Dua Milenium Mengawal Sportivitas Olimpiade dari Kecurangan dan Doping
Sejak zaman Olimpiade Kuno, perilaku kecurangan manusia dalam berkompetisi selalu berupaya lebih cerdik dan lebih lihai. Namun, nilai kejujuran tetap harus diperjuangkan untuk menjaga marwah sportivitas olimpiade.
Perhelatan Olimpiade merupakan panggung tertinggi olahraga dunia. Keberhasilan atlet meraih medali Olimpiade menjadi pertaruhan pamor sebuah bangsa. Namun, tidak jarang jalan pintas dan kecurangan dilakukan. Penanganan problem sportifitas dan fair play terus dilakukan sejak Olimpiade Kuno hingga era Olimpiade Modern saat ini.
Mewujudkan sportivitas merupakan tantangan dalam ajang olahraga dunia. Sportivitas dapat terwujud jika setiap peserta berjiwa ksatria, mau mengakui keunggulan atlet lain yang meraih kemenangan. Selain itu, dalam olahraga juga menuntut kejujuran dari pihak-pihak yang terlibat baik itu pemain, penyelenggara, pelatih, tim official, serta negara peserta.
Salah satu bentuk kecurangan dalam ajang olahraga adalah penggunaan obat peningkat stamina. Di luar penggunaan doping, ragam kecurangan yang pernah terjadi seputar olahraga adalah pengaturan skor pertandingan, teror supporter, membuat pemain lawan cedera, serta intimidasi pelatih saat pertandingan.
Khusus penggunaan obat peningkat daya oleh atlet menjadi tantangan besar dalam olahraga. Temuan jumlah atlet yang melanggar aturan doping selalu ada setiap tahun. Badan Antidoping Dunia (WADA) mencatat dalam kurun waktu 2013-2018, rata-rata pelanggaran aturan doping mencapai 1.811 kasus per tahun.
Pelanggaran aturan doping tersebut salah satunya dipicu oleh kurang pahamnya atlet terhadap berbagai jenis obat-obat yang dilarang dalam olahraga. Kurang pedulinya atlet mengenai zat-zat terlarang ini menjadi celah masuknya doping. Doping bisa masuk tanpa sengaja dikonsumsi lewat makanan atau minuman.
Namun, di luar faktor ketidaksengajaan, kekhawatiran lain penyalahgunaan obat peningkat tenaga tersebut adalah untuk meraih medali juara. Gelar juara dan serangkaian hadiah yang menanti pemenang baik di dalam arena maupun di luar arena menjadi daya tarik dan motivasi untuk berjuang habis-habisan di ajang olahraga termasuk olimpade.
Nilai hadiah yang didapat memunculkan godaan untuk melakukan tindak kecurangan. Nigel B. Crowther, mantan Direktur International Centre for Olympic Studies di Western University, Kanada mencatat beragam bentuk kecurangan yang dilakukan sejak pada masa Olimpiade Kuno.
Dilihat dari aspek sejarah, perhelatan olimpiade dibedakan menjadi dua masa, yaitu Ancient Games yang dilakukan pada masa kejayaan Yunani yaitu sejak 776 sebelum masehi (SM) hingga 394 Masehi. Berselang 15 abad kemudian kompetisi olimpiade dimunculkan kembali oleh Pierre de Coubertin melalui format Modern Games pada 1896.
Sejarah kecurangan
Pada era Ancient Games setiap jenis kompetisi selalu terdapat tarik menarik antara capaian dan upaya yang dicurahkan. Ajang perlombaan olahraga yang mengandalkan otot dan ketrampilan manusia merupakan konsep yang sudah berusia ribuan tahun.
Setiap atlet, ayah atlet, dan pelatihnya sebelum mengikuti pertandingan diambil sumpah untuk tidak menodai pertandingan dengan kecurangan. Namun beberapa pihak tidak menganggap sumpah ini sebagai hal yang serius dan kemudian melanggarnya.
Pernah terjadi kasus penyuapan dalam pertandingan tinju pada olimpiade 388 SM. Seorang peserta membayar tiga lawannya untuk sengaja kalah dalam pertandingan. Setelah kasus ini terungkap, empat atlet yang terlibat dijatuhi hukuman.
Kecurangan juga dilakukan dengan cara menyuap atau “membeli” atlet unggulan atau mantan pemenang untuk berpindah dari kota asal ke kota lain untuk membela kota yang membayarnya. Trik serupa naturalisasi ini melanggar aturan yang telah disepakati.
