Ikatan Sosial Masyarakat Masih Tinggi di Tengah Pandemi
Pandemi Covid-19 yang memilah masyarakat dalam ruang fisik tidak membuat luntur ikatan-ikatan sosial.
Masa pandemi yang memaksa masyarakat bergelut dalam ruang yang berjarak, tidak serta-merta merenggangkan ikatan sosial yang telah terbangun. Hasil survei menunjukkan, saat ini kohesi sosial masyarakat Indonesia masih tinggi.
Kesimpulan demikian menjadi salah satu temuan dari hasil survei opini publik Kompas yang diselenggarakan pada Juli 2021 ini.
Dengan menggunakan beberapa model indikator pertanyaan yang diadaptasi dari kajian Borkowska & Laurence (2020), Universitas Essex, Inggris, terkait dengan derajat kohesi sosial masyarakat sepanjang pandemi Covid-19, terhitung skor rata-rata ikatan sosial masyarakat Indonesia saat ini sebesar 18,5.
Skor kohesivitas dalam skala tertinggi, suatu kondisi ikatan sosial masyarakat yang terjalin dikatakan sempurna, sebesar 25. Sebaliknya, skor terendah, di mana terbentuk derajat kohesivitas yang sangat renggang, sebesar 5.
Dengan skor pencapaian sebesar itu ikatan sosial yang terbentuk dalam relasi antar individu di negeri ini masuk kategori tinggi. Besaran skor ikatan sosial tersebut bahkan lebih tinggi dari kondisi yang terjadi di Inggris selama pandemi ini (skor rata-rata 17,5). Dalam kajian Borkowska & Laurence, di Inggris terjadi penurunan kohesivitas sosial sepanjang pandemi. Periode survei sebelumnya, ikatan sosial masyarakat di sana relatif sama dengan kondisi di negeri ini. Namun masa pandemi telah merenggangkan ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Di negeri ini, memang belum terdapat kontinuitas data yang memantau besaran skor kohesivitas sebelum era pandemi. Akan tetapi, besaran skor yang terbentuk saat ini setidaknya sudah cukup mampu menginformasikan bagaimana kekuatan sosial yang masih terbentuk dalam kehidupan bermasyarakat sekalipun pandemi telah memilah jarak fisik dalam setiap relasi sosial.
Tingginya skor ikatan sosial masyarakat dalam kajian ini dibentuk dari berbagai indikator. Terkait dengan indikator sikap, misalnya, lebih dari tiga perempat bagian responden survei menyatakan memiliki kemiripan ”nasib” dalam menghadapi kondisi yang tengah berlangsung. Pandemi telah menempatkan mereka dalam satu situasi yang sama, kendati pun mereka hidup dalam lingkungan yang beragam satu sama lainnya.
Dalam keterkaitan satu sama lain di lingkungan kediaman, bagian terbesar responden juga merasakan jika kerukunan antarrumah tangga masih terbentuk. Segregasi antaranggota masyarakat relatif kecil. Mereka mempersepsikan kehidupan bertetangga yang terbentuk relatif harmonis.
Dengan pengalaman yang dirasakan, bagian terbesar dari responden (74 persen) menganggap jika para tetangga mereka masih dapat dipercaya. Mereka juga menilai sejauh ini para tetangga di lingkungan kediaman masih dapat diandalkan.
Di dalam perilaku keseharian pun, cerminan ikatan sosial yang tinggi konsisten tergambarkan. Hampir tiga perempat bagian responden mengaku kerap bertegur sapa dengan para tetangga sekitar. Jalinan komunikasi verbal masih terbangun. Lebih positif lagi, 85 persen responden menyatakan jika para tetangga seputaran kediaman tidak segan menolong siapa pun anggota lingkungan yang tengah menghadapi persoalan (Grafik 1).
