Meski secara umum kasus Covid-19 mulai melandai, tingkat kematian nyatanya masih terus tinggi. Pemerintah perlu memfokuskan upaya penanganan pandemi untuk menekan angka kematian ini.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Karangan bunga yang sudah layu dikumpulkan untuk dibuang di Tempat Pemakaman Umum Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (22/7/2021) malam. Lonjakan kasus Covid-19 yang disertai gejala berat turut memicu tingginya angka pemakaman dengan protokol Covid-19 di Indonesia.
Serangkaian kebijakan PPKM darurat dan PPKM level 4 secara umum mampu meredakan situasi pandemi di beberapa provinsi yang sebelumnya kritis. Meski secara umum kasus sudah mulai melandai, tingkat kematian nyatanya masih terus tinggi. Pemerintah perlu memfokuskan upaya penanganan pandemi untuk menekan angka kematian ini.
Secara umum, tingkat kematian di Indonesia memang menjadi salah satu poin paling buruk soal penanganan pandemi di Indonesia. Selama dua minggu terakhir, Indonesia konsisten menjadi ”juara dunia” soal kematian akibat Covid-19.
Selama tujuh hari ke belakang, jumlah kematian di Indonesia berada di angka 11,3 ribu jiwa. Angka ini nyaris dua kali lipat dari Brasil di posisi kedua dengan jumlah kematian sebesar 6,5 ribu jiwa.
Situasi ini bukanlah tren yang baru. Dua minggu lalu, Indonesia juga menempati posisi pertama soal kematian Covid-19. Saat itu, Indonesia memiliki jumlah kematian mingguan sebesar lebih dari 12,4 ribu jiwa.
Jumlah kematian ini juga jauh lebih besar dibandingkan dengan Brasil yang saat itu memiliki kematian mingguan sejumlah 6,8 ribu jiwa.
Lantas, selama beberapa minggu ke belakang, provinsi mana saja yang paling mengalami perburukan?
Dalam rentang tiga minggu ke belakang, beberapa provinsi dengan perubahan yang mengkhawatirkan ialah Lampung, Papua, Kalimantan Tengah, Banten, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Di provinsi tersebut, tingkat kematian mengalami peningkatan dua hingga lebih dari empat kali lipat.
Provinsi dengan peningkatan yang paling tajam ialah Lampung. Di daerah ini, rerata kematian harian selama seminggu meningkat dari 12 menjadi 116 jiwa atau setara dengan 436 persen.
Tak hanya itu, peningkatan ini juga terjadi dalam rentang waktu yang sangat singkat. Pada periode waktu 13-19 Juli dan 20-26 Juli, rata-rata kematian harian selama tujuh hari sebesar 12 jiwa.
Angka ini melonjak hingga 116 jiwa pada rentang 27 Juli-2 Agustus. Artinya, dalam waktu seminggu, rata-rata korban jiwa dalam sehari melonjak nyaris 10 kali lipat.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga melintasi mural bertema kematian yang salah satunya akibat Covid-19 di pinggiran Kali Cakung, Penggilingan, Jakarta Timur, Selasa (3/8/2021).
Kengerian di Lampung makin tergambar jelas ketika melihat jumlah kematian mingguan. Selama 3-19 Juli dan 20-26 Juli, jumlah kematian akibat Covid-19 di provinsi ini ialah 85 jiwa dan 83 jiwa. Adapun jumlah kematian seminggu berikutnya di rentang 27-2 Agustus ialah 809 jiwa.
Sebagai perbandingan, hingga 8 Agustus jumlah kematian di Lampung akibat Covid-19 ialah sebesar 2.507 jiwa. Artinya, nyaris 40 persen kematian ini terjadi hanya di rentang 13 Juli-2 Agustus. Bahkan, sekitar sepertiganya terjadi di rentang tanggal 27 Juli hingga 2 Agustus saja.
Hal serupa terjadi di Banten dan Kalimantan Selatan. Meski tak seekstrem Lampung, rerata kematian harian per minggu di kedua provinsi ini juga meroket seminggu terakhir.
Di Banten, rerata kematian harian di rentang 20-26 Juli dibandingkan dengan seminggu sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 63 persen. Namun, tingkat kematian ini menggelembung di minggu selanjutnya selama 27 Juli-2 Agustus. Dalam rentang waktu ini, terjadi peningkatan rerata kematian harian sebesar 216 persen.
Sama pula dengan Kalimantan Selatan. Rerata kematian harian di provinsi ini konsisten mengalami peningkatan. Dibandingkan dengan seminggu sebelumnya, pada rentang 20-26 Juli, terjadi peningkatan rerata kematian harian sebesar 50 persen dari 5 kematian per hari menjadi 10 kematian per hari. Peningkatan kembali terjadi seminggu setelahnya hingga 160 persen menjadi 26 kematian dalam sehari.
Tren peningkatan ini perlu menjadi tamparan keras bagi pemerintah terutama pemerintah daerah di provinsi-provinsi tersebut. Sebab, sebelumnya kematian masih terkonsentrasi di beberapa provinsi dengan jumlah kasus positif ”gemuk” seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, dan DI Yogyakarta.
Bahkan, hingga pertengahan Juli 2021, 72 persen atau sekitar 90.000 total kematian akibat Covid-19 di Indonesia berada di provinsi-provinsi ini. Tren kenaikan ini bisa menjadi petunjuk dari fenomena pergeseran episentrum Covid-19 dari Jawa ke wilayah di luarnya.
