Menguatkan Penanganan Kasus HIV/AIDS Nasional
Penularan virus HIV dapat dicegah dengan melakukan tindakan preventif sehingga dapat melindungi diri sendiri dan orang lain.
Penambahan kasus baru, akses pengobatan, dan diskriminasi masih menjadi tantangan penanganan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Rumusan upaya pencegahan dan penanganan perlu diperkuat untuk mencapai target eliminasi kasus infeksi HIV/AIDS pada 2030.
Pada masa pandemi Covid-19, infeksi HIV masih terus melanda dunia. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang menyebabkan penyakit acquired immuno deficiency syndrome (AIDS) yang mengancam pertahanan tubuh.
Secara global, jumlah infeksi virus HIV pada 2020 bertambah hingga sekitar 1,5 juta kasus, sementara kematian karena penyakit AIDS mencapai 690.000 jiwa. Berbeda dengan grafik pandemi Covid 19 yang naik turun, tren global untuk kasus HIV/AIDS masih menunjukkan peningkatan. Hal serupa terjadi juga di Indonesia.
Tercatat selama periode 2011 hingga 2020, kasus HIV/AIDS nasional cenderung meningkat. Data kasus infeksi belum menunjukkan tanda-tanda penurunan signifikan. Kasus infeksi baru HIV pada 2020 tercatat hampir dua kali lipat dibandingkan 2011.
Walau sempat mengalami pasang surut, jumlah kasus dalam lima tahun terakhir (2016-2020) meningkat 93.253 kasus dibandingkan periode 2011-2015. Bahkan, persentase orang dengan AIDS dibandingkan jumlah kasus infeksi HIV tahun 2020 mengalami peningkatan cukup besar daripada tahun lalu, yaitu 6,6 persen.
Apabila dilihat dari sebaran usia, orang dengan HIV/AIDS didominasi kelompok usia muda dengan jenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, yang menjadi kekhawatiran adalah infeksi virus ini juga sangat rentan dialami kelompok ibu rumah tangga (14,40 persen). Jumlah tersebut bahkan jauh lebih besar daripada kalangan pekerja seks komersial (2,79 persen).
Situasi orang dengan HIV/AIDS masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan utama di Indonesia. Banyak orang yang merasa masih tabu memeriksakan kondisinya sehingga tidak sadar menulari orang lain melalui aktivitas seks tidak aman atau memakai jarum suntik bergantian.
Indonesia sendiri memiliki target eliminasi kasus infeksi hingga 2030. Dalam peringatan Hari AIDS Sedunia 2020 lalu, semangat yang diangkat adalah kolaborasi dan solidaritas menuju akhir AIDS 2030. Komitmen bersama ini adalah wujud keseriusan menciptakan kehidupan bangsa yang sehat.
Cita-cita besar eliminasi HIV/AIDS tentu tidak berjalan mudah bagi Indonesia. Berbagai permasalahan penanganan kasus infeksi atau penyakit karena virus HIV mendorong perbaikan yang signifikan. Salah satu persoalan laten adalah stigma, yang banyak menyebabkan minimnya akses publik terhadap pengobatan karena perasaan malu dan takut dicap negatif oleh masyarakat.
Selain ada batasan akses pengobatan karena stigma, pemahaman terhadap terapi atau pengobatan juga masih minim. Data pada 2020, jumlah infeksi HIV memang turun, tetapi persentase orang dengan AIDS malah naik. Hal tersebut menggambarkan adanya keterlambatan terapi atau pengobatan untuk menekan perkembangan virus sehingga berujung pada penyakit AIDS.
Dari sisi fasilitas kesehatan, baru 24 persen rumah sakit pemerintah dan swasta yang memiliki layanan pengobatan antiretroviral (ARV). Untuk tingkat puskesmas, baru 10 persen yang menyediakan layanan ARV. Permasalahan lain adalah distribusi obat ARV yang belum stabil di sejumlah daerah, bahkan sering terjadi kelangkaan pada akhir tahun.
Tantangan berikutnya bagi pemerintah adalah bagaimana menjamin orang dengan HIV/AIDS tidak putus pengobatan. Catatan Kompas pada 2016 menyebutkan, angka putus pengobatan bisa mencapai 27 persen. Pada 2020, Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 215.039 orang dengan HIV dan AIDS yang menjalani pengobatan, sebanyak 72.133 orang putus obat. Efek putusnya pengobatan adalah virus akan jauh lebih kebal sehingga jenis obat harus diganti dengan yang lebih mahal.
Harus cepat
Upaya penanganan kasus HIV/AIDS telah lama diperjuangkan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Pendekatan medis melalui pengobatan dan perawatan telah dilakukan dan berhasil menyelamatkan banyak orang. Selain pendekatan medis, pemerintah juga menguatkannya melalui regulasi yang lebih ketat.
Kompleksitas permasalahan HIV/AIDS nasional perlu segera diurai dan diselesaikan dengan cepat seiring usaha pemerintah untuk meningkatkan kesadaran periksa orang dengan status HIV (ODHIV). Pemerintah Indonesia menjamin perawatan orang dengan HIV/AIDS dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS.
