Indonesia, Rumah Bulu Tangkis Dunia
Popularitas dan prestasi bulu tangkis Indonesia masih terjaga hingga saat ini. Berkat itu pula, dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah rumah bulu tangkis.

Atlet Indonesia, Apriyani Rahayu (kiri) dan Greysia Polii, berpose di lapangan dengan medali emas bulu tangkis ganda putri Olimpiade 2020 di Musashino Forest Sports Plaza di Tokyo, Jepang, Senin (2/8/2021).
Prestasi Indonesia dalam kejuaraan bulu tangkis dunia tidak dapat dilepaskan dari ikatan kedekatan masyarakat dan pengembangan olahraga itu di masa lalu. Popularitas dan prestasinya masih terjaga hingga sekarang. Karena itu, tidak salah jika orang menyebutkan Indonesia adalah rumah bulu tangkis.
Sambutan meriah dan sorak-sorai pecah saat Greysia Polii dan Apriyani Rahayu mengalahkan pasangan ganda putri China dalam laga final Olimpiade Tokyo 2020, Senin (2/8/2021). Mereka berhasil menang dua set langsung dengan skor 21-19 dan 21-15.
Serentak, media sosial penuh dengan ucapan selamat dari masyarakat Indonesia. Banyak pula yang tak kuasa menahan haru melihat kegigihan dan keberhasilan perjuangan duo pebulu tangkis ini.
Bukan hanya karena mereka mencetak sejarah dengan membawa pulang emas Olimpiade pertama kali untuk kategori ganda putri, melainkan juga emas itu menjadi yang pertama diperoleh Indonesia pada Olimpiade Tokyo 2020. Dengan prestasi tersebut, lengkap sudah perolehan emas Indonesia di setiap nomor pertandingan bulu tangkis Olimpiade.

Penyambutan Alan Budikusuma dan Susi Susanti, peraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992. Masyarakat Ibu Kota turun ke jalan, menyambut dua pahlawan bulu tangkis tersebut. Mereka lalu diarak dengan jip terbuka melintasi jalan protokol dari Senayan menuju Ancol, 12 Agustus 1992.
Setelah pemain andalan bulu tangkis lainnya harus tersingkir, hanya tersisa ganda putri Greysia/Apriyani, ganda putra Hendra/Ahsan, dan tunggal putra Anthony Ginting yang melaju ke babak semifinal. Namun, medali hanya diperoleh Greysia/Apriyani dan Anthony Ginting. Sementara pasangan Hendra-Ahsan harus menempati peringkat keempat.
Ramainya sambutan dari masyarakat tersebut merupakan wujud kebanggaan atas konsistensi atlet-atlet untuk meraih kemenangan pada kejuaraan bulu tangkis dunia. Bulu tangkis memang menjadi cabang olahraga yang selalui diandalkan Indonesia dalam setiap kompetisi atau pesta olahraga tingkat regional hingga dunia. Indonesia pun dikenal dunia sebagai negara rumah bulu tangkis.
Media internasional The New York Times edisi 7 Agustus 2020 dalam judul pemberitaannya menyebutkan ”Ketika Anda Menyebut Bulu Tangkis, Anda Menyebut Indonesia”. Disebutnya pula bahwa bulu tangkis menjadi bagian dari identitas nasional. Hal ini beranjak dari pernyataan Raja Sapta Oktohari, Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI), yang menceritakan pentingnya bulu tangkis bagi masyarakat Indonesia.
Bulu tangkis menjadi olahraga sehari-hari dan telah digemari masyarakat dari berbagai kalangan. Karena tidak memerlukan alat dan tempat khusus, badminton dapat dimainkan di mana saja. Di lingkungan tempat tinggal, tidak jarang pula warga yang rutin bermain meskipun hanya dengan tetangga atau kerabatnya saja.

