Keterlibatan swasta diperlukan untuk mengembangkan riset di Indonesia.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Performa Indonesia dalam bidang riset menurun selama dua tahun terakhir. Kemajuan inovasi untuk membangun negeri tak bisa hanya mengandalkan anggaran negara. Sektor privat juga perlu didorong untuk semakin berkontribusi.
Dalam skema riset global, tahun 2018 dinilai menjadi tahun kejayaan bagi dunia penelitian dan pengembangan (R&D). Setelah krisis ekonomi pada 2008-2009, pertumbuhan dana untuk R&D mencapai 5,2 persen di tahun tersebut. Performa pendanaan riset bahkan lebih baik dari produk domestik rruto (PDB) global. Capaian ini tak lepas dari tekad politik tiap penyelenggara negara, tak terkecuali dari pemerintahan di negara-negara berkembang.
Indonesia juga mencapai puncak performa dalam bidang R&D pada 2018. Tercatat skor Indeks Inovasi Global Indonesia sebesar 37,12, tertinggi selama 2015-2020. Sayangnya, skor indeks menurun pada 2019 di angka 29,72. Di tahun 2020, skor Indonesia kembali menukik ke angka 26,49, menempatkan negara Merah Putih ini di peringkat ke-85 dari 131 negara.
Meskipun skor turun, Indonesia justru dapat masuk dalam sepuluh besar negara dengan capaian indeks terbaik di kategori negara berpendapatan menengah bawah. Indonesia berada di peringkat ke-9 dari 29 negara dalam kelompok ini. Artinya, penurunan kinerja riset dan inovasi terjadi hampir di seluruh negara berkembang.
Dua negara dengan status ekonomi yang sama dan berada di kawasan Asia Tenggara yang tetap dapat bersinar adalah Vietnam dan Filipina. Dua negara ini mendapatkan predikat above expectation dalam pengembangan inovasi.
Tak dapat dimungkiri bahwa terkait pengembangan riset nasional ada banyak kendala yang dialami Indonesia, salah satunya adalah dalam hal pendanaan. Dua hal yang dapat disorot adalah terkait kecilnya porsi anggaran riset dari PDB dan penurunan penambahan anggaran tiap tahun.
Publikasi Media Keuangan Kementerian Keuangan pada Juli 2019 menyebut porsi penganggaran riset Indonesia atau Gross Domestic Expenditure on Research and Development (GERD) adalah 0,25 persen. Proporsi ini masih diupayakan dapat bertambah di tahun mendatang.
Hambatan kedua adalah terus turunnya penambahan anggaran untuk riset. Pada tahun 2017, penambahan anggaran riset terhitung sebesar 19,3 persen. Di tahun 2018, anggaran hanya meningkat 13,8 persen. Kemudian pada 2019 anggaran tercatat Rp 35,7 triliun atau hanya naik 5,6 persen dari tahun sebelumnya.
Dukungan swasta
Dalam satu tahun terakhir, tampak benar upaya pemerintah dalam menggandeng keterlibatan swasta untuk menambal kurangnya anggaran riset nasional. Beberapa upaya yang dilakukan adalah insentif fiskal dan kolaborasi dalam inovasi.
Kemenkeu pada 9 Oktober 2020 mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 Tahun 2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia.
Melalui peraturan ini, wajib pajak yang melakukan kegiatan R&D di Indonesia dapat diberikan pengurangan penghasilan bruto sebesar 100 persen dari jumlah biaya yang dikeluarkan. Dua cita-cita yang ingin dicapai pemerintah adalah mendorong industri melakukan penguatan R&D demi meningkatkan daya saing industri dan meningkatkan kontribusi badan usaha dalam inovasi yang melibatkan lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Komitmen ini juga dinyatakan oleh Laksana Tri Handoko, Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dalam diskusi daring ”Peluang Investasi dan Pengembangan Riset Teknologi di Indonesia” pada 21 Mei 2021, Kepala BRIN mengungkapkan pentingnya keterlibatan swasta untuk membagi beban anggaran riset.
Saat ini, 80 persen anggaran riset masih berasal dari anggaran pemerintah. Peran swasta dalam riset dan inovasi akhirnya juga akan berdampak pada makin tingginya daya saing swasta dalam persaingan teknologi global.
Langkah pemerintah ini strategis di tengah himpitan anggaran yang sedang difokuskan untuk penanganan krisis pandemi Covid-19. Apalagi, negara yang berdaya dan memiliki performa baik dalam riset dan inovasi pun mendapatkan pendanaan yang besar dari sektor privat.
Singapura, misalnya, merujuk data resmi Pemerintah Singapura, sebesar 58,5 persen dari total pendanaan riset di tahun 2013 berasal dari sektor swasta. Porsi pendanaan swasta pun terus meningkat. Pengeluaran untuk riset pada 2018 sejumlah 9.281,8 juta dollar AS, di mana sebesar 60,7 persennya berasal dari sektor swasta.
Singapura pada 2020 menempati peringkat ke-8 dalan Indeks Inovasi Global. Performa inovasi negara ini bahkan berpredikat above expectation dan lebih baik dari Korea Selatan. Capaian ini menempatkan Singapura sebagai negara nomor satu dalam hal riset dan inovasi di kawasan Asia.
Hambatan pendanaan juga disikapi dengan penguatan kerja sama dengan negara lain. BRIN pada 8 Juli 2021 menandatangani kesepakatan pendanaan riset dengan pemerintah di bidang kekayaan hayati laut di Indonesia.
Strategi
Selain soal dana, beberapa faktor yang menjadi penyebab hasil riset berhenti di tahapan invensi di Indonesia antara lain hasil riset tak sesuai kebutuhan industri, kepercayaan industri terhadap hasil riset lembaga litbang rendah, anggaran terbatas, birokrasi berbelit, sampai ekosistem riset yang tak kondusif.
Saking banyaknya hambatan dalam menghilirisasi hasil riset, tahapan ini dijuluki para periset sebagai ”lembah kematian” (Kompas, 10/9/2020).
Sebagai contoh, tiap tahun ada sekitar 16.000 judul penelitian yang didanai Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Dari jumlah itu, kurang dari 20 persen dapat dihilirisasi. Sisanya masuk ke lembah kematian. Ketiadaan integrasi dan konsolidasi menjadi penyebabnya.
Senada dengan hal itu, data dari Business Innovation Centre menunjukkan, ada 700 hasil riset yang terindeks di Scopus dalam tiga tahun terakhir. Namun, hanya 18 persen di antaranya yang berhasil didayagunakan.
Akhirnya, seturut dengan Prioritas Riset Nasional 2020-2024, turunan proyek penelitian dan pengembangan diharapkan dapat sesuai dengan tuntunan revolusi 4.0 dengan tetap mengetengahkan kebutuhan nasional. Di tengah upaya untuk mengatasi keterbatasan anggaran, pemilihan kajian dalam R&D perlu dipertajam. Tumpang tindih kajian diharapkan tidak lagi menjadi ”lagu lama” yang masih dipraktikkan saat ini. (LITBANG KOMPAS)