Orang Miskin dan Ultrakaya di Kala Pandemi
Pandemi melahirkan kesenjangan. Turunnya upah menjadi momok menakutkan pertama dan utama dalam mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi, daya beli masyarakat juga terancam menurun karena adanya inflasi.
Seorang penjaja rokok gendong berlari trengginas seolah sedang menjemput pembeli yang hendak memborong dagangannya. Tak lama, orang-orang di pinggir jalan pun ikut berlarian ke arah yang sama. Terdengar suara tepukan tangan bertaut dengan teriakan “eh..ono bantuan, ono bantuan!”
Kemudian segera tukang becak, kusir andong, pemulung, dan sejumlah pedagang mengerumuni sebuah mobil yang berhenti hendak menyalurkan sumbangan sembako.
Mereka dengan antusias menerima pembagian dari sang dermawan di dalam mobil. Suasana Minggu pagi yang lengang di Jalan Malioboro, Yogyakarta, itu pun sontak menjadi cukup riuh.
Raut lega terlihat dari beberapa orang yang berhasil mendapatkan bagian. Sedangkan warga lainnya yang belum beruntung kembali menjalani kegiatan semula dengan jatmika.
Tidak ada ungkapan lain kecuali penghormatan pada orang baik yang setia berderma. Apalagi, di tengah kondisi serba sulit saat ini dimana kedermawanan masyarakat kerap hadir sporadis.
Masyarakat di sektor pariwisata yang menggantungkan hidup dari mobilitas tak pelak paling terimbas. Krisis ekonomi sudah cukup tergambar dari satu potret ketika masyarakat sangat menantikan bantuan. Namun, potret tersebut sekaligus memantik keresahan lainnya.
Tidak hanya masyarakat yang bekerja mandiri, masyarakat penerima upah pun terus terancam pemutusan hak kerja dan penurunan upah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan rata-rata upah/gaji pekerja Indonesia pada Februari 2021 turun 1,95 persen menjadi Rp 2,86 juta. Padahal, kenaikan upah pada tahun-tahun sebelumnya sebesar 4 hingga 5 persen.
Baca juga : Pandemi Ungkap Kesenjangan yang Semakin Lebar
Tahun ini tujuh sektor usaha mendapatkan upah di bawah rata-rata nasional. Bertambah satu dari yang sebelumnya hanya enam sektor. Daya ungkit ekonomi pun belum menyentuh pekerja di sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan yang masih berupah kurang dari Rp 2 juta.
Upah di sektor ini memang sempat naik mencatatkan rerata sebesar Rp 2 juta lebih 71 ribu. Namun, kembali turun menjadi Rp 1,93 juta di masa pandemi.
Pertumbuhan upah terburuk terjadi pada sektor pertambangan dan penggalian dengan penurunan 15,8 persen. Meski begitu, pekerja di sektor ini menerima upah tertinggi dibandingkan pekerja di sektor lainnya.
Rerata upah pada Februari 2021 masih berada di angka aman, yakni Rp 4,29 juta. Akomodasi, makan, dan minum dapat dikatakan yang paling “meringis”. Dengan upah rata-rata Rp 2,29 juta di tahun 2020, upah sektor ini turun 9,96 persen di masa pandemi.
Turunnya pemasukan maupun upah menjadi momok menakutkan pertama dan utama dalam mencukupi kebutuhan hidup. Apalagi, daya beli masyarakat juga terancam menurun karena adanya inflasi.
Sebagai gambaran, inflasi saat kenaikan upah sebesar 5,18 persen adalah 2,57 persen. Sementara saat upah turun 1,95 persen, angka inflasi tercatat sebesar 1,38 persen.
Masyarakat miskin betul-betul semakin miskin di tengah jaring pengaman sosial yang ringkih. Namun, di spektrum sosial yang lain, masyarakat kaya justru mampu mengeruk keuntungan yang luar biasa di masa krisis ini.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Memperburuk Kesenjangan Ekonomi
Makin kaya
Gelombang pandemi yang sudah berlangsung satu setengah tahun ini juga mengekspos kalangan kaya karena tingginya tingkat perjalanan yang mereka lakukan.
Kemampuan warga masyarakat yang kaya membuat mereka memiliki lebih banyak akses untuk mengurangi dampak pandemi Covid-19, paling tidak dari sisi ekonomi.
Kondisi berbeda terjadi dengan kelas masyarakat bawah, khususnya kalangan pekerja informal dan buruh pabrik. Covid-19 dengan cepat menjadi masalah di antara pekerja, khususnya pekerja bergaji rendah yang tidak memiliki hak untuk dapat bekerja dari rumah atau work from home atau sebatas menerapkan protokol jaga jarak dengan semestinya.
Di satu sisi, pendapatan mereka sangat terbatas, atau bahkan serba kekurangan karena PHK, masih ditambah dengan penerapan pembatasan sosial yang praktis membuat mata pencaharian mereka semakin hilang.
Hal ini baik karena menghilangnya konsumen mereka di jalanan, maupun akibat larangan berjualan atau beraktivitas di tempat umum.
Di Indonesia, disparitas sosial ekonomi juga terindikasi cenderung melebar. Angka gini ratio pada Maret 2021 berada di level 0,384 atau naik 0,004 poin dari dibanding Maret 2019. Jika angka gini rasio masih relatif kurang meyakinkan, lihatlah jumlah orang kaya di Indonesia semakin bertambah di masa pandemi.