Pebulu tangkis nasional Ade Chandra, Christian Hadinata, dan Rudy Hartono saat tiba di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Maret 1973, sekembali dari kejuaraan All England. Ade/Christian menjadi juara ganda putra, sedangkan Rudy meraih juara tunggal putra.
Hindia Belanda
Kedekatan masyarakat dengan bulu tangkis ini sudah terjalin sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1930-an tercatat masyarakat sudah memainkan olahraga ini baik untuk hiburan semata maupun untuk kompetisi.
Ada berbagai versi yang menceritakan kegiatan olahraga bulu tangkis dahulu saat zaman kolonial. PBSI menuliskan bahwa badminton disebarluaskan oleh bangsa Belanda atau Eurasia maupun pelajar Indonesia yang baru kembali dari luar negeri.
Namun, menurut Colin Brown dalam tulisannya, ”Playing The Game: Ethnicity and Politics in Indonesian Badminton (2006)”, bulu tangkis dikenalkan dari orang-orang yang berada di Semenanjung Malaya dan Singapura melalui hubungan komersial dan sosial komunitas China.
Terdapat bukti-bukti sejarah bahwa pada awal 1930-an, klub etnis China di Medan, Sumatera Utara, mengundang pemain badminton dari Penang, Malaysia, untuk pertunjukan dan pada akhirnya untuk pertandingan.

Warga antre untuk menyaksikan final beregu putra cabang bulu tangkis pada Asian Games 2018 di pintu gerbang Istora, Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (22/8/2018). Antusiasme warga untuk menyaksikan pertandingan ini cukup besar dan mereka rela antre membeli tiket pertandingan.
Popularitas olahraga ini di Medan ditunjukkan pula dari iklan perlengkapan bulu tangkis di sejumlah media massa, seperti Pewarta Deli. Di kota-kota besar di Jawa, bulu tangkis mulai berkembang pada pertengahan 1930-an. Olahraga ini semula hanya dilakukan sebagai hiburan khususnya di pasar malam. Namun, pada perkembangannya, diadakanlah turnamen-turnamen pertandingan.
Sejumlah klub bulu tangkis muncul pada masa itu. Dari Jakarta ada klub Bataviasche Badminton Bond (BBB) dan Bataviasche Badminton League (BBL) yang kemudian bergabung menjadi Bataviasche Badminton Unie (BBU). Di Semarang berdiri klub Heerenstraat Badminton Club dan di Surabaya ada klub The Soerabaiasche Badminton Bond.
Sejumlah klub ini dimiliki oleh kelompok etnis China yang mana saat itu memang mendominasi olahraga ini. Namun, ada pula klub yang dimiliki pribumi, seperti Signal Silver Badminton Party dan Antara Badminton Party di Medan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, terjadi sengketa klub kelompok Tionghoa, PERBAD, dengan persatuan bulu tangkis pribumi (nasionalis Indonesia), yaitu PORI. Namun, perlu diingat, pada masa itu, identitas kedaerahan dan etnis masih menjadi komponen persatuan bangsa yang terus diperjuangkan. Namun, akhirnya kedua organisasi ini bergabung hingga terbentuk PBSI pada 5 Mei 1951.

Identitas nasional
Ikatan emosi masyarakat terhadap bulu tangkis semakin erat tatkala Indonesia mulai memasuki masa keemasan kejuaraan bulu tangkis di kancah internasional pada akhir 1950-an. Tonggak awal prestasi Indonesia ini diawali oleh ”The Magnificent Seven” yang terdiri dari Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Tan King Gwan, Eddy Joesoef, Njoo Kiem Bie, Lie Poo Djian, dan Olich Solichin.
Kemenangan atlet bulu tangkis Indonesia di tingkat internasional diawali oleh keberhasilan Ferry Sonneville di ajang Malaysia Open (1955) dan Dutch Open (1956). Namun, pemercik api prestasi Indonesia di kancah bulu tangkis dunia terjadi saat tim Indonesia untuk pertama kalinya mengikuti ajang Piala Thomas 1958.
Tanpa didampingi pelatih dan dengan persiapan seadanya, tim Indonesia yang diwakili The Magnificent Seven bersama Thio Tju Djen dan Tan Thiam Beng sebagai pemain cadangan berhasil menundukkan Malaya dengan skor 5-1.
Kemenangan itu disambut meriah rakyat Indonesia. Rakyat sampai turun ke jalan untuk memberikan penghargaan kepada tim Indonesia yang diarak dalam pawai.

