Desa, antara Pandemi dan Target SDGs Desa
Pandemi melahirkan tantangan bagi masyarakat desa. Tidak sekadar persoalan penularan Covid-19 yang semakin masif, tetapi juga mencapai target Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan melalui SDGs Desa.
Di masa pandemi Covid-19, desa dihadapkan pada persoalan antara penularan virus korona yang semakin masif, tetap bertahan hidup dengan menggerakkan roda perekonomian, dan upaya untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan melalui SDGs Desa.
Sejak pandemi Covid-19 mulai mewabah di Tanah Air pada Maret 2020 dan perlahan-lahan menggoyahkan sendi-sendi ekonomi tak terkecuali di perdesaan, pemerintah sudah mengambil langkah antisipasi.
Untuk membentengi desa agar tidak menjadi kluster penularan dan perekonomian tetap berjalan, pemerintah pada akhir Maret 2020 melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) menerbitkan surat edaran.
Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap Covid-19 dan Pelaksanaan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dengan Dana Desa tersebut pada intinya sebagai upaya untuk menciptakan desa yang tanggap terhadap persoalan virus korona dengan membentuk Sukarelawan Gugus Tugas Covid-19.
Saat itu desa menghadapi persoalan terbatasnya mobilitas untuk perdagangan komoditas pertanian karena adanya kebijakan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Di samping itu juga persoalan banyaknya perantau dari kota yang pulang kampung ke desa karena kesulitan ekonomi akibat pandemi, yang kebetulan juga sudah mendekati hari raya Idul Fitri. Tercatat sampai Desember 2020, sebanyak 1,04 juta pendatang telah masuk desa.
Oleh karena itu, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, pemerintah memprioritaskan penggunaan dana desa untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi melakui PKTD dan penguatan kesehatan masyarakat melalui pencegahan dan penanganan Covid-19 di desa.
Namun, pandemi yang tak kunjung mereda, mobilitas warga yang semakin meningkat, serta munculnya beberapa varian baru virus korona yang lebih berbahaya membuat pertahanan desa menjadi goyah. Meluasnya penularan Covid-19 hingga ke desa bahkan wilayah pedalaman tak terhindarkan lagi.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Desa Seolah Kecil, tapi Kematian Tinggi
Covid-19 di Desa
Sampai dengan 31 Juli 2021, Kemendesa PDTT mencatat ada 473.806 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terjadi di desa. Artinya, dari 3.409.658 kasus nasional pada tanggal tersebut, sebanyak 14 persen kasus terjadi di desa.
Provinsi di Jawa dan Bali, kecuali Banten, memiliki kasus terkonfirmasi positif Covid-19 terbanyak. Bahkan, dua provinsi mencatatkan kasus sudah lebih dari 100.000, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (145.113 kasus) dan Jawa Barat (134.328 kasus).
Data ini juga mengabarkan bahwa di perdesaan Yogyakarta, misalnya, jika dirata-rata terjadi 285 kasus harian selama pandemi atau 8.500 kasus per bulan. Provinsi di luar Jawa seperti Bali, Aceh, Kalimantan Timur, dan Sumatera Utara perlu meningkatkan kewaspadaan di desa karena kasus penularan Covid-19 di perdesaannya sudah lebih dari 5.000 kasus.
Sementara angka kematian tercatat sebanyak 20.511 kasus (4,33 persen) dari kasus terkonfirmasi positif dan 22 persen dari total kematian secara nasional (94.119 kematian).
Tertinggi di Jawa Barat dengan 5.041 kematian selama 17 bulan pandemi. Artinya, jika dirata-rata setiap bulan sekitar 297 kematian telah terjadi di desa-desa di Jawa Barat. Demikian pula dengan desa-desa di tiga provinsi lainnya di Jawa, paling tidak menghadapi sekitar 200 kematian penduduknya setiap bulan selama pandemi.
Data ini didukung adanya laporan dari beberapa desa yang mengalami lonjakan kematian saat kasus Covid-19 nasional menukik tajam di bulan Juli. Salah satunya lonjakan kematian yang terjadi di Desa Burujulwetan, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Selama Juli 2021, jumlah orang yang meninggal mencapai 50 orang, dari sebelumnya rata-rata 5 orang per bulan. Hanya lima orang yang dikuburkan dengan protokol Covid-19 (Kompas, 4 Agustus 2021).
Angka ini pun, baik kasus terkonfirmasi positif Covid-19 maupun kasus kematian yang terjadi di desa, bisa jadi lebih besar dari yang dilaporkan, mengingat desa memiliki keterbatasan tes, lacak, dan perawatan serta banyaknya kasus yang tak terdata.
Masih ada kecenderungan warga desa enggan dan takut untuk melapor atau pergi ke fasilitas kesehatan jika merasa sakit, mereka memilih menghindari pemeriksaan dan perawatan rumah sakit karena ada kekhawatiran akan ”dicovidkan”.
Baca juga: Mengelola Desa, Meredam Pandemi
Dana desa tangkal Covid-19
Data dan fakta di atas menepis adanya anggapan Covid-19 hanya penyakit orang kota. Sementara kasus Covid-19 di desa bak fenomena gunung es.Menghadapi fenomena ini, pemerintah berupaya semakin memperkokoh benteng pencegahan dan penanggulangan pandemi di perdesaan.
Pemanfaatan dana desa dimaksimalkan untuk trisula penanganan Covid-19, yaitu penanggulangan kesehatan, perlindungan sosial, dan stimulus ekonomi.
