Terima Kasih, Para Atlet Olimpiade
Bertanding saat pandemi membuat beban para atlet Olimpiade menjadi bertambah. Apa pun capaian yang mereka dapatkan, hal itu merupakan prestasi besar yang patut diapresiasi.
Mengikuti Olimpiade di saat pandemi bukanlah hal yang mudah bagi para atlet Olimpiade. Penundaan jadwal, kendala latihan, dan gangguan kesehatan mental menjadi tantangan tidak terduga saat pandemi. Karena itu, apresiasi besar perlu diberikan kepada para pejuang Olimpiade ini tanpa melihat hasil akhir yang telah dicapai.
Olimpiade Tokyo 2020 yang telah dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu resmi ditutup pada 8 Agustus 2021. Selama dua minggu itulah sebanyak 11.656 atlet dari 206 negara dan tim beradu di puncak panggung olahraga dunia. Dari jumlah itu, hanya 88 negara dan tim yang berhasil memperoleh minimal satu medali.
Berdasarkan total perolehan medali, Amerika Serikat menempati peringkat teratas dengan 113 medali, yang terdiri dari 39 medali emas, 41 perak, dan 33 perunggu. Selanjutnya China dengan 88 medali dan Rusia dengan 71 medali.
Indonesia menempati peringkat ke-44 dengan total 5 medali, yang terdiri dari 1 medali emas, 1 perak, dan 3 perunggu.
Mendapatkan medali memang menjadi tujuan utama para atlet dan juga harapan seluruh masyarakat setiap negara peserta. Akan tetapi, penghargaan lebih patutnya diberikan kepada para atlet yang telah berjuang di kompetisi olahraga terbesar dunia di tengah-tengah situasi pandemi. Sebab, situasi pandemi sangat berdampak terhadap para atlet ini.
Dalam kondisi normal saja, tidaklah mudah bagi atlet untuk menjadi bagian dari peserta Olimpiade. Para atlet harus mengikuti kualifikasi yang diselenggarakan federasi setiap cabang olahraga untuk mendapatkan kuota bertanding di Olimpiade.
Kualifikasi ini dilakukan berkali-kali sesuai dengan peraturan setiap federasi. Untuk mengikuti kualifikasi itu pun, setiap atlet harus bersaing dengan rekan sesama negaranya dalam kualifikasi atau kompetisi tingkat nasional.
Untuk angkat besi, misalnya, Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) mengatur kualifikasi Olimpiade 2020 menggunakan sistem kualifikasi individu. Untuk dapat tampil di Tokyo, atlet harus mengikuti minimal enam ajang kualifikasi dalam 18 bulan. Atlet juga dituntut menempati peringkat delapan besar dunia.
Kualifikasi Olimpiade cabang olahraga angkat besi ini telah dimulai pada 2019. Sementara persiapannya telah dilakukan pada 2018. Artinya, jika Olimpiade Tokyo 2020 tetap dilaksanakan pada 2020, para atlet telah memulai persaingan awalnya sejak dua tahun sebelumnya.
Namun, karena pandemi, sejumlah kejuaraan yang termasuk kualifikasi Olimpiade tertunda. Tak hanya itu, pada 24 Maret 2020 Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengumumkan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 ditunda selama setahun. Penundaan laga puncak ini dan ketidakpastian situasi akibat pandemi menambah beban para atlet.
Kendala latihan
Sebagian besar atlet mengeluhkan perubahan latihan di saat pandemi. Jika tidak ada pandemi, tahun 2020 menjadi masa para atlet untuk mempersiapkan diri demi kompetisi Olimpiade.
Namun, karena pandemi dan ditundanya Olimpiade, latihan difokuskan untuk menjaga kondisi atlet. Hal ini untuk menjaga para atlet tidak terfosir. Sementara tidak ada target dalam jangka pendek karena tidak ada kejuaraan.
