Pidato Presiden RI pada saat menjelang maupun pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi momentum untuk refleksi sekaligus sebagai panduan untuk menatap arah perjalanan dan masa depan negeri ini.
Oleh
Topan Yuniarto
·5 menit baca
Indonesia memiliki tradisi politik dalam menyambut hari kemerdekaan, yaitu dengan menyelenggarakan pidato kenegaraan Presiden. Dalam dokumen naskah Pidato-pidato Kenegaraan oleh Presiden RI dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo yang dihimpun Litbang Kompas, pada masa Presiden Soekarno pidato kenegaraan disampaikan pada setiap tangga 17 Agustus. Namun, sejak tahun 1967 era Presiden Soeharto hingga era Presiden Jokowi, pidato kenegaraan dilaksanakan tanggal 16 Agustus atau sehari menjelang peringatan Kemerdekaan RI. Pada beberapa tahun bahkan disampaikan pada tanggal 14 dan 15 Agustus.
Pidato-pidato tersebut disampaikan oleh Presiden di hadapan anggota MPR, DPR, dan DPD, sementara masyarakat juga bisa mengikuti secara langsung lewat media massa. Melalui pidatonya, Presiden menyampaikan berbagai tema besar dan isu aktual serta beragam kebijakan yang diambil.
Terdapat ciri khas pada tema yang disampaikan oleh setiap presiden. Pidato Presiden Soekarno, misalnya, menanamkan ideologi dan semangat kebangsaan. Sementara, Presiden Soeharto menekankan kepada pembangunan nasional terutama Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Memasuki era reformasi, tema Pidato Kenegaraan Presiden B.J. Habibie menyoroti permasalahan krisis sosial dan ekonomi yang terjadi setelah krisis moneter 1997-1998. Presiden BJ Habibie juga menyoroti soal Hak Asasi Manusia.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, tema pidato yang diangkat yakni penanaman nilai-nilai kebangsaan dan semangat persatuan. Konteks pidato Gus Dur sangat berkorelasi dengan euforia kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang pada saat itu baru bergulir beberapa tahun.
Sementara, tema Pidato Kenegaraan Presiden Megawati Soekarnoputri kembali menekankan pemulihan ekonomi pasca krisis 1998 dan persatuan bangsa. Seperti diketahui, dalam beberapa tahun setelah era reformasi kondisi perekonomian nasional tampak berangsur pulih namun kondisi tersebut belum merata di tanah air.
Tema-tema Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan kepada pentingnya menegakkan kembali asas demokrasi dan reformasi, Meskipun demikian, kondisi dinamika politik dan penegakan hukum di era Susilo Bambang Yudhoyono menyita perhatian dan sempat “terluka” dengan maraknya sejumlah pejabat publik hingga level menteri masuk penjara akibat tersangkut perkara tindak pidana korupsi.
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, pidato kenegaraan mengajak semua elemen masyarakat untuk terus bekerja dan bahu membahu membangun bangsa. Presiden Joko Widodo bertekad melakukan akselerasi pembangunan melalui pemerataan pembangunan infrastruktur untuk kemajuan Indonesia.
Secara garis besar, salah satu pesan penting pidato yang disampaikan kepala negara menjelang peringatan kemerdekaan RI yakni mengajak masyarakat untuk kembali merefleksikan makna kemerdekaan.
Dalam dokumen naskah pidato Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1966 yang berjudul "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah" atau disebut sebagai “Never Leave History” memaknai peringatan 21 tahun Indonesia merdeka untuk mengajak bangsa Indonesia agar berpegang terus pada sejarah dengan mengingat perjuangan para pahlawan yang sudah merebut kemerdekaan dari penjajah. Masyarakat harus terus menggembleng persatuan dan kesatuan untuk perjuangan selanjutnya. Presiden Soekarno mengajak masyarakat untuk percaya pada kemampuan diri sendiri dalam melaksanakan pembangunan setelah kemerdekaan.
Pada era Presiden Soeharto sejak 1967-1998, konteks pidato yang disampaikan untuk merefleksikan kemerdekaan yakni Presiden menekankan masalah pembangunan melalui Repelita yang dilaksanakan berdasarkan amanat Pancasila dan UUD 1945. Pada tahun 1968, misalnya, Presiden Soeharto mengangkat tema “Pembebasan Rakyat dari Kemelaratan” (Kompas, 19 Agustus 1968, halaman 1). Pada masa itu, kondisi kesejahteraan rakyat relatif masih terpuruk dan angka kriminalitas di negeri ini tinggi akibat tekanan ekonomi.