Tingginya tingkat kematian ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang juga turut berpengaruh ialah tingkat keterisian tempat tidur RS untuk Covid-19.
Asumsinya, apabila tempat tidur untuk pasien Covid-19 penuh, banyak dari pasien yang akhirnya meninggal akibat tak mendapat penanganan yang dibutuhkan.
Maka, penting pula melihat angka keterisian kasur rumah sakit (bed occupancy rate/BOR) ketika memahami fenomena peningkatan korban jiwa akibat Covid-19.
Dari provinsi dengan peningkatan tingkat kematian yang signifikan, beberapa di antaranya juga memiliki tingkat BOR yang juga cukup tinggi. Lampung, sebagai contohnya, masih konsisten memiliki BOR di level tidak aman atau di atas 60 persen.
Meski telah mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan pada 13 Juli 2021, di mana angka BOR saat itu mencapai 84 persen, sulit bagi Lampung menekan angka BOR di bawah 73 persen.
Tingginya angka BOR ini juga terjadi di Kalimantan Selatan. Pada kasus Kalimantan Selatan, angka ini justru naik selama beberapa minggu terakhir. Pada 13 Juli, angka BOR di provinsi sebesar 53 persen.
Dalam waktu tiga minggu, angka ini konsisten naik hingga mencapai puncaknya pada 2 Agustus dengan nilai 77 persen. Seiring dengan kian sesaknya RS, besar kemungkinan tingkat kematian di provinsi ini akan terus naik.
Hal yang sebaliknya justru terjadi di beberapa provinsi seperti Banten dan Kalimantan Tengah. Secara teori, BOR di kedua provinsi ini masuk ke kategori aman dengan nilai di bawah 60 persen.
Dari provinsi dengan peningkatan tingkat kematian yang signifikan, beberapa di antaranya juga memiliki tingkat BOR yang juga cukup tinggi.
Bahkan, Banten secara spektakuler berhasil menurunkan BOR dengan drastis, dari sebesar 90 persen pada 13 Juli menjadi 56 persen tanggal 2 Agustus. Namun, kedua provinsi ini justru mengalami peningkatan kasus kematian selama beberapa minggu terakhir.
Artinya, meski RS sudah mulai lengang, masih banyak pasien Covid-19 yang tak tertangani dengan baik. Bisa jadi, hal ini akibat banyaknya korban jiwa Covid-19 yang sebelumnya merupakan pasien isolasi mandiri yang mengalami perburukan dengan rentang waktu yang cepat.
Hal ini pernah ditangkap oleh laporan yang dibuat oleh lembaga LaporCovid-19. Dengan mendata laporan dari keluarga dan kerabat pasien, hingga 20 Juli saja terdapat sekitar tujuh ratus pasien Covid-19 meninggal dunia ketika sedang menjalani isolasi mandiri.
KOMPAS/Relawan Covid-19 di Kota Jayapura
Tim sukarelawan memakamkan jenazah salah seorang warga yang terpapar Covid-19 di Kota Jayapura, Papua, pada 9 Juli 2021. Kota Jayapura menempati peringkat pertama angka kematian akibat Covid-19 di Papua.
Dari data tersebut, diketahui bahwa nyaris 10 persen dari korban meninggal isolasi mandiri ini berasal dari provinsi-provinsi yang kini tengah mengalami peningkatan tren kematian. Bahkan, di Banten saja terdapat 63 atau sekitar 9 persen dari total korban meninggal isolasi mandiri yang terdata.
Data kematian Covid-19 dan kematian pasien isolasi mandiri ini pun perlu dilihat dalam kacamata fenomena gunung es. LaporCovid-19 pun mengakui bahwa data yang mereka kumpulkan masih belum lengkap mengingat masih banyak kasus serupa yang tak terlaporkan.
Sama halnya dengan data kematian, LaporCovid-19 juga menemukan masih ada perbedaan data yang cukup signifikan di tingkat pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi di mana data pemda kabupaten/kota menunjukkan jumlah kematian yang jauh lebih besar.
Data menunjukkan, beberapa provinsi yang kini mengalami tren perburukan belum memiliki faskes yang memadai untuk menampung pasien Covid-19.
Hal ini pun diperparah dengan tingkat tracing atau pelacakan di Indonesia yang masih cenderung rendah. Secara nasional, rasio lacak hingga kini masih berada di bawah 1 orang per kasus.
Artinya, apabila terdapat satu warga yang terkonfirmasi positif, belum tentu dilakukan pelacakan dan pengetesan terhadap orang-orang yang termasuk ke dalam kontak erat. Rendahnya tracing ini akan terus menumpuk gunung es, di mana semakin banyak kasus positif maupun kematian tak terdata.
Di tengah sengkarut ini, pemerintah perlu bekerja keras untuk segera menekan angka kematian. Data menunjukkan, beberapa provinsi yang kini mengalami tren perburukan belum memiliki faskes yang memadai untuk menampung pasien Covid-19.
Di sisi lain, pasien juga tak bisa hanya dibiarkan menjalani isolasi mandiri tanpa atau dengan pengawasan yang minim dari petugas kesehatan. Bila intervensi tak segera dilakukan, tremor kematian akan terus terjadi dan menyebar hingga ke pelosok terjauh Indonesia. (LITBANG KOMPAS)