Sejumlah atlet juga harus beradaptasi dengan protokol kesehatan dan pembatasan aktivitas di lokasi-lokasi latihan. Bagi sejumlah atlet yang membutuhkan peralatan khusus dan partner berlatih pembatasan, situasi pandemi sangat berdampak terhadap program latihan mereka.
Sejumlah pusat kebugaran yang tutup selama berbulan-bulan membuat para atlet memanfaatkan ruang dan alat-alat yang ada untuk tetap berlatih. Ruang di sekitar rumah, kolam buatan, hingga mengajak kerabat sebagai partner bertanding dilakukan sejumlah atlet untuk terus melatih kemampuan mereka.
Kendala dalam berlatih memang menjadi tantangan terbesar atlet di masa pandemi. Hal ini diungkapkan lebih dari separuh responden dalam survei yang dilakukan Komite Olimpiade Internasional (IOC) pada Mei 2020. Survei yang dilakukan terhadap 3.289 responden atlet di 135 negara ini mengungkapkan para atlet kesulitan mencari cara untuk berlatih dengan efektif.
Berkaitan dengan profesi mereka sebagai atlet, tiga dari sepuluh atlet mengeluhkan pembatasan latihan dalam kelompok sehingga menyebabkan latihan kurang maksimal.
Selain itu, mereka juga kesulitan dalam mengatur nutrisi dan diet (30 persen). Dengan berubahnya sistem pelatihan, dilarangnya berlatih dalam kelompok, dan banyaknya waktu yang dihabiskan di rumah masing-masing menyebabkan pola diet dan asupan nutrisi berubah.
Para atlet juga harus berhadapan dengan ketidakpastian jadwal kejuaraan atau kompetisi yang berdampak pada karier dan pembiayaan olahraganya. Kekhawatiran ini dirasakan oleh sepertiga responden. Tanpa adanya kejuaraan, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hadiah atau bonus kemenangan.
Sementara pendapatan sejumlah atlet sering tidak sepadan dengan pengeluaran dan usaha mereka. Peralatan olahraga yang harus rutin diganti serta kebutuhan latihan dan nutrisi pribadi sering membuat pengeluaran membengkak.
Tak jarang mereka mencari pendapatan tambahan. Namun, di saat pandemi, pendapatan dari pekerjaan lain berkurang atau hilang karena sektor-sektor tersebut terdampak pandemi.
Kesehatan mental
Hal lain yang tidak kalah penting dihadapi para atlet adalah kesehatan mental. Sama dengan masyarakat pada umumnya, para atlet juga dilingkupi kecemasan dan kekhawatiran akan situasi pandemi dan kelanjutan karier mereka.
Berdasarkan survei IOC, separuh responden mengungkapkan kesulitan mereka untuk memotivasi diri sendiri. Sementara sebanyak 32 persen mengaku sulit mengatur kesehatan mental.
Bagaimanapun caranya mereka harus tetap menjaga semangat hingga Olimpiade dimulai. Sementara dalam prosesnya, kendala latihan, pendapatan yang berkurang, anggota keluarga atau kerabat yang meninggal karena Covid-19 rentan membuat mental mereka jatuh. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang sempat ingin bunuh diri.
Belum lagi jika para atlet terinfeksi Covid-19. Kondisi kesehatan dan dampak panjang Covid-19 (long Covid-19) dikhawatirkan akan mengacaukan segala upaya yang telah mereka lakukan selama ini.
Saat masa Olimpiade tiba, kecemasan dan ketakutan semakin dirasakan. Olimpiade menjadi puncak terbesar karier mereka sebagai atlet sehingga wajar jika ketakutan akan kegagalan itu dirasakan. Harapan akan kemenangan pada kejuaraan olahraga terbesar dunia ini sering malah menjadi beban bagi para atlet.
Bintang atlet dunia seperti Simone Biles, Naomi Osaka, dan Katie Ledecky mengakui tekanan dari Olimpiade ini.
Pesenam artistik Amerika Serikat, Simone Biles, sempat mundur dari final tim dan tiga nomor final individu karena bermasalah dengan kesehatan mental. Namun, Biles akhirnya memutuskan untuk tampil di final blok keseimbangan dan mendapatkan medali perunggu.