Presiden Soeharto tercatat sebagai presiden yang memiliki masa jabatan paling lama yakni sejak 12 Maret 1967 – 21 Mei 1998 atau selama 31 tahun. Selama kurun masa pemerintahannya, diksi yang konsisten dimunculkan pada pidato diantaranya stabilitas politik, stabilitas pembangunan, Repelita, dan pembangunan nasional. Isu masa jabatan presiden dan memerangi korupsi pernah disampaikan Presiden Soeharto dalam pidatonya 15 Agustus 1981. Presiden Soeharto menyatakan tidak bermaksud menjadi presiden seumur hidup. Fakta berbicara sebaliknya, dengan kekuasaan dan sistem politik yang dia kendalikan, Soeharto sanggup bertahan hingga 31 tahun berkuasa.
Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie isi pidato kenegaraan menjelang peringatan kemerdekaan RI menekankan pada soal pelanggaran HAM. Presiden meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu dalam menumpas gerakan separatis. Pada masa tersebut, kebijakan politik luar negeri Indonesia juga mencatatkan sejarah dengan adanya referendum Timor Timur untuk menentukan apakah Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari Indonesia pada 1999. Isu pidato lainnya yang diangkat yakni soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Habibie menegaskan harus berpegang pada asas hukum dan hak asasi manusia yang diimbangi dengan kewajiban asasi.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selama menjabat sebagai kepala negara hanya sekali menyampaikan pidato menjelang kemerdekaan RI, yakni pada tanggal 16 Agustus 2000. Terkait refleksi kemerdekaan, Gus Dur menyampaikan pidato bertemakan kebangsaan dan nasionalisme. Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan perlunya upaya redefinisi, reorientasi dan reproduksi nilai-nilai kebangsaan dan demokrasi.
Presiden Megawati Soekarnoputri menyampaikan empat kali pidato kenegaraan menjelang peringatan kemerdekaan RI. Secara garis besar, konten pidato yang merefleksikan kembali makna kemerdekaan disampaikan Presiden Megawati dengan menekankan persatuan dan kesatuan bangsa serta memajukan bangsa Indonesia pasca krisis yang dihadapi.
Pada dua kali periode kepemimpinan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, refleksi makna kemerdekaan dilakukan dengan semangat rekonsiliasi. Ajakan ini merujuk pada hasil Pemilu Presiden 2004 yang telah menimbulkan polarisasi politik di tanah air. Iklim politik kian panas dan dinamis hingga Pemilu 2009. Melalui pidatonya pada 2012, Presiden Yudhoyono berpesan pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan tata kelola pemerintahan harus berdiri tegak. Fakta yang terjadi sebaliknya, tindak pidana korupsi sangat marak terjadi di era ini.
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menjelang peringatan kemerdekaan RI pada 2016, menekankan perihal percepatan pembangunan dan perbaikan ekonomi. Hal ini terealisasi dari banyaknya pembangunan infrastruktur penunjang roda perekonomian seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, bendungan, dan pembangunan jaringan serat optik nasional melalui Palapa Ring.
Pidato Presiden Joko Widodo pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD pada 14 Agustus 2020, makna peringatan kemerdekaan di masa pandemi Covid-19 dilakukan dengan upaya reformasi fundamental di sektor kesehatan yang harus dipercepat. Orientasi pada pencegahan penyakit dan pola hidup sehat harus diutamakan. Penguatan kapasitas SDM, pengembangan rumah sakit dan balai kesehatan, serta industri obat dan alat kesehatan harus diprioritaskan.
Setiap presiden memiliki gaya penyampaian pidato, diksi atau pilihan kata, dan tema-tema besarnya tersendiri. Namun dapat ditarik satu garis besar bahwa pidato yang disampaikan merupakan refleksi perjalanan dan pencapaian bangsa semasa mereka memimpin, ruang lingkup isu aktual yang terjadi, program kerja, kebijakan, tantangan, dan harapan untuk kemajuan bangsa. (LITBANG KOMPAS)