Mencari Solusi Permasalahan Vaksinasi Covid-19 di Indonesia
Untuk meningkatkan capaian vaksinasi, pemerintah perlu menjamin stok dan distribusi vaksin, membenahi teknis vaksinasi, mencegah pungli vaksin, serta mengantisipasi meluasnya peredaran pemalsuan sertifikat vaksin.
Oleh
Yoesep Budianto
·6 menit baca
Proses vaksinasi di Indonesia terus berjalan dengan berbagai kendala. Hingga 13 Agustus 2021, dari target 208,3 juta jiwa secara nasional, vaksin kedua baru tercapai 13,14 persen. Ketimpangan stok dan distribusi menjadi kendala pelaksanaan vaksinasi. Di luar itu muncul masalah pungli dan sertifikat palsu. Dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah untuk melakukan perbaikan demi tercapainya target vaksinasi.
Selain melakukan penanganan penularan Covid-19 melalui pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan (3T), Pemerintah Indonesia menempuh langkah vaksinasi untuk minimal 70 persen dari total populasi. Namun, suntikan vaksin di Indonesia belum menjangkau luas penduduknya. Data Kementerian Kesehatan per 13 Agustus 2021 menunjukkan, vaksinasi lengkap yang sudah dilakukan di Indonesia baru mencapai 12,55 persen.
Sebagai perbandingan, cakupan vaksinasi yang sudah dilakukan Indonesia tertinggal dari beberapa negara di wilayah Asia Tenggara. Singapura telah melakukan vaksinasi lengkap terhadap 68 persen penduduknya, diikuti Kamboja sebesar 40 persen, dan Malaysia sebanyak 30 persen.
Apabila ditarik ke tingkat global, perbandingan orang yang telah divaksin di negara-negara dengan penduduk besar, seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia, posisi Indonesia juga masih tertinggal. AS telah melakukan vaksinasi lengkap terhadap 50 persen warganya, sedangkan di Brasil sudah mencapai 22 persen dan Rusia 20 persen.
Tak hanya secara kuantitas, permasalahan lain yang dihadapi oleh Indonesia dalam melakukan vaksinasi Covid-19 adalah munculnya ketimpangan stok vaksin karena distribusi yang bermasalah. Efeknya, masyarakat harus menunggu lebih lama untuk menerima vaksin, termasuk mundurnya jadwal vaksinasi kedua di banyak daerah.
Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah telah mengamankan 428 juta dosis untuk target 70 persen populasi, tetapi dalam kenyataan di lapangan banyak daerah yang kekurangan vaksin. Dosis vaksin yang dikatakan aman belum semua datang di Indonesia sehingga menimbulkan perlambatan vaksinasi di beberapa daerah.
Saat sejumlah daerah melaporkan sudah tidak ada stok vaksin, ada daerah yang memiliki performa vaksinasi sangat tinggi, seperti DKI Jakarta dan Bali yang sudah melebihi 90 persen dari target vaksin dosis pertama dan 30 persen lebih untuk vaksin dosis kedua. Ada ketimpangan besar untuk distribusi vaksin secara nasional.
Berbagai macam permasalahan yang muncul terkait vaksinasi makin membuat beban penanganan lonjakan Covid-19 menjadi bertambah sebab daerah yang memiliki performa vaksin rendah ternyata memiliki transmisi virus yang terbilang tinggi. Setidaknya ada tiga wilayah yang perlu diwaspadai, yaitu Lampung, Sumatera Barat, dan Jawa Barat, sebab ada kenaikan kasus positif dan kematian dalam empat minggu terakhir.
Hingga 10 Agustus 2021, cakupan vaksin dosis kedua di Lampung menempati posisi terendah nasional, sebesar 6,72 persen, sementara jumlah kasus positif mencapai 39.446 kasus. Tak jauh berbeda, vaksinasi di Sumatera Barat baru mencapai 6,74 persen dengan kasus positif dua kali lipat dari Lampung, yaitu 80.122 kasus.
Jawa Barat sebagai salah satu episentrum penularan Covid-19 juga menghadapi tantangan minimnya cakupan vaksinasi. Dosis kedua vaksin baru disuntikkan kepada 9,02 persen dari target yang ditentukan, sementara kasus positif 651.577 kasus dengan kenaikan signifikan kasus kematian.
Selain stok dan distribusi, permasalahan lain vaksinasi nasional adalah temuan pungutan liar dan sertifikat palsu. Berdasarkan data LaporCovid-19, sejumlah warga melaporkan adanya pungli untuk vaksinasi, seperti di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, dan Kota Bandung.
Aktor pungli tidak hanya dilakukan oleh individu, bahkan perusahaan. Laporan yang diterima LaporCovid-19 di Kabupaten Bekasi menyebutkan seorang karyawan harus membayar Rp 80.000 untuk mendapatkan vaksin. Sementara di Kota Bandung, ada warga yang harus menyerahkan Rp 50.000 untuk sekali vaksin. Bahkan, pungli yang cukup besar dilaporkan terjadi di Kabupaten Cianjur, yaitu Rp 300.000.
Praktik pungli tentu pelanggaran hukum, apalagi jelas tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2021 yang menyebutkan seluruh proses vaksinasi Covid-19 bersifat gratis. Tak hanya pungli, LaporCovid-19 juga menemukan laporan pengaduan sertifikat vaksin palsu atau tanpa proses vaksinasi. Kasus ini diadukan seorang warga di Kabupaten Bandung yang belum menerima vaksinasi sama sekali, tetapi sertifikat vaksin telah diterima.