Para legenda bulu tangkis berswafoto bersama peserta Audisi Umum Beasiswa Bulu Tangkis 2019 di GOR Satria, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (8/9/2019). Audisi bulu tangkis dari PB Djarum ini dinilai penting mewadahi bakat anak-anak dan demi regenerasi atlet muda Indonesia.
Sambutan tersebut tidak berlebihan. Sebab, saat itu Indonesia sedang dilanda permasalahan politik dan ekonomi. Karena itu, keberhasilan tim Indonesia dalam Piala Thomas menjadi pelipur lara bagi masyarakat kala itu.
Serupa dengan situasi tersebut, kemenangan Greysia-Apriyani dan Anthony Ginting pun dalam Olimpiade Tokyo 2020 menjadi penghibur masyarakat Indonesia di masa pandemi ini. Meskipun tidak sampai turun ke jalan dan memberi sambutan langsung, kebanggaan yang dirasakan dan penghargaan yang diberikan tetap sama.
Baca juga: Tradisi Emas Bulu Tangkis Indonesia Dimulai sejak Olimpiade 1992
Selama lebih dari setengah abad itulah, bulu tangkis menjadi semacam identitas nasional bangsa Indonesia. Merujuk pada tulisan Jelena Dzankic, Wakil Direktur Global Citizenship Observatory, bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga, melainkan manifestasi budaya dan elemen nasional dari sekelompok masyarakat.
Di tingkat domestik, olahraga menciptakan rasa memiliki dalam komunitas negara. Di tingkat internasional, olahraga menjadi pembeda identitas negara, penguat kesatuan masyarakat melalui simbol-simbol negara dan bentuk kompromi atas situasi negara yang buruk.

Sepanjang masa
Kemenangan The Magnificent Seven membuka pintu berkembangnya bulu tangkis Indonesia. Meskipun sudah menjadi olahraga yang digemari sejak zaman Hindia Belanda, butuh sebuah kemenangan besar untuk mengakselerasi berkembangnya bulu tangkis di Indonesia.
Harian Kompas pada 1965 memberitakan, saat itu, PBSI mengeluarkan instruksi tentang gerakan memasyarakatkan bulu tangkis. Instruksi ini dikeluarkan melihat besarnya kecintaan masyarakat terhadap olahraga ini dan prestasi atlet-atlet yang terus dikenal mancanegara.
Baca juga: Ganda Putri Indonesia Bangun dari ”Tidur” Panjang
Dalam instruksi itu tertulis arahan untuk memperbanyak perkumpulan bulu tangkis, membuka kesempatan pemain bulu tangkis dalam setiap kejuaraan, memberikan asistensi dan pendidikan bulu tangkis, hingga menggunakan alat-alat buatan dalam negeri.
Kursus pelatihan untuk pelatih bulu tangkis juga disediakan. Indonesia bahkan menjalin kerja sama dengan negara-negara di Asia untuk mengirimkan pelatih bulu tangkis dalam misi meningkatkan mutu olahraga bulu tangkis (Kompas, 25/9/1965).

Kini upaya-upaya tersebut berbuah manis. Popularitas dan prestasi bulu tangkis Indonesia masih terjaga hingga saat ini. Dunia pun mengakui bahwa Indonesia adalah rumah bulu tangkis.
Bulu tangkis masih menjadi olahraga yang paling digemari masyarakat. Menurut survei Nielsen pada Mei 2020, setidaknya 71 persen responden menyatakan kesukaannya terhadap olahraga bulu tangkis.
Popularitas bulu tangkis juga menumbuhkan motivasi putra putri bangsa untuk berkarier secara profesional menjadi atlet badminton. Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) setidaknya mencatat terdapat 3.545 klub bulu tangkis di seluruh Indonesia. Pada 2015, data PBSI menyebutkan terdapat lebih dari 2.000 atlet bulu tangkis Indonesia.
Baca juga: Olimpiade Pertama Sekaligus Termanis untuk Apriyani Rahayu
Popularitas dan banyaknya prestasi Indonesia di cabang olahraga bulu tangkis ini kiranya menambah semangat jajaran pengurus, pemerhati, pelatih, dan atlet untuk tetap meningkatkan kualitas. Apalagi saat ini, persaingan semakin ketat.
Sebab, kejuaraan bulu tangkis dunia tidak lagi didominasi oleh negara-negara Asia, seperti Indonesia, China, Korea Selatan, dan Malaysia, saja. Negara-negara Barat, seperti Spanyol, Belanda, Denmark, Inggris, Swiss, dan Amerika Serikat, mulai menunjukkan prestasi-prestasinya. (LITBANG KOMPAS)
