Pandemi Covid-19 telah melemahkan seluruh sendi kekuatan masyarakat khususnya pada masyarakat bawah tak terkecuali perlindungan pada anak-anak. Praktik perdagangan anak meningkat pada masa pandemi.
Oleh
Kendar Umi Kulsum
·3 menit baca
Sejak Januari hingga April 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menangani 35 laporan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan korban 234 orang anak. Dari jumlah tersebut mayoritas (83 persen) merupakan kasus kekerasan seksual atau prostitusi anak.
Dalam situasi pandemi angka laporan perdagangan anak terbilang tinggi. Sepanjang tahun 2020 terdapat 149 laporan kasus, sedangkan pada tahun 2019 ada 244 perdagangan anak dengan beragam bentuk seperti pelacuran, pekerja anak hingga adopsi ilegal. Bahkan ditemukan anak yang bertindak sebagai perantara dengan muncikari.
Data perdagangan anak akan jauh lebih besar jika prostitusi atau pekerja seks komersial anak dipandang sebagai TPPO, karena diperkirakan 30 persen pekerja seks di Indonesia berusia anak-anak. Berdasarkan data International Labour Organization (ILO) pada 2020 lebih dari 40 juta orang di dunia menjadi korban TPPO, dan 1 dari 4 korban tersebut adalah anak-anak.
Sebelumnya, dalam kurun waktu 2015-2019 ada 2.648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2.319 perempuan dan 329 laki-laki. Data yang dikeluarkan oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) tersebut menunjukkan kasus TPPO semakin meningkat khususnya pada perempuan.
Bahkan, yang lebih memprihatinkan adalah data terbaru Kedutaan Besar Amerika Serikat 2020 bahwa di Indonesia diperkirakan ada 70.000 – 80.000 pekerja seks anak dan dewasa yang banyak terdapat di industri pertambangan di Maluku, Jambi dan Papua.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki aplikasi Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang merekam kasus TPPO setiap tahunnya. Tahun 2020 diidentifikasi bahwa kasus TPPO pada perempuan dan anak justru meningkat 62,5 persen.
Situasi pandemi mengakibatkan keluarga semakin rapuh hingga mengakibatkan pengawasan pada anggota keluarga berkurang, atau bahkan orang tua menuntut anak untuk ikut menanggung beban ekonomi.
Mengatasi kasus perdagangan anak tidaklah mudah karena berbagai tantangan yang ada. Salah satu yang belakangan terjadi adalah lemahnya pengawasan orang tua yang mengakibatkan terjadi penyalahgunaan teknologi dan media sosial dapat menjadi pintu masuk dalam perdagangan anak.
KPAI menemukan bahwa 60 persen kasus prostitusi anak di tahun 2021 dijaring lewat media sosial dimana seorang anak dijanjikan sesuatu yang menggiurkan hingga mereka mudah dimobilisasi kemudian dieksploitasi secara seksual.
Di Indonesia masalah perdagangan orang sangat kompleks karena terkadang hadir dalam bentuk yang tidak terlalu menonjol seperti dalam kasus tenaga kerja. Umumnya masyarakat hanya memahami perdagangan orang dalam bentuk perekrutan dan pengiriman pekerja migran apalagi yang mengalami kekerasan fisik, seksual dan perbudakan.
Bahkan publik kurang menyadari potensi menjurus pada perdagangan orang yang pernah ketika terjadi penyebaran sebuah pamflet yang disisipkan pada eksemplar surat kabar nasional edisi 9 Februari 2021 yang berisi ajakan menikah pada usia 12-21 tahun dengan konten promosi “Aisha Wedding”.
Indonesia telah memperbaharui Undang undang tentang Perlindungan Anak UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU 23/2002 menjadi Undang-undang.
Selain itu pemerintah juga membuat Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO, kemudian di kuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PP TPPO). Hingga kini terbentuk 32 Gugus Tugas Provinsi dan 25 Gugus Tugas Kabupaten/Kota.
Untuk mempermudah penanganan kasus kekerasan dan TPPO Kemenkes mengembangkan aplikasi sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui Simfoni PPA.
Hal ini dimaksudkan agar ada pendokumentasian data kekerasan melalui sistem pencatatan dan pelaporan lintas kabupaten maupun lintas propinsi melalui sistem aplikasi yang terpadu dan komprehensif. Dengan demikian ketika ditemukan kasus maka lebih mudah untuk dilakukan pengusutan dan penyelidikan karena tersedia data dan informasi yang cukup serta mempermudah alur pengusutan dan bukti cukup dihadapkan ke pengadilan.
Mencegah perdagangan anak menjadi tanggungjawab semua unsur masyarakat mulai keluarga sebagai kelompok inti tempat anak mendapatkan perlindungan. Upaya yang dilakukan adalah dengan sosialisasi, edukasi, literasi dan penyadaran sosial agar masyarakat tidak menjadi korban. (LITBANG KOMPAS)