Kemendesa PDTT tengah gencar menyalurkan dana desa melalui empat program unggulan dalam penanganan Covid-19 di desa, yaitu Desa Aman Covid-19, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Padat Karya Tunai Desa (PKTD), dan Dana Desa untuk Kegiatan Pembangunan Desa di Luar Skema PKTD.
Merujuk data Kementerian Keuangan, dari Rp 72 triliun Dana Desa Tahun 2021 untuk 74.961 desa, baru 48,55 persen (Rp 34,953 triliun) yang cair per 31 Juli.
Sebanyak Rp 4,056 triliun (11,61 persen) untuk program Desa Aman Covid-19, Rp 9,486 triliun (27,14 persen) sebagai BLT Desa, Rp 2,858 triliun (8,18 persen) diperuntukkan bagi program PKTD, dan Rp 18,552 triliun (53,08 persen) bagi Kegiatan Pembangunan Desa di Luar Skema PKTD.
Namun sayang, hingga semester II-2021, penyerapan dana desa untuk program unggulan tersebut masih rendah. Dari 33 provinsi, baru 15 provinsi yang menyalurkan dana desa lebih dari 50 persen.
Sementara penyerapan dana desa di 18 provinsi lainnya masih di bawah 50 persen, bahkan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Papua baru menyalurkan kurang dari 40 persen.
Berbagai kendala masih rendahnya penyaluran dana desa untuk trisula penanganan Covid-19 ini terus diinventarisasi oleh pemerintah. Apakah persyaratan pencairan yang memberatkan, proses yang berbelit-belit, atau adanya kekhawatiran otoritas pengambil keputusan di desa terhadap potensi pelanggaran hukum.
Tidak bisa dimungkiri besarnya dana desa yang digelontorkan ke desa-desa ini menjadi ”beban” bagi aparat desa jika tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, jangan sampai terjadi ironi di mana anggarannya tersedia tetapi kegiatan tidak berjalan karena kendala-kendala tersebut.
Baca juga: Desa Berinovasi Atasi Pandemi
SDGs Desa
Apalagi penyaluran dana desa melalui empat program unggulan dalam penanganan Covid-19 di desa tersebut pada dasarnya untuk menyelamatkan ekonomi desa tanpa meninggalkan protokol kesehatan. Selain itu, secara tidak langsung juga mendukung percepatan tercapainya SDGs Desa.
Di tengah kondisi bertahan melawan pandemi Covid-19, desa mempunyai peran untuk berkontribusi dalam pencapaian target Tujuan Pembangunan Nasional Berkelanjutan (SDGs Nasional) pada tahun 2030.
Ada 18 aspek SDGs Desa yang diturunkan dari tingkat nasional menjadi tingkat lokal (desa). Dari 18 aspek tersebut dibagi menjadi 8 tipologi desa sebagai upaya terpadu melalui perwujudan: desa tanpa kemiskinan dan kelaparan; desa ekonomi tumbuh merata; desa peduli kesehatan; desa peduli lingkungan; desa peduli pendidikan; desa ramah perempuan; desa berjejaring; dan desa tanggap budaya.
Totalitas 8 tipologi desa inilah yang ingin diraih dan jika terpenuhi, 18 SDGs Desa akan tercapai. Apabila SDGs Desa tercapai, artinya sama dengan berkontribusi sebesar 74 persen capaian SDGs nasional. Inilah yang terus didorong pemerintah supaya capaian di tingkat global juga terus meningkat.
Dana desa selain untuk penanggulangan Covid-19 juga digunakan untuk SDGs Desa. Bahkan, Permendesa PDTT Nomor 13 Tahun 2020 menegaskan Dana Desa Tahun Anggaran 2021 diprioritaskan untuk pencapaian SDGs Desa.
Di sisi lain, pemanfaatan dana desa untuk penanggulangan pandemi juga membuahkan hasil pada kesejahteraan masyarakat desa. Program PKTD, misalnya, selain ditujukan untuk menggerakkan perekonomian juga menyerap tenaga kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Demikian juga dengan program BLT Desa. Hasilnya tecermin dari kinerja angka kemiskinan dan pengangguran di perdesaan.
Berdasarkan data BPS, desa mampu menahan kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lebih rendah (1,16 persen) daripada di kota (2,83 persen) selama pandemi Februari-Agustus 2020.
Demikian pula dengan angka kemiskinan. Selama pandemi Maret-September 2020, kenaikan angka kemiskinan perdesaan tercatat 0,38 persen, sementara perkotaan 0,5 persen meskipun secara nasional proporsi kemiskinan di perdesaan lebih besar.
Bahkan, tahun 2021, tingkat pengangguran dan kemiskinan di perdesaan menunjukkan performa positif. Tingkat pengangguran terbuka turun 0,6 persen, sementara kemiskinan turun 0,1 persen. Demikian pula dengan BLT yang semakin merata dengan dimasukkannya Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) sebagai peneriman bantuan.
Paling tidak program-program tersebut turut mendorong tercapainya target SDGs Desa, khususnya desa tanpa kemiskinan dan kelaparan, desa ekonomi tumbuh merata, dan desa ramah perempuan.
Dengan demikian, program penanggulangan pandemi Covid-19 dengan SDGs Desa bisa berjalan selaras untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu ”No One Left Behind”, tidak ada seorang pun yang tertinggal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pengumpulan Data SDGs Desa Masih Jauh dari Target