Informasi yang Terintegrasi soal Vaksinasi Menjadi Kunci
Program vaksinasi Covid-19 belum merata. Keengganan menerima vaksin masih terpotret di tengah tingginya angka penularan saat ini. Informasi yang belum jelas dan terintegrasi menjadi salah satu faktor yang memengaruhi.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
Jajak pendapat Kompas yang dilaksanakan pada akhir Juli lalu merekam bagaimana tingkat partisipasi responden terhadap program vaksinasi. Hasilnya memang belum menunjukkan angka optimal. Tercatat hanya 45,5 persen responden yang mengaku sudah divaksin. Sisanya, sebagian besar menyatakan belum mengikuti vaksinasi dan sebagian kecil lainnya menyatakan menolak untuk divaksin.
Tingkat partisipasi responden ini bisa dibandingkan dengan data riil nasional jumlah penduduk yang sudah divaksin. Dalam data Kementerian Kesehatan per 30 Juli 2021 tercatat ada 46,8 juta warga yang sudah mengikuti program vaksinasi atau sekitar 22,47 persen dari target 208 juta warga yang harus divaksin. Jika mengacu target tersebut, memang angka ini masih jauh tertinggal, apalagi jika melihat warga yang sudah mengikuti vaksin dosis kedua baru 9,67 persen.
Jajak pendapat juga menangkap kecenderungan partisipasi program vaksinasi yang lebih banyak diikuti oleh kelompok responden dengan ketegori ekonomi menengah atas dibandingkan dengan mereka yang berada di kelompok ekonomi bawah. Pada kelompok responden ekonomi bawah tercatat 40,4 persen menyatakan sudah divaksin, sementara proporsi yang sudah menerima vaksin di kelompok ekonomi atas lebih tinggi, yakni 55,3 persen.
Kesenjangan yang sama juga terlihat jika menilik latar belakang pendidikan. Dari kelompok responden berpendidikan rendah, baru 35,1 persen yang mengaku sudah divaksin. Adapun dari kelompok berpendidikan atas sudah mencapai 71,2 persen. Data ini menunjukkan kecenderungan kurang meratanya penerimaan vaksin di setiap lapisan masyarakat. Mereka yang kemampuan ekonomi dan pendidikannya rendah belum mendapatkan kesempatan memperoleh vaksin sebesar lapisan masyarakat kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi.
Pemberitaan koran ini juga menyebutkan bahwa terjadinya ketimpangan vaksin menjadi sorotan dalam laporan situasi Covid-19 di Indonesia oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pemberian vaksin untuk tenaga kesehatan (nakes) misalnya, ada sekitar 20 persen nakes di Papua belum mendapatkan vaksin. Hal yang sama juga terjadi di Maluku, Gorontalo, dan Sulawesi Utara yang 10-15 persen nakes di wilayah tersebut belum divaksin.
Padahal, jika kita mengacu perjalanan vaksinasi, program ini sudah bergulir hampir tujuh bulan sejak suntikan pertama diberikan kepada Presiden Joko Widodo pada 13 Januari 2021. Kategori penerima vaksin pun sudah diperluas hingga masyarakat umum sejak 1 Juli lalu.
Menolak vaksin
Merujuk target pemerintah untuk menyelesaikan vaksinasi pada akhir 2021, upaya percepatan menjadi sebuah keniscayaan. Sayangnya, hal ini masih harus dihadapkan pada sikap sebagian masyarakat yang cenderung menolak vaksin. Jajak pendapat ini mencatat, ada 15 persen responden yang masuk kategori tidak mau mengikuti program vaksinasi ini.
Adanya penolakan sebagian responden ini adalah cerminan dari sikap yang juga ditemui di sebagian kalangan masyarakat kita hari ini. Padahal, saat jajak pendapat ini dilakukan, kasus Covid-19 sedang berada di gelombang puncak penularan dalam enam bulan terakhir. Salah satu alasan yang paling banyak disebutkan oleh mereka yang menolak vaksin adalah ketidakyakinan terhadap efektivitas vaksin untuk menekan dampak yang ditimbulkan dari Covid-19.
Keraguan ini bukan tak beralasan. Salah satunya terkait proses vaksinasi yang dilakukan di tengah proses penelitian yang terus berjalan terhadap vaksin itu sendiri. Sebut saja kasus vaksin Sinovac. Kajian awal efektifitas vaksin Sinovac mengindikasi adanya penurunan antibodi enam bulan setelah pemberian dosis kedua. Selain pentingnya mempersiapkan suntikan ketiga, temuan ini menekankan pentingnya monitoring penularan dan keparahan Covid-19 setelah vaksinasi (Kompas, 29/7/2021).
Selain efektivitas vaksin, sebagian responden yang menolak vaksin cenderung memiliki alasan personal, dari mengaku memiliki penyakit bawaan yang takut efek samping akibat vaksin sampai alasan terkait kehalalan vaksin. Meskipun Majelis Ulama Indonesia sudah menyatakan vaksin Covid-19 halal dan suci, hal itu tampaknya belum efektif mengubah pandangan sebagian kecil masyarakat. Sulit dimungkiri, masih ada warga yang tidak percaya dan bahkan menyangkal keberadaan penyakit Covid-19.
Masih adanya pandangan sebagian orang yang melihat Covid-19 bukan sesuatu yang nyata tidak lepas dari banyaknya disinformasi dan hoaks terkait pandemi Covid-19. Berdasarkan data periode 11 Juli 2021 dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada 1.807 persebaran konten hoaks terkait Covid-19, terutama soal vaksin.
Hal ini juga terkonfirmasi dari hasil jajak pendapat Kompas yang menangkap adanya kendala-kendala yang dihadapi masyarakat yang belum divaksin Covid-19. Secara umum, aspek informasi memegang peran penting dalam meningkatkan kontribusi masyarakat menyukseskan program vaksinasi nasional. Aspek informasi yang kurang diperhatikan ini berpotensi menimbulkan efek berjaring.
Sebanyak satu dari empat responden dari kelompok yang belum menerima vaksin menyebutkan, absennya informasi dan sosialisasi dari gugus penanganan Covid-19 setempat sebagai kendala belum mengikuti program vaksinasi. Hal ini kemudian berpengaruh pada sebagian responden yang mengaku belum mendaftarkan diri untuk ikut vaksinasi karena kondisi kesehatan yang tidak memenuhi syarat. Padahal, mereka juga belum memahami soal pengetahuan syarat kesehatan untuk menerima vaksin.
Ketidaktahuan soal syarat menerima vaksin ini juga menjadi problem informasi yang kurang terserap dengan baik oleh publik. Terkait hal ini, laman Kementerian Kesehatan sendiri belum memperbarui informasi terkait syarat penerima vaksin. Misalnya saja, masih tercantum masyarakat berusia di bawah 18 tahun dan penyintas Covid-19 yang belum boleh menerima vaksin. Padahal, di sisi lain, kampanye vaksin aman untuk anak usia 12 tahun ke atas sudah digaungkan ke publik sejak beberapa bulan lalu.
Pembaruan informasi dan kesatuan sumber informasi yang jelas perlu mendapatkan perhatian. Boleh jadi, upaya ini dapat menjawab keraguan masyarakat untuk mengikuti program vaksin. Dengan sumber informasi yang jelas dan terintegrasi, terutama dari gugus tugas, tentu akan membantu meyakinkan publik terhadap program vaksinasi.
Pada akhirnya, kampanye vaksinasi harus dibarengi dengan edukasi soal vaksin demi meluruskan penyebaran informasi yang tidak tepat dan membingungkan masyarakat.