Satu lagi ragam akal cerdik yang dilakukan yaitu memanfaatkan semacam peningkat performa atau doping. Jenis doping yang dikonsumsi antara lain memakan jantung atau testis hewan tertentu. Masyarakat kala itu sudah menyadari bahwa hormon testosteron mampu meningkatkan kemampuan fisik.
Ada juga doping dengan memakan roti yang diisi opium, atau mengonsumsi minuman beralkohol. Beberapa doping yang kala itu dianggap wajar seperti mengonsumsi madu masih dianggap wajar.
Bentuk hukuman yang diberikan cukup beragam, mulai dari diskualifikasi hingga dipermalukan di muka publik. Cara ini terbilang unik, yaitu dengan membuatkan patung atlet yang curang dan biaya pembuatan patung ditanggung oleh terdakwa. Terdapat tempat khusus yang diberi nama Hall of Shame di Kota Olympiad, Yunani untuk meletakkan patung-patung atlet yang menciderai sportivitas pertandingan.
Walau sudah ada ketentuan yang berlaku, tindak penegakkan hukum masih dapat ditawar. Menurut catatan Crowther, seorang ayah dari pegulat yang bernama Polyktor berupaya menyuap pihak lawan supaya mengalah. Hakim pertandingan mengetahui hal tersebut, namun yang dihukum adalah si ayah dan Polyktor tetap boleh bertanding.
Tingkat tinggi
Corak kecurangan di era olimpiade modern sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan dua milenium yang lalu. Perbedaannya ada pada teknologi yang digunakan semakin canggih dan bertujuan menyulitkan deteksi dan penyelidikannya.
Kecurangan sistemik dan masif yang dilakukan dalam perhelatan olimpiade terjadi pada kasus doping Rusia kepada para atletnya. Peristiwa ini terungkap pasca Olimpiade Musim Dingin 2014 di Sochi, Rusia.
Mantan kepala laboratorium antidoping Rusia, Grigory Rodchenkov membeberkan kasus ini kepada The New York Times pada Mei 2016. Program doping yang disinyalir melibatkan juga Badan Anti-Doping Rusia (RUSADA).
Rodchenkov mengaku bahwa dia dan timnya menukar urine tim Rusia yang mengandung zat doping dengan urine bersih. Rodchenkov menukar urine setiap dini hari ketika petugas laboratorium dari negara lain tidak berada di gedung.
Buntut dari laporan Rodchenkov, Komite Internasional Olimpiade (IOC) melakukan pemeriksaan terhadap sampel urine peserta Olimpiade Beijing 2008. Hasilnya, ditemukan 31 atlet dari 12 negara pada enam cabang olahraga positif menggunakan doping.
Skandal ini sempat menempatkan dunia olahraga dalam isu ketidakpercayaan pada titik rendah. Terungkapnya skandal ini bahkan lebih besar dari pada pengakuan penggunaan doping oleh Lance Armstrong pada 2012 lalu. Armstrong merupakan atlet balap sepeda yang menyandang tujuh kali gelar juara Tour de France.
Kasus doping Rusia membuka mata dunia bahwa lembaga antidoping justru dapat dimanfaatkan untuk melancarkan tindak kecurangan demi meraih hasil gemilang di ajang olimpiade. Akibatnya, negara Rusia dijatuhi sanksi pelarangan penggunaan nama Rusia, bendera, dan lagu kebangsaan selama dua tahun. Sanksi yang diumumkan 19 Februari 2021 tersebut diberlakukan pada Olimpiade Musim Panas Tokyo 2020 dan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Menutup celah
Skandal doping Rusia mendesak regulator olahraga dunia untuk segera mengantisipasi kemungkinan kebocoran yang dimanfaatkan untuk mencurangi sistem antidoping dan pengawasannya. IOC bersama Badan Antidoping Dunia melakukan peneyelidikan terhadap sampel urine peserta Olimpiade Beijing 2008, London 2012, Rio 2016, dan juga termasuk Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014.
Belajar dari kasus tersebut, pemantauan dan pemeriksaan doping tidak hanya dilakukan sebelum dan saat kompetisi berlangsung. Namun juga disiapkan skenario untuk penelitian ulang sampel urine di masa mendatang.
