Saatnya Melanjutkan Momentum Pemulihan Ekonomi
Ekonomi Indonesia kembali ke zona positif di kuartal II-2021 setelah empat kuartal berturut-turut di zona negatif. Fase pemulihan ekonomi itu perlu tetap dilanjutkan agar roda ekonomi nasional kembali melaju kencang.

Suasana lengang di salah satu kompleks pertokoan dan perkantoran di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, yang tutup selama masa PPKM darurat Jawa-Bali, Kamis (8/7/2021). Pemulihan dan pertumbuhan ekonomi pada paruh kedua 2021 sangat bergantung pada keberhasilan skenario PPKM. Jika lonjakan kasus harian Covid-19 terus meningkat, akan dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk upaya pemulihan ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal II-2021 tumbuh 7,07 persen secara tahunan atau 3,31 persen secara kuartal. Pencapaian ini merupakan pertumbuhan tertinggi sejak 17 tahun lalu.
Pemerintah menyebut pertumbuhan ekonomi sebesar 7,07 persen itu mengindikasikan bahwa strategi pemulihan selama pandemi Covid-19 dinilai cukup berhasil. Bahkan realisasi itu mendekati prediksi Kementerian Keuangan sebesar 7,1 persen. Capaian ini menggambarkan arah dan strategi pemulihan ekonomi mulai menunjukkan hasil positif seperti yang diharapkan.
Mulai pulihnya ekonomi itu terlihat dari seluruh mesin pertumbuhan. Konsumsi rumah tangga tercatat tumbuh 5,9 persen, investasi berada di angka 7,5 persen, perdagangan tumbuh di angka 9,4 persen, sektor konstruksi tumbuh 4,4 persen, transportasi di 25,1 persen, serta akomodasi makanan dan minuman sebesar 21,6 persen.

Kendaraan melintas di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Senin (17/5/2021). Aktivitas di sejumlah pusat perniagaan di Jakarta mulai kembali setelah libur Lebaran. Di kawasan niaga Glodok, sejumlah toko dan kantor kembali buka dan melayani konsumen. Pemerintah berupaya menjaga ritme pemulihan ekonomi agar mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi pada kisaran 7 persen pada kuartal II-2021.
Sektor manufaktur yang merupakan kontributor hampir 20 persen dari produk domestik bruto (PDB) juga tumbuh 6,6 persen. Kinerja ekspor sejak kuartal I-2021 mulai masuk dalam zona positif 7 persen dan kuartal II-2021 meningkat di 31,8 persen. Demikian juga dengan impor yang tumbuh 5,5 persen pada kuartal I-2021 dan momentumnya makin terakselerasi dan menguat di kuartal II-2021 di 31,2 persen.
Selain itu, tumbuhnya ekonomi di kuartal II-2021 dipengaruhi pula oleh kenaikan realisasi belanja pemerintah yang dipicu oleh pertumbuhan belanja barang, belanja pegawai, dan belanja modal masing-masing sebesar 82,10 persen, 19,79 persen, dan 45,56 persen sehingga meningkatkan konsumsi pemerintah di samping mendorong peningkatan investasi dan konsumsi di masyarakat.
Baca juga: Harapan dan Kehati-hatian di Balik Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2021
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Kontribusi Pulau Jawa terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 57,92 persen. Diikuti Sumatera 21,73 persen, Kalimantan 8,21 persen, Sulawesi 6,88 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,85 persen, serta Maluku dan Papua 2,41 persen.
Adapun untuk pertumbuhan ekonomi per pulau di kuartal II-2021, wilayah Maluku dan Papua mencatatkan pertumbuhan tertinggi, yaitu 8,75 persen. Disusul Sulawesi (8,51 persen), Jawa (7,88 persen), Kalimantan (6,28 persen), Sumatera (5,27 persen) serta Bali dan Nusa Tenggara (3,70 persen).