Data lembaga keuangan Credit Suisse yang dikutip Kompas pada 13 Juli 2021 menyebutkan, sebanyak 171.740 orang Indonesia memiliki kekayaan 1 juta dollar AS atau lebih pada 2020. Jumlah ini naik 61,69 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun yang sama, jumlah orang ultra kaya dengan kekayaan lebih dari 100 juta dollar AS mencapai 417 orang atau naik 22,29 persen. Tentu saja, tulisan ini tak hendak menyalahkan kekayaan yang dicapai para usahawan yang tentu diraih dengan usaha keras.
Namun bagaimanapun kondisi itu membenarkan ungkapan klise, "yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin" di masa pandemi ini.
Masyarakat ekonomi menengah bawah tak jarang harus merelakan harta simpanan untuk menambal kebutuhan hidup dan juga perawatan kesehatan. Itu terjadi karena “ketidakberdayaan” mereka.
Sementara itu, masyarakat ekonomi ultra atas justru dapat menambah pundi-pundi kekayaan. Itu juga terjadi karena “ketidaksengajaan” mereka.
Tak terhindarkan di saat pandemi ini, para pemilik usaha bidang rokok dan tembakau, makanan pokok, industri farmasi dan alat kesehatan, perbankan umum, industri minyak nabati dan minyak sawit serta batubara, ditengarai justru meraup keuntungan berlimpah. Hal ini karena permintaan pasar dalam negeri maupun dunia memang mengarah ke kebutuhan itu.
Bagaimanapun, negara dan pemerintah harus berperan dalam menyelaraskan antara ironi kekurangan “daya hidup” di sebagian besar kelompok masyarakat bawah, dengan kelompok kalangan industriawan yang menangguk “berkah” di kala pandemi.
Baca juga : Pandemi Perdalam Jurang Ketimpangan, Siapkan Program Jangka Panjang
Pajak miliarder
Sistem ekonomi kapitalisme liberal yang saat ini banyak dianut negara bangsa, juga berperan menyebabkan distribusi kekayaan dunia mengalami ketimpangan yang teramat lebar.
Perbedaan menyolok terlihat dari besarnya kekayaan para miliarder dunia dibandingkan, taruhlah secara ekstrem dibandingkan dengan kondisi para tukang becak dan pekerja informal Malioboro, di awal tulisan ini.
Artikel America’s 1% Got Richer During the Pandemic yang diterbitkan majalah Time pada 30 April 2021 menyoroti akumulasi kekayaan yang luar biasa dari para miliarder justru di masa krisis pandemi Covid-19.
Hal itu karena produk-produk industrial mereka justru banyak dikonsumsi di masa pandemi ini dimana pembatasan sosial diterapkan. Taruhlah misalnya, produk Teknologi Informasi seperti You Tube, aplikasi Zoom, Google, Instagram dan lain-lain.
Demikian pula semua produk konsumsi yang menunjang kondisi aktivitas masyarakat dunia yang berada di dalam rumah namun harus tetap terhubung.
Dilaporkan pertumbuhan kekayaan para miliarder sejak 18 Maret 2020 hingga 9 Juli 2021 mencapai 1,76 triliun dollar AS. Empat nama mencatatkan pertumbuhan lebih dari seratus persen, yakni Elon Musk, Mark Zuckerberg, Sergey Grin, dan Larry Page. Kekayaan Elon Musk sendiri tercatat naik 562 persen.
Jumlah kekayaan mereka dibandingkan dengan kebutuhan perawatan kesehatan menghasilkan ironi. Sebagai gambaran, perolehan kekayaan miliarder sebesar 1,3 triliun dollar AS setahun saja setara dengan dua pertiga paket penyelamatan Covid-19 untuk masyarakat Amerika Serikat (AS).
Kekayaan dari 664 miliarder dunia sebesar 4,2 triliun dollar AS juga setara hampir dua kali lipat kekayaan 165 juta warga AS berpendapatan rendah dan mungkin miliaran keluarga masyarakat kelas bawah di negara-negara berkembang.
Riset Inequality pada 14 Juli 2021 secara rinci menunjukkan pertumbuhan kekayaan yang eksponensial para miliarder dunia selama masa pandemi Covid-19.
Tak heran artikel ini sekaligus mendesak adanya reformasi pajak terhadap para kalangan ultra kaya yang dinilai masih permisif sehingga berujung pada penghindaran pajak.
Reformasi pajak itu sangat terkait dengan upaya untuk memastikan orang kaya membayar pajak secara layak dan memadai sehingga kekayaan mereka berguna bagi negara dan masyarakat dunia.
Dengan kata lain, pungutan pajak dari para miliarder menjadi pendapatan publik untuk membantu menyembuhkan negara yang sedang krisis.
Kembali ke soal kedermawanan, ironi kekayaan yang saat ini terjadi juga di Indonesia membutuhkan medium penengah oleh negara. Kedermawanan yang suka rela tentu menjadi sifat baik warga bangsa ini yang harus terus dipupuk.
Namun penyelesaian struktural dan sistematis perlu dilakukan, agar ketimpangan kemampuan ekonomi dalam masyarakat jangan sampai membuat kondisi semakin kritis secara sosial. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bali Paling Terpukul Pandemi