Mengawasi Akses dan Penggunaan Obat bagi Pasien Covid-19
Akses obat untuk pasien Covid-19 harus dilakukan secara terukur dari sisi medis, khususnya untuk obat yang memiliki efek samping besar ke tubuh.
Penanganan kasus infeksi virus korona terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Selain menguatkan 3T (pengetesan, pelacakan, perawatan) serta vaksinasi, pemerintah perlu menjamin akses terapi pengobatan bagi pasien di rumah sakit atau yang sedang isolasi mandiri di rumah. Akses obat juga harus diawasi agar penggunaan obat sesuai kebutuhan.
Indonesia masih terus berjuang menghadapi wabah penyakit yang disebabkan virus korona tipe baru atau SARS-CoV-2. Hingga 30 Juli 2021, jumlah kasus positif Covid-19 mencapai 3,37 juta kasus. Wilayah Jawa masih menjadi episentrum penyebaran virus korona secara nasional.
Keberhasilan pengobatan penyakit yang disebabkan virus korona menjadi harapan bagi seluruh pasien di Indonesia, baik yang dirawat di rumah sakit maupun sedang isolasi mandiri. Data Satgas Penanganan Covid-19 menyebutkan, terdapat 2,64 juta orang dinyatakan sembuh dari positif korona. Jika dibandingkan data pasien sembuh tersebut dengan jumlah kasus terkonfirmasi, tingkat kesembuhan mencapai 80,24 persen.
Pada pekan keempat Juni 2021, publik sempat ramai dengan penggunaan obat untuk pasien Covid-19. Salah satu isu yang tiba-tiba menguat adalah pengobatan pasien Covid-19 menggunakan Ivermectin. Obat tersebut dinilai dapat mencegah dan mengobati Covid-19 dengan efikasi tinggi. BPOM menyebut bahwa Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan.
Terkait banyaknya orang yang menggunakan obat Ivermectin, BPOM kemudian memberikan peringatan bahwa obat tersebut termasuk kategori obat keras dengan efek samping. Ivermectin yang digunakan tanpa indikasi medis dan tanpa resep dokter dalam jangka waktu panjang mengakibatkan nyeri sendi, ruam kulit, demam, pusing, sembelit, diare, hingga sindrom Steven-Johnson.
Tak hanya Ivermectin, sejumlah obat lain juga mengalami lonjakan permintaan, seperti Azithromycin, Oseltamivir, Favipiravir, Actemra, dan Gamaras. Hal ini menimbulkan masalah kelangkaan obat terapi Covid-19 di sejumlah daerah. Kondisi tersebut adalah imbas lonjakan kasus positif di Indonesia sejak akhir Mei 2021.
Kemenkes RI mencatat ada lonjakan permintaan obat terapi hingga 12 kali lipat sehingga perlu peningkatan kapasitas produksi obat. Stok sejumlah obat masih terus dipantau, seperti Azithromycin tersisa 11,4 juta stok secara nasional, Favipiravir sebanyak 6 juta stok, serta Oseltamivir sebanyak 12 juta stok.
Tiga jenis obat tersebut dapat diproduksi di dalam negeri. Namun, ada jenis obat yang belum bisa diproduksi oleh Indonesia, yaitu Remdesivir, Actemra, dan Gamaras, sehingga sangat bergantung dari impor. Rencana impor ketiga obat tersebut adalah Remdesivir (1,2 juta stok), Actemra (138.000 stok), dan Gamaras (27.000 stok) pada Agustus 2021.
Catatan penting terkait isu kelangkaan obat terapi Covid-19 adalah seluruh jenis obat hanya boleh diberikan melalui resep dokter dan digunakan sesuai prosedur. Contohnya, obat Gamaras, Actemra, dan Remdesivir harus disuntikkan di rumah sakit. Artinya, peruntukan obat terapi hanya bagi pasien sehingga masyarakat dianjurkan untuk tidak membelinya sebagai stok di rumah.
Dalam perkembangannya, lima organisasi profesi, yaitu Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia, menyatakan bahwa terapi obat Azithromycin dan Oseltamivir tidak lagi digunakan.
Pertimbangan perubahan jenis obat terapi yang dipakai didasarkan pada perkembangan riset dan rekomendasi organisasi dunia, seperti WHO dan FDA. Sebagai pertimbangan jenis pengobatan pasien Covid-19, WHO mengeluarkan dokumen Therapeutics and Covid-19 tanggal 6 Juli 2021. Dokumen tersebut membahas tentang penilaian efikasi beberapa pengobatan dengan membandingkan pasien yang mendapat perawatan standar dengan pasien yang mendapatkan jenis obat tertentu.
Total ada enam jenis pengobatan, yaitu IL-6 Receptor Blockers, Ivermectin, Hidroksiklorokuin, Lopinavir/Ritonavir, Remdesivir, dan Systemic Corticosteroids. Pemantauan yang dilakukan meliputi tingkat kematian atau mortalitas, pemberian ventilator, efek samping, infeksi bakteri, durasi ventilator, dan durasi perawatan intensif di rumah sakit.
Setiap jenis pengobatan memiliki respons yang berbeda-beda terhadap tubuh pasien. Beberapa menunjukkan hasil positif terhadap kondisi pasien yang terinfeksi virus korona, demikian sebaliknya. Namun, ada obat yang hasilnya sangat meragukan, apakah bermanfaat bagi tubuh pasien atau tidak.
Jenis pengobatan
Dalam dokumen Therapeutics and Covid-19: living guideline dari WHO, enam jenis obat dibahas dengan lengkap, melingkupi respons medis terhadap tubuh dan perawatan di rumah sakit. Obat pertama adalah IL-6 Receptor Blockers, di mana tingkat kematian pasien dengan terapi obat ini jauh lebih rendah dibandingkan perawatan standar, termasuk mengurangi potensi penggunaan ventilator.
