Penanganan Pandemi Disambut Bendera Putih
Para pelaku usaha di berbagai daerah ramai mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah pada ketidakmenentuan pandemi.
Para pelaku usaha di berbagai daerah ramai mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah pada ketidakmenentuan pandemi. Aksi itu menjadi ungkapan kekecewaan terhadap penanganan Covid-19 yang belum berselaras pada hajat ekonomi masyarakat, sekalipun berbagai jaring pengaman sosial tak henti dikucurkan.
Selayaknya berada di medan perang, pertempuran melawan Covid-19 hingga saat ini masih berujung pada ketidakpastian. Krisis multidimensi pandemi telah banyak berimbas pahit pada dunia usaha yang digeluti masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di kelas menengah ke bawah.
Sejarah mencatat, pengibaran bendera putih sebagai tanda menyerah telah dilakukan sejak berabad silam di era kedinastian bangsa China pada 25 hingga 220 Sebelum Masehi. Sejumlah sejarawan juga mengungkapkan bahwa simbol itu juga telah ada sejak masa kerajaan Romawi 109 Sebelum Masehi.
Berbagai aksi pengibaran bendera putih oleh pemilik warung, pedagang kecil, hingga para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) patut disikapi sebagai kekalahan dan kekhawatiran mereka untuk mempertahankan sumber penghidupan.
Baca juga: Terpuruk akibat Pandemi, Pedagang Kaki Lima Malioboro Kibarkan Bendera Putih
Bagaimana tidak, lebih dari setahun berada dalam gempuran pandemi terus-menerus membuat segala amunisi untuk tetap menggulirkan usaha pada akhirnya juga harus habis.
Dalam seminggu terakhir, dalam masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), pengibaran bendera putih oleh para pelaku usaha menjadi kian masif di sejumlah daerah dan berhasil mencuri perhatian.
Tidak hanya menjadi sarana untuk menunjukkan rasa ketidakberdayaan, momentum pengibaran itu pun juga menjadi panggung kritik dan kekecewaan terhadap kebijakan penanganan pandemi oleh pemerintah.
Di awal pekan penutup Juli lalu, video pengibaran bendera putih di kawasan pasar terbesar Tanah Abang, Jakarta, beredar luas di media sosial dan menjadi perbincangan warganet. Banyak tanggapan yang muncul terkait dengan pasar dengan skala aktivitas hingga mancanegara itu pun harus kembali sepi akibat pembatasan darurat.
Hal serupa yang juga sempat beredar luas di kanal media sosial saat puluhan tiang berbendera putih memenuhi sisi jalan kawasan Malioboro, Yogyakarta. Bendera tersebut dikibarkan para PKL Malioboro yang lapaknya sepi dari kunjungan wisatawan. Namun, tak lama petugas datang dan membereskan tiang-tiang bendera tersebut dengan alasan mengganggu ketertiban.
Rentetan aksi pengibaran bendera putih oleh pelaku usaha kecil juga terjadi di beberapa destinasi wisata yang sepi pengunjung karena adanya PPKM, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tak hanya itu, kesulitan ternyata juga membelit para pengelola usaha dengan skala lebih besar. Di Bandung, gabungan pengusaha restoran dan kafe secara serentak melakukan pengibaran bendera putih sebagai wujud dari protes kebijakan pembatasan.
Sektor terdampak
Hasil survei dampak Covid-19 terhadap pelaku usaha yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun lalu mendapati bahwa sektor akomodasi dan makan minum menjadi yang paling terdampak Covid-19 dengan persentase mencapai 92,4 persen. Sektor usaha yang juga masuk dalam kategori paling terdampak adalah jasa lainnya (90,9 persen) dan transportasi pergudangan (90,3 persen).
Hal tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan konsumsi klien atau pelanggan yang juga terdampak kesulitan ekonomi akibat pandemi. Selain itu, survei juga merekam bahwa angka usaha menengah kecil maupun usaha menengah besar yang mengalami penurunan pendapatan cukup tinggi, berada pada besar persentase di atas 80 persen yang berarti mayoritas para pelaku usaha mengalami kerugian di masa pandemi.
Data-data hasil survei tersebut menjadi konfirmasi jujur atas realitas ketidakberdayaan pelaku usaha menghadapi situasi pandemi. Upaya penanganan yang dilakukan pemerintah untuk terus menyelaraskan gerak penyelematan kesehatan dan perekonomian sepertinya tak berdampak nyata.
Berbagai respons penolakan dari masyarakat dan pelaku usaha atas kebijakan pembatasan untuk menekan laju penyebaran terus diperdebatkan karena ketiadaan jaminan kesejahteraan yang mumpuni.
Hal ini juga menjadi bukti bahwa jaring pengaman sosial yang digencarkan lewat berbagai program bantuan belum berefek positif bagi sasaran penerimanya.
Jaring pengaman sosial yang digencarkan lewat berbagai program bantuan belum berefek positif bagi sasaran penerimanya.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dalam penjelasannya, selama pemberlakuan masa pembatasan, pemerintah terus berupaya memperbesar realisasi bantuan kepada masyarakat.
