Jatuh Bangun Puskesmas Menangani Pandemi Covid-19
Besarnya peranan puskesmas di masa pandemi Covid-19 perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan sumber daya puskesmas.

Suasana pemberian dosis kedua vaksin Covid-19 di Puskesmas Sanggeng, Distrik Manokwari Barat, Manokwari, Papua Barat, Selasa (20/4/2021). Puskesmas Sanggeng melayani vaksinasi Covid-19 kepada warga lansia dan petugas pelayanan publik.
Bertambahnya beban dan tanggung jawab puskesmas selama pandemi membuat layanan kesehatan ini kewalahan. Meningkatkan kapasitas dan sumberdaya puskesmas sebagai garda terdepan penanganan wabah penyakit dibutuhkan dalam masa pandemi maupun untuk jangka panjang.
Meskipun sudah memasuki minggu keempat PPKM darurat atau PPKM level 4, kasus Covid-19 belum juga mereda. Pada 30 Juli 2021, penambahan kasus harian Covid-19 bertambah 41.168 kasus. Dengan penambahan tersebut, total akumulasi kasus Covid-19 mencapai 3,37 juta dengan jumlah pasien dirawat 549.343 orang.
Tingginya kasus Covid-19 aktif menyebabkan rasio keterisian tempat tidur (BOR) khusus Covid-19 masih di atas standar WHO, yaitu 60 persen. Per 28 Juli 2021, hanya 13 daerah dari 34 provinisi yang memiliki BOR di bawah 60 persen.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah rumah sakit kewalahan menerima banyaknya pasien Covid-19. Pada awal-awal lonjakan kasus, pasien bahkan harus mengantre untuk mendapatkan perawatan. Bagi yang beruntung, pasien tertangani. Namun, ada pula yang tidak tertolong.

Tim relawan pelacak kontak pasien Covid-19 dari Puskesmas Pademangan, Jakarta Utara, menelusuri alamat warga yang terkonfirmasi positif Covid-19 di kawasan Pademangan Timur, Jakarta Utara, Kamis (18/3/2021). Penelusuran riwayat kontak erat pasien yang telah terkonfirmasi positif untuk memutus mata rantai penularan Covid-19.
Situasi yang sama juga terjadi di puskesmas sebagai fasilitas layanan kesehatan terdekat dengan masyarakat. Puskesmas menjadi garda terdepan dalam penanganan Covid-19 di suatu wilayah. Puskesmas bertugas untuk menemukan kasus Covid-19, melakukan pelacakan, memantau pasien, mengedukasi pencegahan dan penanganan Covid-19, serta melakukan vaksinasi bagi masyarakat.
Terlebih lagi, pada lonjakan kasus Covid-19 seperti saat ini, tugas layanan puskesmas ikut bertambah. Penuhnya rumah sakit rujukan Covid-19 menyebabkan banyak pasien Covid-19 yang tidak bergejala atau bergejala ringan disarankan untuk isolasi mandiri.
Puskesmas sebagai Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bertugas memantau kondisi pasien Covid-19 selama isolasi mandiri. Jika memiliki pasien bergejala berat, tim dari puskesmas mencarikan rujukan ke rumah sakit atau tempat perawatan Covid-19 lainnya.
Belum ada data pasti berapa jumlah pasien yang melakukan isolasi mandiri di Indonesia. Namun, menurut WHO, persentase pasien Covid-19 bergejala ringan mencapai 40 persen. Jika melihat lonjakan kasus di Indonesia seperti saat ini bisa jadi jumlahnya bertambah.