Kinerja ekonomi global
Melajunya ekonomi di kuartal II-2021 tak lepas pula dari membaiknya kinerja perekonomian global, termasuk negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Salah satunya tampak dari pergerakan Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur global yang meningkat dari level 54,8 pada Maret 2021 ke level 56,6 pada Juni 2021.
Hal itu mendorong permintaan terhadap sejumlah komoditas yang berdampak pada kenaikan harga komoditas kelompok bahan makanan (gandum, minyak kelapa sawit, dan kedelai) dan komoditas hasil pertambangan (timah, aluminium, dan tembaga) di pasar internasional pada kuartal II-2021, baik secara kuartal maupun tahunan.

Tak hanya Indonesia, perekonomian beberapa negara mitra dagang utama pada kuartal II-2021 juga menunjukkan pertumbuhan positif. Perekonomian China tercatat tumbuh 7,9 persen, Amerika Serikat (AS) 12,2 persen, Singapura 14,3 persen, Korea Selatan 5,9 persen, Vietnam 6,6 persen, Hong Kong 7,5 persen, dan Uni Eropa 13,2 persen. Perbaikan kinerja ekonomi global ini merupakan hasil jerih payah dari penanganan pandemi Covid-19 yang cepat melalui kebijakan pembatasan mobilitas dan vaksinasi massal.
Alhasil, perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) kuartal II-2021 mencapai Rp 4.175,8 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 (ADHK) mencapai Rp 2.772,8 triliun. Sebuah pencapaian yang cukup baik di tengah masa pandemi Covid-19 yang belum berhenti.
Pengaruh efek basis
Di sisi lain, tumbuhnya ekonomi Indonesia hingga 7,07 persen secara tahunan di kuartal II-2021 tersebut dinilai oleh sebagian kalangan karena dipengaruhi faktor dari basis pertumbuhan ekonomi yang rendah (low base effect). Pasalnya, di kuartal II-2020, ekonomi Indonesia terkontraksi hingga 5,32 persen, terendah sejak tahun 1999.
Efek basis adalah fenomena yang menunjukkan suatu hasil yang berbeda jauh, sesuai dengan basis waktu evaluasi dan angka perbandingan, saat mengevaluasi suatu indikator ekonomi. Sebagai contoh, jika membandingkan ekonomi saat ini berdasarkan periode kemakmuran ekonomi, indikator ekonomi memburuk daripada kenyataannya.

Warga yang mengenakan masker berjalan membawa kantong belanja seusai berbelanja di Pasar Karang Anyar, Sawah Besar, Jakarta Pusat, Kamis (5/8/2021). Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2021 (April-Juni) mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen dibandingkan triwulan II-2020. Meski mencatatkan hasil positif, perekonomian Indonesia masih belum kembali normal seperti sebelum masa pandemi. Pertumbuhan yang tinggi pada kuartal II tersebut dipengaruhi program pemulihan ekonomi dan efek dari basis pertumbuhan yang rendah pada kuartal II-2020 yang saat itu terkontraksi minus 5,32 persen.
Namun, jika ekonomi saat ini dibandingkan dengan periode resesi, maka kondisi ekonomi terasa membaik karena angka indikator membesar. Jika basisnya terlalu rendah, disebut low base effect. Efek basis biasa terjadi pada perhitungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Fenomena efek basis itu tidak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena serupa terjadi pula di sejumlah negara lain di dunia, terutama setelah pembatasan mobilitas masyarakat dilonggarkan di tengah pandemi Covid-19.
China, misalnya, dari minus 6,8 pada kuartal II-2020 menjadi 18,3 persen pada kuartal II-2021. Kemudian Amerika Serikat dari minus sembilan persen menjadi 12,2 persen, Singapura dari minus 13,3 persen jadi 14 persen, dan Uni Eropa dari minus 11,9 persen menjadi 13,2 persen.
Dengan adanya fenomena efek basis itu, ke depan pemerintah diharapkan tetap hati-hati dan waspada agar pertumbuhan positif di kuartal II-2021 tetap terjaga di kuartal-kuartal selanjutnya.
Pengangguran dan kemiskinan
Namun terlepas dari efek basis tersebut, momentum pertumbuhan positif penting untuk terus dilanjutkan dengan harapan kesejahteraan masyarakat bisa kembali terangkat, terutama untuk kalangan menengah ke bawah.
Namun, harapan itu tampaknya tak mudah untuk diwujudkan dan menjadi tantangan di tengah perpanjangan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat dan level 4 pada Juli hingga Agustus 2021, menyusul kenaikan angka positif Covid-19 harian yang rata-rata di atas 30.000 kasus.