Secara konsisten, hasil survei juga menggambarkan jika penilaian tingginya ikatan sosial dalam masyarakat ini terjadi pada setiap latar belakang identitas responden. Dari sisi perbedaan jenis kelamin, misalnya, sejauh ini tidak terdapat perbedaan pandangan yang signifikan antara kelompok responden laki-laki dan perempuan.
Kondisi yang relatif serupa juga pada latar belakang usia. Baik kalangan muda hingga tua, maupun antargenerasi dalam masyarakat, menyatakan masih tingginya ikatan sosial yang terbentuk sepanjang pandemi ini.
Dari sisi kelas sosial masyarakat, hasil survei juga menegaskan jika ikatan sosial yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat tampak bersifat universal. Mereka yang secara sosial dan ekonomi tergolong sebagai kelompok masyarakat bawah, menengah, ataupun kelompok masyarakat kelas atas merasakan kondisi yang relatif sama (Grafik 2).
Segenap hasil survei yang secara kontras mengindikasikan kekuatan ikatan sosial dalam lingkungan kediaman ini, menyimpan makna positif bagi kehidupan bermasyarakat. Pandemi Covid-19 yang memilah masyarakat dalam ruang fisik tersebut tidak membuat luntur ikatan-ikatan sosial yang selama ini telah terbangun. Sekalipun berjarak secara fisik, interaksi sosial tetap terhubung.
Pandemi Covid-19 yang memilah masyarakat dalam ruang fisik tersebut tidak membuat luntur ikatan-ikatan sosial
Selain itu, tingginya kohesivitas yang masih terbangun dalam survei ini menampik pula kecenderungan ancaman terbentuknya segregasi sosial yang selama ini dikeluhkan. Sejalan dengan kehadiran media sosial yang memediasi interaksi antarindividu secara maya, ancaman terhadap ikatan sosial antarindividu, kelompok identitas sosial, ataupun antarkekuatan politik banyak dipertontonkan. Tidak jarang pula, pertentangan pandangan yang terjadi mengkristral dalam konflik berlatar identitas sosial.
Namun, hasil survei ini seolah menunjukkan jika renggangnya ikatan sosial hanya terjadi dalam ruang virtual. Sementara, dalam realitas kehidupan masyarakat, khususnya antartetangga dalam satu lingkungan, masih terjalin ikatan sosial yang kokoh.
Hanya menjadi persoalan kini, apakah tingginya derajat kekuatan ikatan sosial yang terbentuk masih dapat terus bertahan di tengah ancaman pandemi yang masih berkelanjutan?
Tekanan pandemi tampaknya tidak hanya berhenti pada sebatas pemilahan jarak fisik. Sejauh ini, dampak pandemi semakin mendesak pada sisi kebutuhan yang lebih esensial lagi. Tekanan terhadap ekonomi, misalnya, mengharuskan setiap rumah tangga terdampak berpikir ulang terhadap pola pemenuhan hidup mereka. Langkah bertahan sepanjang pandemi dengan sendirinya menempatkan pemenuhan kebutuhan individu taupun keluarga menjadi lebih prioritas ketimbang kebutuhan sosial kemasyarakatan.
Tidak mengherankan jika dalam masa pandemi ini, upaya penyelamatan kebutuhan pribadi, seperti kasus-kasus penimbunan stok kebutuhan pokok keluarga, obat-obatan, dan berbagai kebutuhan lain dalam keluarga, banyak dikeluhkan. Semua terjadi sebagai bentuk strategi survival of the fittest dalam beradaptasi dengan tekanan kondisi. Dalam kondisi semacam itu, tentu saja ikatan sosial masyarakat terabaikan.
Itulah mengapa dalam ancaman pandemi yang tidak juga mereda ini, upaya tetap merawat ikatan sosial masyarakat menjadi signifikan dipraktikkan. Tidak hanya sebatas upaya mempertahankan dari ancaman kepunahannya, tetapi menjadi potensi kekuatan sosial kolektif yang seharusnya diberdayakan. (Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)