Beban saat pandemi
Situasi ini membuat petugas kesehatan puskesmas kewalahan. Beban bertambah jika pada suatu wilayah kedapatan kasus Covid-19 yang menumpuk. Pada situasi tersebut, petugas kesehatan puskesmaspun harus memantau setiap saat sejumlah pasien pada beberapa kelurahan.
Beban berat juga harus dihadapi lantaran tingginya risiko terpapar Covid-19 di tempat bertugas. Di Blitar, Jawa Timur, belasan puskesmas bahkan sempat tutup sementara secara bergantian karena puluhan tenaga kesehatan terpapar Covid-19. Para nakes kelelahan sehingga daya tahan tubuh lemah dan menjadi mudah terinfeksi Covid-19.
Kapasitas sumber daya puskesmas yang terbatas menambah tantangan petugas dan nakes yang bertugas selama pandemi Covid-19. Hal ini tergambarkan dalam survei yang dilakukan lembaga Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) bersama Kawal Covid19 dan Cek Diri pada 14 Agustus sampai 7 September 2020.
Pada enam bulan setelah Covid-19 masuk di Indonesia, masih banyak puskesmas yang belum siap melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi Covid-19. Sebanyak 45,4 persen puskesmas yang menjadi responden belum mendapatkan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi.
Alat pelindung diri (APD) untuk menangani pasien dengan gejala Covid-19 juga masih terbatas. Fasilitas untuk cuci tangan belum tersedia sepenuhnya di sejumlah puskesmas.

Pedagang Pasar Langon, Kota Tegal, Jawa Tengah, antre masuk ke mobil puskesmas keliling seusai divaksin di Puskesmas Slerok, Kecamatan Tegal Timur (25/3/2021). Sebagian besar pedagang Pasar Langon sempat menolak divaksin akibat terpengaruh dengan adanya hoaks tentang keamanan dan kehalalan vaksin. Setelah dibujuk petugas puskesmas, para pedagang akhirnya bersedia divaksin.
Kesiapan puskesmas dalam menangani pandemi juga diuji saat program vaksinasi dimulai. Hasil survei CISDI pada 1 Februari-15 Maret 2021 juga menyoroti kurangnya kesiapan puskesmas untuk melayani vaksinasi.
Masih terdapat 8,7 persen puskesmas responden yang melaksanakan vaksinasi hanya dengan 1-3 orang vaksinator. Itupun tidak semua tenaga vaksinasi teah mendapat pelatihan terlebih dahulu. Mayoritas puskemas (47,3 persen) menyatakan hanya sebagian tenaga vaksinasi yang telah mendapat pelatihan.
Baca juga: 17 Puskesmas Siaga Covid-19 di Pedalaman Asmat
Dengan kondisi ini, daya tahan puskesmas mengalami guncangan hebat saat menghadapi pandemi yang tak kunjung selesai. Sarana dan prasarana yang tidak seberapa dan kurangnya petugas serta tenaga kesehatan untuk melayani layanan Covid-19 dan non-Covid-19 berpotensi membuat kinerja puskesmas kurang optimal.
Di sisi lain, prioritas penanganan Covid-19 juga menyebabkan sejumlah layanan kesehatan lain di puskesmas terkendala. Sejumlah perubahan jam operasional dan layanan kesehatan harus disesuaikan dengan kondisi puskesmas.

Peningkatan sumber daya
Keterbatasan sumber daya di puskesmas bukan hanya terjadi saat pandemi saja. Permasalahan ini telah menjadi perhatian sejak konsep puskesmas dicetuskan pada 1969. Selama satu dekade awal pengembangan puskesmas di seluruh Indonesia, salah satu permasalahan yang paling tampak adalah minimnya dokter.
Hingga saat ini, permasalahan yang sama masih terjadi. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2019, sebanyak 19,97 persen puskesmas di Indonesia masih kekurangan dokter. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014, idealnya satu puskesmas non rawat inap memiliki satu orang dokter dan satu puskesmas rawat inap memiliki dua orang dokter.
Belasan puskesmas bahkan sempat tutup sementara secara bergantian karena puluhan tenaga kesehatan terpapar Covid-19
Akan tetapi, masih terdapat 1.513 puskesmas yang sama sekali tidak memiliki dokter. Kondisi ini banyak terjadi di Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Dari sisi kelengkapan tenaga kesehatan, tercatat hanya 2.319 puskesmas (23 persen) yang memiliki sembilan jenis tenaga kesehatan sesuai standar. Sembilan jenis tenaga kesehatan tersebut adalah dokter umum, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga farmasi, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, tenaga gizi dan ahli teknologi laboratorium medik (ATLM).
Kekurangan tenaga kesehatan di puskesmas saat ini dapat dipahami karena meningkatnya jumlah puskesmas setiap tahunnya. Setidaknya pada periode 2015-2019, dibangun rata-rata 70 puskesmas per tahun. Hingga 2019, terdapat 10.134 puskesmas di seluruh Indonesia. Dengan jumlah tersebut, rasio ideal satu kecamatan satu puskesmas telah terpenuhi.