Perpanjangan PPKM level 4 tersebut diperkirakan berdampak pada produktivitas usaha dan ketenagakerjaan. Dengan perpanjangan PPKM level 4 tersebut, hampir pasti akan menekan kembali sisi konsumsi rumah tangga karena pembatasan mobilitas orang dan barang kendati sifatnya temporer.
Selain itu, perpanjangan PPKM level 4 diperkirakan menyebabkan sejumlah perusahaan mengurangi kegiatannya. Bahkan, kalau terus berlanjut, bisa saja banyak pekerja yang akan terkena dampaknya, terutama di sektor-sektor yang berkaitan dengan mobilitas masyarakat, seperti retail, transportasi, perhotelan, dan restoran.
Dampaknya, antara lain kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan berkurangnya pendapatan, Kondisi ini selanjunya bisa memicu naiknya angka pengangguran dan kemiskinan serta melebarnya kesenjangan ekonomi.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira seperti dikutip dari laman Kontan (16/7/2021) memperkirakan, dengan adanya PPKM darurat atau level 4, jumlah orang miskin pada September 2021 diperkirakan bisa bertambah di kisaran 1 juta orang hingga 1,5 juta orang.
Sebagai informasi, data BPS menunjukkan jumlah orang miskin semakin bertambah sejak pandemi. Angkanya pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang (10,14 persen), meningkat 0,36 persen atau 1,63 juta orang dari September 2019.
Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 6,26 persen pada Februari 2021, naik dibandingkan 1,32 persen dibandingkan Februari 2020 (4,99 persen). Namun, angkanya turun 0,81 persen ketimbang Agustus 2020 (7,07 persen). TPT tertinggi pada Februari 2021 tercatat berada di perkotaan mencapai 8 persen. Sementara, TPT di perdesaan sebesar 4,11 persen.
Kendati program perlindungan sosial dan insentif bagi dunia usaha telah disiapkan sebagai bantalan untuk menahan lonjakan pengangguran dan angka kemiskinan akibat pandemi Covid-19, tetapi masih terdapat berbagai kendala di sisi implementasi.
Sejumlah program bantuan itu acapkali belum menyentuh kalangan yang membutuhkan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Selain itu, kondisi sejumlah sektor usaha juga belum pulih sepenuhnya meski di awal tahun ini aktivitas ekonomi sempat menggeliat.

Pengelola restoran menutup sebagian area untuk makan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta pada masa PPKM level 4, Kamis (5/8/2021). Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2021 (April-Juni) mengalami pertumbuhan sebesar 7,07 persen dibandingkan triwulan II-2020. Meski mencatatkan hasil positif, tetapi perekonomian Indonesia masih belum kembali normal seperti sebelum masa pandemi.
Dari sisi ketimpangan, kendati angka rasio gini (ketimpangan) masih di bawah 0,4 (ketimpangan rendah), ketimpangan terutama menyempit di wilayah perdesaan, tetapi melebar di wilayah perkotaan.
Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Untuk persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60 persen, naik menjadi 12,82 persen pada Maret 2020.
Sementara itu, data lembaga keuangan Credit Suisse, bertajuk Global Wealth Databook 2021, yang terbit pada Juni lalu menyebut jumlah orang kaya di Indonesia melonjak 61,69 persen pada 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Akhirnya, momentum pertumbuhan positif di kuartal II-2021 diharapkan bisa menjadi fase pemulihan ekonomi selanjutnya sekaligus harapan agar kesejahteraan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, bisa diangkat kembali.
Untuk itu, akselerasi vaksinasi yang diperkuat dengan protokol kesehatan yang ketat di seluruh wilayah Indonesia akan menjadi kunci utama. Jika pelandaian kurva kasus positif Covid-19 harian terwujud menuju herd immunity, diikuti pembukaan kegiatan ekonomi, maka normalisasi perekonomian bisa segera tercapai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Ekonomi Indonesia 2021-2022: Potret Pemulihan, Anggaran PEN, dan Kebijakan Fiskal-Moneter