Regulasi vaksin
Kementerian Kesehatan telah membuat aturan khusus proses vaksinasi secara nasional. Skema terbaru disahkan pada 28 Juli 2021, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2021 yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021. Perubahan tersebut fokus pada penghapusan opsi vaksinasi berbayar secara individu.
Dalam pelaksanaan vaksinasi, Indonesia telah memiliki dua skema, yaitu vaksinasi gratis dan gotong royong. Skema vaksinasi gratis merupakan tanggung jawab negara menjamin akses warga negara terhadap vaksin, dimulai dari kelompok rentan.
Sementara skema vaksinasi gotong royong menitikberatkan peran perusahaan atau badan usaha untuk memberikan vaksin terhadap karyawan, keluarga, dan individu yang terkait pekerjaan. Artinya, pengadaan vaksin dilakukan oleh perusahaan, bukan dibebankan ke individu (karyawan).
Akses gratis terhadap vaksin adalah bentuk kehadiran negara untuk menjamin hak keselamatan dan kesehatan rakyat. Oleh sebab itu, opsi vaksin berbayar individu atau pungli adalah pelanggaran terhadap aturan negara dan prinsip-prinsip hak asasi kemanusiaan.
Secara aturan Indonesia telah menunjukkan progres yang baik mengingat semua vaksin digratiskan kepada rakyat. Namun, dalam pelaksanaan vaksinasi di lapangan, masalah yang tergolong cukup pelik adalah timbulnya kerumunan saat antre.
Tujuan vaksinasi adalah meminimalkan tingkat risiko penularan dan menekan risiko kematian akibat virus korona. Tujuan ini harus konsisten dijaga, terlebih antusiasme masyarakat mendapat vaksin Covid-19 terkadang malah menimbulkan kerumunan yang berpotensi menyebabkan penyebaran virus. Kerumunan membuat setiap individu akan berhimpitan tanpa jarak aman, sehingga transmisi virus dapat terjadi dengan mudah.
Kerumunan yang melibatkan ratusan hingga ribuan orang saat antre vaksin terlihat di sejumlah daerah. Vaskinasi yang diadakan di Polresta Banyumas, Jawa Tengah, pada 30 Juli 2021 menimbulkan kerumunan. Serupa dengan Banyumas, kerumunan warga terjadi di GOR Siyono di Gunung Kidul, GOR Tawangalun di Banyuwangi, dan Lapangan Renon Denpasar di Bali.
Fenomena tersebut perlu menjadi evaluasi pelaksanaan vaksinasi di daerah mengingat tujuan akhir dari vaksinasi adalah mendapatkan antibodi untuk melawan virus, bukan malah terinfeksi saat akan divaksin. Salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah kerumunan saat vaksinasi adalah memperbanyak titik vaksinasi dengan menyesuaikan kapasitas dan waktunya.
Digitalisasi sistem
Berbagai problematika di atas menjadi tantangan yang harus dihadapi Pemerintah Indonesia dalam mencapai target vaksinasi Covid-19. Dalam jangka pendek, ada tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk memaksimalkan capaian vaksinasi. Ketiganya adalah menyeimbangkan stok dan distribusi, menghentikan pungli dan sertifikat palsu, serta membenahi teknis vaksinasi di lapangan agar tidak menimbulkan kerumunan.
Dari ketiga permasalahan tersebut, apabila dilihat dari akar permasalahannya, semua berkorelasi dengan lemahnya sistem data di Indonesia. Pantauan stok dan distribusi harusnya terpantau dengan baik apabila semua data terekap dalam satu sistem yang terpadu. Kesatuan sistem ini membuat pemerintah daerah dapat mengetahui stok akhir vaksin dan kapan stok baru vaksin dikirim dari pemerintah pusat.
Permasalahan pungli dan sertifikat palsu juga harusnya bisa diselesaikan dengan sistem data yang baik. Adanya pungli menjadi celah pengawasan di lapangan dan minimnya akses pengaduan yang mudah dijangkau oleh warga. Karena itu, pemerintah perlu memperluas sosialisasi jangkauan kanal pengaduan yang mampu melayani kendala masyarakat dalam mengakses vaksin dengan optimal.
Sementara munculnya sertifikat vaksin palsu dapat dicegah dengan memperkuat pendataan penduduk Indonesia. Catatan nama dan nomor induk kependudukan (NIK) harus benar-benar terjamin memiliki integrasi data dengan sistem yang dipakai untuk vaksinasi Covid-19. Jadi, apabila ada oknum yang sengaja memakai NIK orang lain dapat langsung terdeteksi.
Masalah ketiga adalah munculnya kerumunan saat antre vaksin. Situasi tersebut dapat dihindari apabila pemerintah daerah memiliki sistem data yang rapi sehingga mampu mengatur berapa kuota sehari di setiap sentra vaksinasi dan diperuntukkan bagi siapa saja.
Pengaturan kuota ini membutuhkan dukungan sistem pengaturan sekaligus pemberitahuan yang baik agar informasi menyangkut pelaksanaan vaksin berikut pendaftaran dan syarat yang harus dipenuhi dapat diterima masyarakat dengan jelas.
Ragam permasalahan terkait vaksinasi Cobid-19 di Indonesia menuntut komitmen besar untuk segera diselesaikan. Urgensi pembenahan permasalahan vaksinasi tidak lepas dari tujuan akhirnya, yaitu pembentukan antibodi individu dan kelompok. Tercapainya kekebalan komunitas terutama pada kelompok rentan akan turut membantu terkendalinya pandemi Covid-19 di Tanah Air. (LITBANG KOMPAS)