dari laporan The Athletic, setidaknya Nike menjadi sponsor sembilan dari 24 negara peserta Piala Eropa 2020. Saingan berat Nike, yaitu Adidas, mensponsori delapan tim, dan Puma empat tim.
Ketika babak perempat final bergulir, delapan dari sembilan tim yang menggunakan jersi berlogo Nike tersingkir, menyisakan Inggris sebagai satu-satunya perwakilan Nike. Dari empat tim yang disokong, Puma masih memiliki tiga tim, sementara Adidas maju dengan dua tim. Jumlah perwakilan masing-masing merek semakin mengerucut begitu Piala Eropa 2020 memasuki babak semifinal, Italia (Puma) melawan Spanyol (Adidas), sedangkan Inggris (Nike) menghadapi Denmark (Hummel).
Jika menimbang jumlah uang yang diinvestasikan, Nike dan Adidas dapat dibilang sedikit merugi karena Perancis dan Jerman gagal menembus babak 16 besar Piala Eropa 2020. Kesepakatan Nike dengan Perancis memiliki nilai tertinggi dalam sepak bola internasional, mencapai sekitar 78 juta dollar AS per tahun atau setara Rp 1,1 triliun.

Nilai kerja sama itu jauh di atas kesepakatan jangka panjang Adidas dengan timnas Jerman, 60 juta dollar AS per tahun atau sekitar Rp 867 miliar. Sementara itu, kesepakatan antara Puma dan Italia hanya bernilai 35 juta dollar AS atau lebih kurang Rp 506 miliar.
Jumlah di atas belum memperhitungkan valuasi dari citra Nike yang dibawa oleh para pemain bintang yang berlaga di Piala Eropa 2020. Sejak 2020, Nike memang mengubah strategi mereka untuk mengikat kerja sama kemitraan dengan sejumlah pemain sepak bola. Alasannya bukan memangkas pengeluaran karena pandemi, melainkan fokus kemitraan dialihkan pada pemain sepak bola muda.
Jadi, tak berlebihan jika disebut Euro 2020 cukup membenamkan Nike dan meningkatkan pamor Puma yang menjadi sponsor jersi tim Italia. Namun, pendapatan Puma di turnamen tersebut hanya mencapai sekitar 6 miliar dollar AS, jauh di belakang Nike dan Adidas yang masing-masing mengumpulkan 36 miliar dollar AS dan 23,5 miliar dollar AS. Karena itu, pertempuran bisnis pakaian dan alat olahraga di Piala Eropa 2020 masih didominasi oleh Nike.
Selanjutnya, Nike juga mendapat keuntungan citra merek dari Olimpiade 2020 di Tokyo meskipun tidak menjadi sponsor di ajang tersebut. Berdasarkan survei dari GeoPoll yang melibatkan 3.600 responden di sejumlah negara, merek Nike menduduki peringkat paling tinggi dibandingkan merek alat olahraga lainnya. Citra merek ini diperoleh dari persepsi responden berdasarkan pengamatan mereka di iklan televisi, internet, media sosial, dan sebagainya.

Pelatih Timnas Inggris Gareth Southgate (kiri) berdiri di samping pemain Jadon Sancho (tengah) dan Marcus Rashford pada laga final Piala Eropa di Stadion Wembley, London (12/7/2021). Timnas Inggris menggunakan jersi berlogo Nike.
Sejak 2012, kehadiran Nike sebelum Olimpiade London dimulai sudah mencuri perhatian publik. Nike memang bukan sponsor utama Olimpiade 2012 di London, tetapi Nike tidak kehilangan akal untuk meraih perhatian pasar untuk menyaingi sang kompetitor Adidas, yang berstatus sponsor utama.
Seperti ajang olahraga lainnya, Nike melakukan strategi penyergapan pemasaran (ambush marketing). Secara harfiah, strategi penyergapan pemasaran adalah sebuah usaha promosi dengan mengasosiasikan merek dengan ajang olahraga besar atau atlet terkenal tanpa menjadi sponsor resmi. Nike menyiarkan iklan di televisi dan internet berjudul ”Find Your Greatness” yang ditayangkan di 25 negara menjelang dibukanya Olimpiade 2012 di London pada 27 Juli 2012 waktu setempat.
Strategi percepatan langsung konsumen yang diusung Nike mengandalkan peningkatan produksi serta percepatan penyaluran logistik hingga ke konsumen.
Di dalam kampanye tersebut ditayangkan secara jelas tempat-tempat bernama London, misalnya East London (Afrika Selatan), Little London (Jamaika), London Ohio (Amerika Serikat), dan sebuah pusat kebugaran antah berantah bernama London Gym.
Kemudian, diperlihatkan pula para atlet-atlet amatiran yang bertarung demi kemenangan. Nike lalu menekankan citra merek kepada penonton sambil memberi pesan bahwa kehebatan tidak diukur dari tempat mereka bersaing ataupun juga sebuah penghargaan berupa medali.
Untuk Olimpiade 2020 di Tokyo, Nike mengulang strategi tersebut, tetapi lebih lunak dari sebelumnya. Dengan iklan berjudul ”Best Day Ever”, Nike tetap mengasosiasikan olimpiade, misalnya, dengan menampilkan pertandingan lari di sebuah stadion. Tidak lupa ditampilan pula atlet-atlet terkenal berprestasi yang mengikat kerja sama dengan Nike.

