Bahaya Penurunan Imunisasi di Tengah Pandemi Covid-19
Mengingat besaran manfaatnya, imunisasi rutin bagi anak harus tetap terlaksana. Di masa pandemi seperti saat ini, beragam kendala yang ada harus segera diantisipasi agar program imunisasi dapat terus dilakukan.
Oleh
Agustina Purwanti
·6 menit baca
Imunisasi rutin bagi anak harus dipastikan tetap terlaksana meski mengalami banyak kendala di tengah pandemi. Penundaan dan rendahnya cakupan imunisasi berpotensi mengancam masa depan anak itu sendiri.
Bulan Agustus biasanya identik dengan imunisasi untuk siswa melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). BIAS merupakan agenda imunisasi rutin oleh pemerintah yang diadakan dua kali dalam setahun secara serentak di seluruh Indonesia. Bulan Agustus untuk imunisasi Campak dan HPV, sementara bulan November untuk imunisasi DT (Difteri dan tetanus) dan Td (lanjutan imunisasi DT).
Imunisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan anak terhadap suatu penyakit. Tujuannya, apabila suatu saat terpapar penyakit tersebut, anak tidak mengalami dampak parah atau hanya mengalami sakit ringan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, imunisasi dalam program BIAS diberikan kepada anak kelas 1 SD (Campak dan DT) serta kelas 2 dan 5 untuk imunisasi Td. Namun demikian, program tersebut kini terhambat karena adanya pandemi Covid-19. Akibatnya, cakupan imunisasi BIAS pun sangat rendah.
Tantangan meraih cakupan imunisasi, baik untuk bayi maupun anak sekolah, kian berat. Kondisi ini sekaligus juga menjadi ancaman untuk keselamatan anak. Pada 2019 terdapat 1.256 kematian bayi akibat pneumonia, dengan 277 kasus diantaranya terjadi pada balita. Jumlah kematian karena diare juga cukup tinggi, yakni 746 kasus pada bayi dan 314 pada balita. Padahal, kedua penyebab kematian tersebut sebenarnya dapat diminimalisir dengan imunisasi.
Dalam paparan webinar “Temu Media Pekan Imunisasi Dunia Tahun 2021” yang diadakan Kementerian Kesehatan pada April 2021, Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Prof. dr. Soedjatmiko Sp.A(K) memaparkan, cakupan BIAS untuk imunisasi campak tahun 2020 hanya sebesar 45,3 persen. Padahal, cakupan di tahun sebelumnya mencapai 89,4 persen.
Sementara, cakupan imunisasi DT dan Td masing-masing hanya 40 persen dan 42 persen. Tahun sebelumnya, cakupan imunisasi DT sebesar 90,07 persen dan imunisasi Td mencapai 90,71 persen. Artinya, capaian tahun 2020 hanya separuh dari tahun sebelumnya, dan lebih dari separuh anak sekolah berisiko tertular penyakit campak, difteri, serta tetanus.
Rendahnya cakupan tersebut tak lepas dari adanya peraturan belajar dari rumah yang dilakukan di masa pandemi. Setelah kasus covid-19 pertama kali diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran Menteri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai upaya menekan laju penyebaran virus korona penyebab Covid-19. Terhentinya aktivitas pendidikan di sekolah, membuat program Bulan Imunisasi Anak Sekolah tidak dapat berjalan optimal.
Imunisasi bayi
Tak hanya itu, imunisasi rutin lainnya pun juga terkendala. Sejumlah imunisasi untuk bayi yang sejatinya menjadi imunisasi dasar cakupannya menurun. Polio suntik (IPV) menjadi imunisasi dengan cakupan terendah pada tahun 2020, yakni 34 persen. Padahal, tahun 2019 cakupannya mampu mencapai 76 persen.
Imunisasi tersebut merupakan pelengkap untuk imunisasi polio tetes yang diberikan sebanyak empat dosis sebelumnya. Cakupan imunisasi polio tetes sendiri hanya di kisaran 85 persen saat tahun sebelumnya mampu mencapai 92 hingga 96 persen.
Seperti imunisasi campak pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah, cakupan imunisasi campak untuk bayi pun menurun. Tahun 2019, cakupannya mencapai 72 persen, dan turun menjadi 62 persen tahun 2020. Begitu pula dengan imunisasi difteri dan tetanus (DPT-Hb-Hib), BCG, serta Hepatitis B pada bayi yang juga turun sekitar 10 persen.
Kelima imunisasi tersebut seharusnya diberikan secara lengkap untuk bayi usia nol hingga 11 bulan. Namun demikian, penurunan pada kelima imunisasi tersebut membuat cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) secara keseluruhan menjadi lebih rendah di masa pandemi.