Setidaknya ada sepuluh program bantuan yang terus digencarkan, mulai dari Program Kartu Sembako, Kartu Sembako Baru, Bantuan Sosial Tunai, subsidi kuota internet, bantuan rekening minimum biaya abonemen, Kartu Prakerja, bantuan beras, serta bantuan produktif usaha mikro dan untuk warung atau PKL.
Kartu Sembako Baru, misalnya, merupakan perluasan program dari bantuan sembako sebelumnya. Pada periode ini tidak kurang dari 5,9 juta keluarga penerima manfaat baru yang didaftarkan asal usulan daerah menjadi target tambahan. Selain beras, pemerintah juga menambahkan uang tunai senilai Rp 200.000 selama enam bulan untuk penerima manfaat.
Dalam rangkaian program tersebut, bantuan sosial juga dikhususkan untuk menyasar penyelamatan para pelaku usaha. Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang menyasar pada 3 juta penerima baru hingga 1 juta bantuan dengan sasaran warung atau PKL untuk mendapat bantuan modal Rp 1,2 juta.
Pemerintah berharap para besaran bantuan dapat membantu para pelaku usaha kecil yang rentan untuk tetap dapat bertahan selama masa pembatasan.
Baca juga: Data Ganda Ganjal Distribusi Bantuan Sosial
Bantuan tak optimal
Terkait hal itu, hasil survei dampak Covid-19 pada pelaku usaha yang dilakukan BPS juga menangkap bentuk bantuan yang menjadi prioritas para pelaku usaha untuk dapat bertahan di masa pandemi.
Untuk usaha menengah kecil, bantuan yang paling krusial berupa modal usaha, keringanan tagihan listrik untuk usaha, dan relaksasi atau penundaan pembayaran pajak.
Sementara bagi pelaku usaha menengah besar, prioritas kelompok usaha ini lebih tertuju pada relaksasi dan penundaan pajak hingga keringanan tagihan listrik.
Berbagai dampak yang dikeluhkan oleh pelaku usaha ini juga telah ditangkap pemerintah dengan memberikan keringanan pajak lewat program insentif dan relaksasi pajak.
Dalam hal tagihan listrik pun pemerintah juga telah memberikan kebijakan diskon yang diperpanjang hingga akhir tahun ini untuk menyasar 1,4 juta pelanggan.
Rangkaian program bantuan dari pemerintah yang tersusun apik tersebut memang tak sepenuhnya menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat dalam menghadapi ketidakpastian pandemi.
Namun, adanya berbagai aksi protes terhadap kebijakan penanganan pandemi kembali memunculkan pertanyaan seberapa optimalkah realisasi program-program tersebut sampai kepada sasaran masyarakat yang diharapkan.
Lebih dari satu tahun program berjalan, berbagai persoalan klasik mengenai realisasi bantuan sosial memang masih menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial pun mengakui bahwa terdapat persoalan mendasar yang membuat pelaksanaan program bantuan dari pemerintah terhambat.
Kendala-kendala tersebut sebagaian besar memang bersifat teknis, tetapi sangat sulit untuk terselesaikan, seperti verifikasi dan integrasi pendataan yang buruk, penyesuaian program bantuan baru, sosialisasi yang tidak merata, hingga persoalan keterlambatan penyaluran bantuan.
Beberapa waktu lalu, Menteri Sosial Tri Rismaharini yang melakukan sidak kepada penerima bantuan sosial di sejumlah daerah memang menemukan adanya ketidakberesan proses penyaluran bantuan kepada masyarakat penerima.
Mirisnya, di sejumlah lokasi masih ditemukan penyaluran yang tidak sesuai ketentuan, mulai dari adanya pemotongan dari nilai yang harus diterima hingga proses penyaluran bantuan yang tidak langsung kepada masyarakat sasaran penerima.
Pada akhirnya, upaya menghadirkan jaring pengaman sosial kepada masyarakat akan sia-sia jika realisasi di lapangan masih jauh dari ketentuan. Dalam hal ini, kerja-kerja penanganan penyelamatan sosial ekonomi ini dapat berintegritas sehingga segala bentuk bantuan yang dialirkan dapat sampai kepada masyarakat membutuhkan.
Publik tentulah menaruh harapan besar pada kebijakan penanganan pandemi yang diambil oleh pemerintah tetap berorientasi pada kemaslahatan seluruh lapisan masyarakat. Terlebih jika masa pembatasan kegiatan yang berdampak pada penghentian kegiatan ekonomi masyarakat dapat ditindaklanjuti. Tentunya dengan cara yang solutif, termasuk dengan memastikan segala bentuk program dan bantuan pemerintah sampai kepada sasaran yang tepat.
Dengan demikian, optimisme masyarakat di tengah kegamangan situasi pandemi terus terpupuk dan merasa terjamin, tanpa lagi harus menyerah pada keadaan. (LITBANG KOMPAS)