Terakhir, citra Nike makin menguat dengan tersebarnya foto Lionel Messi dengan jersi Paris Saint-Germain terbarunya dengan nomor punggung 30. Selain citra merek, Nike juga mendapat keuntungan dari penjualan jersi Lionel Messi yang menghasilkan angka yang fantastis dalam waktu singkat. Dalam 7 menit, lebih dari 150.000 jersi bertuliskan nama Messi habis dan nilainya diperkirakan mencapai 23,7 juta euro atau sekitar Rp 400 miliar.
Hasil penjualan jersi tersebut tidak semuanya masuk ke kantong klub Paris Saint-Germain atau Nike saja. PSG memiliki kesepakatan dengan Nike untuk membayar 80 juta euro tiap tahunnya. Pilihan itu diambil ketimbang PSG harus memberikan ke Nike sebesar 10-15 persen dari hasil penjualan jersi yang biasanya menjadi opsi suatu klub sepak bola.
Jika dicermati, Nike memang tidak menyematkan logo centang terkenal miliknya di jersi PSG kali ini. Nike memilih menyematkan logo Air Jordan, berupa siluet Michael Jordan, di jersi PSG sebagai strategi uji coba menyuntikkan logo Jordan ke dunia sepak bola. Dasarnya, selama 36 tahun sejak 1985 dilepas ke pasar, Air Jordan menjadi salah satu produk sepatu olahraga paling laris dan ikonik di dunia.
Debut logo Air Jordan di sepak bola terjadi saat PSG menghadapi Liverpool di Liga Champions pada 18 September 2018. Sejauh ini, PSG dan Nike mengikat perjanjian pemakaian logo tersebut hingga 2022. Maka, Nike tidak hanya ingin melanjutkan dominasi pasar busana olahraga di dunia basket, tetapi juga mengekspansi ke sepak bola yang telah dimulai dari produk-produk sepatu andalannya.

Dua pemain top Paris Saint-Germain, Lionel Messi (kiri) dan Neymar (kanan), menjalani sesi latihan klub di Camp des Loges, Paris, Perancis, Jumat (13/8/2021).
Melanjutkan dominasi
Inilah sekelumit strategi dan investasi pemasaran yang Nike manfaatkan demi mengembalikan performa yang sempat meredup akibat pandemi Covid-19. Ketiga peristiwa di 2021 ini belum terlihat hasilnya secara angka nominal pendapatan perusahaan bagi Nike. Namun, melihat strategi Nike selama ini, tidak berlebihan bila pada bulan-bulan selanjutnya Nike akan mendapat keuntungan besar dan melanjutkan dominasi mereka di segmen retail alat olahraga.
Nike memberikan contoh di dunia bisnis bahwa citra merek berbanding lurus dengan nilai penjualan produk. Makin citra merek melekat di benak masyarakat makin tinggi pula peluang untuk mempertahankan pembelian oleh pelanggan dan konsumen baru. Perlu diingat juga, langkah berani Nike untuk menghentikan kerja sama dengan para atlet megabintang dan mengikat atlet muda potensial turut menaikkan citra merek.
Baca juga: Barcelona Tanpa Messi, Untung atau Rugi?
Jargon ”Just Do It” ternama Nike tentunya tidak dimaknai sebagai melakukan langkah sembarangan dalam manajemen bisnis perusahaan. Di baliknya, ada riset, adaptasi, inovasi, serta uji coba yang akhirnya berbuah manis bagi kelanjutan bisnis. Ketangguhan sebuah perusahaan bukan sekadar mampu bertahan di saat sulit, tapi juga strategi memanfaatkan momentum dipadukan dengan keberanian melakukan terobosan dan inovasi yang terus-menerus. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Strategi Nike Membiarkan Neymar Pergi