Tahun 2019, cakupan imunisasi dasar lengkap nasional mencapai 93,7 persen. Namun tahun 2020 turun menjadi 79 persen, lebih rendah dari capaian satu dekade lalu sebesar 80 persen. Jika menggunakan estimasi jumlah bayi tahun 2019 sekitar 4,68 juta jiwa, maka hampir satu juta bayi di antaranya belum memiliki sistem perlindungan yang optimal.
Meski demikian, cakupan yang melebihi target itupun tidak tergambar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia. Merujuk Profil Kesehatan Indonesia 2019, masih terdapat 19 provinsi yang memiliki cakupan imunisasi dasar lengkap di bawah target pemerintah.
Aceh menjadi provinsi dengan cakupan imunisasi dasar lengkap terendah, yakni 50,9 persen. Pada tahun yang sama, jumlah bayi di Aceh sebanyak 113.781 jiwa. Dengan demikian ada lebih dari 55 ribu bayi belum mendapat imunisasi dasar secara lengkap.
Cakupan IDL yang minim itu membuat jumlah penyakit yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) di provinsi Aceh terekam cukup tinggi. Tahun 2019 terdapat 972 suspek campak, 34 kasus difteri, dan 10 kasus pertusis (batuk rejan atau batuk 100 hari).
Provinsi dengan cakupan terendah berikutnya adalah Kalimantan Utara (71,2 persen), Papua (71,9 persen), dan Riau (73,3 persen). Semua provinsi dengan cakupan imunisasi dasar lengkap di bawah target dan rata-rata nasional merupakan wilayah di luar pulau Jawa.
Rendahnya cakupan tersebut, baik regional maupun nasional, juga disebabkan oleh faktor yang beragam. Salah satunya adalah keraguan orangtua akan halal atau tidaknya vaksin dalam imunisasi yang diberikan. Faktor lainnya adalah kurangnya pemahaman orangtua akan pentingnya imunisasi dasar lengkap untuk buah hati mereka, sehingga imunisasi terlambat bahkan tidak lengkap karena faktor penghambat dari pihak orang tua.
PPKM
Tantangan pun semakin bertambah di masa pandemi. Saat ini cakupan imunisasi rendah karena orangtua takut membawa anak mereka ke fasilitas layanan kesehatan untuk imunisasi. Pandemi Covid-19 yang belum mereda membuat mereka khawatir terpapar virus korona, termasuk juga bagi bayi mereka yang masih rentan.
Pasalnya, kasus terkonfirmasi covid-19 pada bayi dan anak-anak kian bertambah. Merujuk data yang dihimpun Satgas Penanganan Covid-19 pada 5 Agustus 2021, paparan Covid-19 pada balita (0-5 tahun) sebesar 2,9 persen dan 9,9 persen pada anak usia 6-18 tahun. Angka tersebut meningkat dibandingkan pada Desember 2020. Balita yang terkonfirmasi positif Covid-19 sebanyak 2,72 persen dan 8,82 persen pada anak usia 6-18 tahun.
Kekhawatiran orangtua tersebut tergambar dari survei berkala yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Hasil survei fase pertama (Maret 2021) menunjukkan bahwa 68,7 persen responden mengatakan keberatan dari orang tua untuk membawa anak mereka untuk di imunisasi.
Ditambah lagi kebijakan pemerintah untuk melakukan pembatasan kegiatan masyarakat membuat mereka semakin menahan diri untuk keluar rumah. Hingga 9 Agustus 2021 mendatang, pemerintah masih menerapkan kebijakan PPKM.
Kebijakan yang dibagi dalam empat level tersebut menyebutkan bahwa wilayah dengan PPKM level 3 dan level 4, dianjurkan untuk melakukan kegiatan belajar secara daring. Artinya, kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah pun kembali terancam jika kasus baru Covid-19 tak kunjung mereda dan kebijakan PPKM diperpanjang.
Tak hanya Jawa - Bali, sejumlah kabupaten/kota di provinsi yang masuk dalam kategori cakupan IDL rendah pun turut menerapkan kebijakan PPKM level 3 dan 4. Aceh misalnya, 11 kabupaten/kota di dalamnya menerapkan PPKM level 3. Sementara, dua kabupaten/kota di Kalimantan Utara masuk dalam PPKM level 2 dan 3 kabupaten/kota menerapkan PPKM level 4. Begitu pula dengan sejumlah provinsi lainnya.
Mengingat besaran manfaatnya, imunisasi rutin bagi anak harus dipastikan tetap terlaksana. Dibutuhkan komitmen bersama untuk mencapai target imunisasi, khususnya pada bayi dan anak. Di masa pandemi seperti saat ini, beragam kendala yang ada harus segera diantisipasi agar program imunisasi dapat terus dilakukan.
Petunjuk teknis pelayanan imunisasi di masa pandemi yang telah disusun pemerintah dapat menjadi panduan bersama untuk terus menjaga upaya peningkatan kekebalan anak dari penyakit. Penundaan yang berkelanjutan justru akan mengancam masa depan anak dan bangsa Indonesia. (LITBANG KOMPAS)