Namun, capaian tersebut tidak menjamin pemerataan dan tersedianya sumber daya memadai di puskesmas. Jika dilihat sebarannya, masih ada daerah yang memiliki kurang dari satu puskesmas per kecamatan.
Hal ini ditunjukkan dari rasio puskesmas per kecamatan di Papua Barat, yaitu 0,28. Artinya di daerah ini belum semua kecamatan memiliki puskesmas.
Padahal, sudah setengah abad puskesmas hadir melayani masyarakat. Memang pada awal dicetuskan, pembangunan puskesmas dilakukan secara masif oleh pemerintah melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Saat itu, puskesmas dibangun lengkap dengan perumahan dokter dan paramedis serta obat-obatan dan peratanan sederhana di setiap kecamatan.
Sejak Repelita I, setiap tahunnya dibangun 100-200 puskesmas, 1.000-2.000 puskesmas pembantu dan 300-500 puskesmas keliling sehingga dalam kurun periode Repelita I (1969/1970) hingga Repelita IV (1983/1984) telah terbangun total 5.353 puskesmas, 13.636 puskesmas pembantu, dan 2.479 puskesmas keliling.

Suasana sepi terlihat di Puskesmas Kambaniru, Sumba Timur, NTT (24/1/2021). Puskesmas tersebut ditutup selama satu pekan karena tiga tenaga kesehatan di puskesmas itu terpapar Covid-19.
Kehadiran puskesmas saat itu sangat dirasakan masyarakat. Sejumlah wabah penyakit seperti radang mata, kusta, dan campak berhasil ditangani oleh puskesmas. Layanan lain seperti pemeriksaan jamaah haji, pemeriksaan dan pemantauan kesehatan ibu-anak hingga bimbingan usaha kesehatan sekolah juga dihadirkan di puskesmas.
Kini puskesmas menjadi garda terdepan penanganan pandemi. Kecepatan dan keseriusan pelacakan, pemantauan, pengobatan kasus Covid-19 hingga vaksinasi bergantung pada pelayanan petugas dan tenaga kesehatan puskesmas.
Besarnya peranan puskesmas di masa normal dan pandemi perlu diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan sumber daya puskesmas. Penambahan tenaga kesehatan, obat-obatan, dan prasarana kesehatan lainnya sangat dibutuhkan khususnya di masa pandemi.
Baca juga: Sinyal Bahaya Kematian di Layanan Primer
Puskesmas dan fasilitas layanan kesehatan dasar lainnya juga perlu diprioritaskan agar pelayanan kesehatan di setiap kecamatan bahkan desa atau kelurahan dapat berjalan lebih optimal. Hal ini akan bermanfaat untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penanganan wabah penyakit yang mungkin terjadi di masa depan.
Secara khusus di masa pandemi, keberhasilan puskesmas dalam menangani pandemi di suatu wilayah juga bergantung pada partisipasi masyarakat. Peran Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di setiap desa atau kelurahan dan kepatuhan masyarakat untuk mengikuti panduan penanganan Covid-19 sangat dibutuhkan untuk mengurangi beban puskesmas. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rumah Sakit Penuh, Puskesmas Disiagakan