Berbeda dengan IL-6, obat Ivermectin memiliki ketidakpastian yang besar terhadap pengaruhnya mengurangi tingkat kematian, penggunaan ventilator, hingga durasi perawatan dan waktu yang dibutuhkan untuk membersihkan virus di dalam tubuh. Ada catatan efek samping yang cukup berisiko dari WHO terkait penggunaan Ivermectin.
Baca juga: Di Balik Melonjaknya Harga Obat dan Oksigen
Obat berikutnya adalah Hidroksiklorokuin. Obat ini terbukti tidak mampu mengurangi tingkat kematian dan perburukan penggunaan ventilator pasien. Efek samping terberatnya adalah terjadi diare, mual, dan muntah. Parameter lain secara medis juga menunjukkan kadar ketidakpastian sangat besar terhadap obat ini. Melihat efek sampingnya, WHO belum merekomendasikan Hidroksiklorokuin untuk dipakai sebagai pengobatan Covid-19.
Selain tiga obat tersebut, ada jenis obat Lopinavir atau Ritonavir yang dinilai tidak memiliki pengaruh apapun terhadap pengurangan tingkat kematian pasien dan penggunaan ventilator. Hampir serupa dengan Hidroksiklorokuin, obat ini memiliki banyak ketidakpastian dalam pengobatan pasien.
Obat lainnya adalah Remdesivir, yaitu jenis obat yang tidak memiliki efek terhadap tingkat kematian, penggunaan ventilator, durasi perawatan intensif, dan elimininasi virus di dalam tubuh. Bahkan, Remdesivir berpotensi mengakibatkan kerusakan pada ginjal pasien.
Jenis terapi obat terakhir adalah systemic corticosteroids atau obat yang mengandung hormon steroid. Obat tersebut dibutuhkan tubuh untuk meredakan peradangan dan menekan kerja sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.
Pantauan WHO menunjukkan bahwa obat ini mampu menekan tingkat kematian dan penggunaan ventilator bagi pasien, serta tidak mengakibatkan perburukan fungsi organ tubuh lainnya.
Melihat catatan karakter obat, efikasi, dan respon tubuh terhadap obat-obat tersebut, ragam jenis pengobatan bagi pasien Covid-19 perlu mendapat pemantauan khusus dari tenaga kesehatan. Pemantauan ini perlu dilakukan mengingat tidak semua masyarakat memiliki pemahaman terhadap kondisi medis di dalam tubuh manusia atau pasien. Apalagi efek samping obat cukup berat bagi organ tubuh apabila digunakan secara sembarangan.
Layanan telemedik
Masyarakat yang membutuhkan pengobatan medis terkait pengobatan Covid-19 perlu mendapatkan arahan jelas. Keterbatasan akses ke fasilitas layanan kesehatan dan jumlah tenaga medis membuat masyarakat makin sulit mendapatkan pengobatan yang layak. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah menyediakan layanan kesehatan jarak jauh atau telemedik.
Untuk mengatasi kendala layanan kesehatan di masa pandemi, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan 11 platform layanan telemedicine untuk memantau pasien isolasi mandiri. Tujuannya agar pasien dapat berkonsultasi dan dipantau oleh tenaga kesehatan, serta mendapatkan pengobatan yang tepat sesuai gejala.
Dari sisi pemeriksaan kesehatan sudah ada 743 laboratorium pemeriksaan PCR yang terkoneksi dengan Kementerian Kesehatan. Apabila ditemukan pasien positif Covid-19, data pasien terdeteksi dan dapat dikirimkan pesan Whatsapp untuk konsultasi daring dan obat gratis. Pemantauan dilakukan selama 14 hari masa isolasi mandiri.
Setidaknya ada dua paket obat yang disediakan dalam konsultasi daring ini, yaitu paket orang tanpa gejala, meliputi obat multivitamin C, D, E, dan Zinc dengan jumlah 10 buah. Paket berikutnya untuk pasien bergejala ringan, yaitu multivitamin C, D, E, dan Zinc (10 buah), paracetamol (10 buah), dan obat lain. Layanan telemedicine gratis ini didukung oleh 11 platform, yaitu Alodokter, Getwell, Good Doctor, Halodoc, Klikdokter, Klinikgo, Link Sehat, Milvik Dokter, Prosehat, Sehatq, dan Yesdok.
Di masa pandemi Covid-19, obat menjadi piranti penting dalam skema pencegahan dan perawatan pasien korona di Indonesia. Warga masyarakat rela antre untuk membeli vitamin dan obat, seperti yang terjadi di Tangerang Selatan. Obat demam, seperti paracetamol hingga obat keras seperti Ivermectin, makin dicari masyarakat di masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Invermectin, Obat Kontroversi yang Masih Diuji
Fenomena ini di satu sisi menandakan kewaspadaan masyarakat dalam menghadapi paparan virus korona. Namun, di sisi lain muncul kewaspadaan lain yang harus dicermati dari pembelian obat-obatan ini, yaitu bahaya konsumsi obat mandiri.
Konsumsi obat tanpa pantauan tenaga medis dapat membahayakan tubuh pasien, apalagi bagi pasien isolasi mandiri. Akses obat untuk pasien Covid-19 harus dilakukan secara terukur dari sisi medis, khususnya untuk obat yang memiliki efek samping besar ke tubuh. Edukasi menyeluruh ke masyarakat tentang standar pengobatan, konsumsi obat, dan efek samping dapat terus ditingkatkan pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Plasma Konvalesen dan Harapan Kesembuhan Pasien Covid-19