Naomi Osaka, petenis andalan Jepang, kalah pada putaran ketiga dan mengakui bahwa dirinya tidak dapat mengatasi tekanan Olimpiade. Sementara Katie Ledecky, perenang asal AS, mengungkapkan keinginannya supaya masyarakat mengetahui perjuangan dan penderitaannya meskipun ia berhasil meraih dua emas dan dua perak.
Penyelenggaraan Olimpiade yang tidak biasa karena harus mengikuti protokol kesehatan juga menambah kecemasan para atlet. Mereka harus bertanding tanpa didukung suporter dan orang-orang terdekat.
Para atlet tidak memiliki keleluasaan karena harus menjalani karantina di kampung atlet. Segala kegiatan harus dilaporkan, mobilitas harus menggunakan kendaraan yang disediakan.
Yang paling mencemaskan adalah harus memastikan para atlet dan tim tidak terinfeksi virus Covid-19. Mulai dari sebelum keberangkatan (H-96 jam), saat tiba di Jepang, saat pelatihan maupun pertandingan, semua atlet dan tim harus mengikuti tes Covid-19. Jika positif Covid-19, para atlet tidak dapat bertanding. Seluruh upaya selama ini akan sia-sia.
Kualitas
Sejumlah tantangan dan beban menegaskan bahwa para atlet layak untuk diapresiasi dan dihargai lebih lagi. Jangan sampai sambutan meriah bak pahlawan hanya euforia sementara. Apalagi, di tengah kendala yang mereka hadapi, para atlet masih dapat menghadirkan rekor-rekor dunia.
Caeleb Dressel, Elaine Thompson, dan Greysia Polii-Apriyani Rahayu menjadi bukti. Caeleb Dressel, perenang AS, berhasil meraih lima medali emas untuk beberapa kategori perlombaan renang. Ia bahkan memecahkan rekor Olimpiade pada kategori renang nomor 50 meter gaya bebas, nomor 100 meter gaya bebas, dan nomor 100 meter gaya kupu-kupu.
Rekor juga dipecahkan Elaine Thompson-Herah, sprinter Jamaika, saat ia berhasil finis pertama dalam final 100 meter putri dan meraih medali emas. Waktu larinya, 10,61 detik, berhasil memecahkan rekor Olimpiade sebelumnya milik pelari AS, Florence Griffith Joyner, yakni 10,62 detik.
Berprestasi di tengah kendala-kendala pandemi juga dibuktikan pasangan ganda putri Indonesia, Greysia/Apri. Mereka menjadi pasangan ganda putri pertama Indonesia yang meraih medali emas di Olimpiade. Pencapaian tersebut terjadi setelah duo ini mengalahkan ganda putri China dalam dua set langsung, 21-19 dan 21-15.
Semua atlet, baik yang juara maupun tidak juara, layak diberikan apresiasi. Tidak hanya medali atau hadiah materi, penghargaan lain berupa dukungan, pengertian, dan empati juga patut diberikan.
Keterbukaan atlet akan situasi mental yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan merupakan seruan hati yang perlu diakomodasi oleh pemerintah, komite olahraga, dan juga masyarakat.
Baca juga: Indonesia, Rumah Bulu Tangkis Dunia
Selain itu, kendala yang dihadapi saat pandemi menuju Olimpiade juga membukakan problem-problem lama atlet yang masih saja mereka alami. Misalnya, kesejahteraan atlet dan sarana-prasarana serta pembinaan atlet yang kurang.
Kiranya berakhirnya Olimpiade Tokyo 2020 menjadi awal baru bagi pembinaan dan kesejahteraan atlet yang lebih baik lagi. Semoga apresiasi dan dukungan terus mengalir bagi atlet-atlet dalam segala kejuaraan. Terima kasih, para atlet Olimpiade! (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Bonus Atlet Peraih Medali Olimpiade