Antisipasi sudah dilakukan jauh hari sebelum Olimpiade Tokyo 2020 dilaksanakan. Kali ini pihak yang melakukan tes adalah lembaga independen International Testing Agency (ITA). Penunjukan ITA oleh IOC bertujuan menyediakan fasilitas pemeriksaan dan penyimpanan sampel urine yang dapat dianalisis ulang selama sepuluh tahun ke depan.
Pemeriksaan urine dilakukan secara menyeluruh selama periode 13 Juli hingga 8 Agustus 2021. Dimana rentang waktu 23 Juli hingga 8 Agustus pengetesan dilakukan selama kompetisi berlangsung.
Baca juga: Kasus Iannone Picu FIM Perketat Antidoping
Penyerahan wewenang pemeriksaan kepada pihak independen, dan mempersiapkan skenario pemeriksaan ulang untuk satu dekade mendatang merupakan tindakan nyata perombakan sistem penjaga gawang antidoping.
Artikel The Economist yang berjudul Sport is still rife with doping menyoroti masih adanya kemungkinan kecurangan doping yang dilakukan oleh peserta dan lolos dari tes. Hal yang disoroti adalah soal seketat apapun aturan, perlu memperhatikan titik lemah yang ada berupa celah-celah kompromi.
Celah yang dapat menjadi peluang tindak kecurangan diindikasikan berada pada jenis baru zat peningkat performa, metode mengelabuhi sistem yang lebih lihai, hingga potensi korupsi dalam institusi sehingga memungkinkan untuk mengecoh penguji.
Berkaca pada kondisi sebelum perhelatan Olimpiade Tokyo, masih ada beberapa atlet yang dilarang untuk ikut bertanding karena hasil tes urinenya mencurigakan. Dengan diperketatnya prosedur pengetesan, belum menjamin atlet yang lolos uji sepenuhnya tidak menggunakan doping. The Economist memperkirakan, setidaknya masih ada 10 persen atlet yang berlaga di Tokyo menggunakan doping dalam tubuhnya.
Marwah
Munculnya kecurangan seperti doping menjadi pengingat tujuan penyelenggaraan dan nilai-nilai yang diusung dalam olimpiade sejak masa kuno hingga era modern. Olimpiade pada masa Yunani menjadi rangkaian upacara yang dipersembahkan untuk dewa-dewa Yunani terutama untuk Dewa Zeus.
Sebelum berlomba mereka berdoa memohon kemenangan kepada Zeus, Hermes, Apollo atau Hercules. Maka dari itu kemenangan seorang atlet dipandang sebagai berkat dan atas restu dari dewa.
corak kecurangan di era olimpiade modern sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan dua milenium yang lalu
Penghargaan yang diterima oleh sang juara dari penyelenggara olimpiade tidak bernilai materiil melainkan memperoleh label spiritual sebagai “yang terberkati”. Hadiah materi justru diberikan oleh masyarakat Yunani yang mengapresiasi individu juara.
Ragam apresiasi berupa sambutan kepulangan layaknya pahlawan, jamuan makan di mana saja dia berada, merupakan sebuah kehormatan bagi pihak penjamu. Status sosial yang lebih tinggi juga mendatangkan keuntungan materi kepada keluarganya. Bahkan ada beberapa atlet yang dibuatkan patung penghargaan di kota kelahirannya.
Baca juga: Ketika Tim Rusia Berganti Menjadi ROC
Bentuk penghargaan serupa masih diberikan hingga saat ini. Gelar juara dapat mendatangkan penghargaan terhadap atlet dari aspek afeksi atau kepuasan batin sekaligus menjunjung pamor negaranya. Dari aspek materi, penghargaan datang dalam wujud sejumlah uang, tawaran sebagai bintang iklan, menjadi daya tarik untuk acara-acara tertentu, dan lain sebagainya.
Apabila dirunut sejak zaman Olimpiade Kuno, perilaku kecurangan manusia dalam berkompetisi akan selalu berupaya lebih cerdik, lebih lihai, dan lebih efektif. Melihat fenomena ini, cita-cita mencapai kompetisi yang bersih dan sportif masih harus ditempuh dengan perjuangan panjang. Namun, nilai-nilai kejujuran dalam sportivitas harus terus diperjuangkan untuk menjaga marwah olimpiade sekaligus mempertahankan tatanan kehidupan dunia yang bermartabat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Negara-negara Berlomba Menjadi Tuan Rumah Olimpiade?