Komitmen penanganan dijelaskan dalam Pasal 3, yaitu menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru dan kematian karena penyakit AIDS serta meniadakan diskriminasi terhadap ODHIV. Selain dua poin tersebut, pemerintah juga menetapkan target untuk bisa meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS serta mengurangi dampak sosial ekonomi di tingkat individu, keluarga, dan masyarakat.
Dari sisi pengobatan dan perawatan, beberapa poin penting yang ditekankan adalah fasilitas kesehatan tidak boleh menolak memberikan layanan pengobatan dan perawatan HIV/AIDS serta harus memberikan konseling pascapemeriksaan. Fasilitas kesehatan juga harus menjaga kerahasiaan data pasien.
Tak hanya itu, orang dengan HIV/AIDS juga mendapatkan obat ARV secara gratis dari pemerintah. Obat ARV perlu dikonsumsi seumur hidup oleh pasien sebab mampu menekan jumlah virus HIV di dalam tubuh sampai tingkat terendah.
Virus HIV yang ditekan hingga sangat rendah berguna agar sistem imun tubuh tidak diserang dan menimbulkan penyakit AIDS. Terkendalinya virus HIV di dalam tubuh tentu membuat pasien dapat beraktivitas dengan baik dan mampu meningkatkan kualitas hidupnya.
Sementara dalam konteks pandemi, WHO mencatat bahwa risiko orang yang menjalani pengobatan ARV sebanding dengan orang secara umum. Artinya, terjadinya infeksi virus korona sepenuhnya tergantung pada kepatuhan individu terhadap protokol kesehatan. Oleh sebab itu, penting memastikan semua orang dengan HIV mendapatkan akses pengobatan ARV.
Upaya lain yang ditempuh pemerintah adalah peningkatan alokasi dana penanganan HIV/AIDS. Dalam dokumen Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS dan PIMS di Indonesia 2020-2024, tercatat rata-rata peningkatan dana mencapai 16,1 persen. Peningkatan paling besar terjadi dari tahun 2020 ke 2021, yaitu 53,18 persen.
Alokasi dana tahun 2020 tercatat sebesar Rp 3,1 triliun, kemudian bertambah hingga tahun 2024 yang mencapai Rp 5,3 triliun. Porsi terbesar pendanaan terletak di tingkat kabupaten/kota karena menjadi penanggung jawab penanganan individu, komunitas, serta distribusi pengobatan di rumah sakit yang memiliki layanan HIV/AIDS.
Kuatkan pencegahan
Penularan virus HIV sebenarnya bisa dicegah dengan melakukan tindakan preventif sehingga dapat melindungi diri sendiri dan orang lain. Tindakan pencegahan tentu jauh lebih menyelamatkan daripada telanjur terinfeksi dan harus menjalani pengobatan. Setidaknya ada lima cara untuk mencegah penularan HIV yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013.
Cara pertama adalah tidak melakukan hubungan seksual sama sekali, mengingat penularan virus paling besar terjadi melalui hubungan seksual. Berikutnya, setia dengan pasangan, menggunakan kondom secara konsisten, serta menghindari penyalahgunaan obat atau zat adiktif. Cara pencegahan lain adalah meningkatkan edukasi terkait HIV/AIDS, termasuk cara pengobatan infeksi menular seksual sedini mungkin.
salah satu persoalan laten adalah stigma, yang menyebabkan minimnya akses terhadap pengobatan karena takut dicap negatif oleh masyarakat.
Catatan penting dalam usaha pencegahan HIV/AIDS sebenarnya terletak pada keterbukaan status infeksi seseorang. Orang yang aktif secara seksual serta ibu hamil/menyusui perlu memastikan apakah terinfeksi HIV atau tidak. Kepastian informasi tersebut akan menyelamatkan diri sendiri dan orang lain.
Pencegahan lain yang dapat dilakukan adalah melalukan pengobatan PrEP atau pre-exposure prophylaxis. PrEP adalah jenis pengobatan untuk orang-orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV dengan tingkat keberhasilan mencegah infeksi mencapai 99 persen.
Ada dua jenis pengobatan, yaitu travada (aktif secara seksual dan obat/zat adiktif injeksi) dan descovy (aktif secara seksual). Syarat utama menggunakan pengobatan PrEP adalah status HIV pasien harus negatif. Efektivitas untuk mencegah HIV bagi pengguna obat/zat adiktif injeksi sekitar 74 persen.
Baca juga : Perluasan Tes HIV Terbentur Dinding Stigma
Upaya pencegahan memang sangat ditentukan oleh kesadaran individu untuk melindungi dirinya dari virus HIV. Di sisi lain, pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan akses terhadap pengobatan dan perawatan. Edukasi masif tentang risiko infeksi HIV masih harus ditingkatkan terus, khususnya terhadap kelompok-kelompok rentan.
Tujuan akhir dari penanganan ataupun pencegahan adalah memberikan kehidupan yang sehat bagi masyarakat. Sementara untuk orang dengan HIV/AIDS, adanya pengobatan dan perawatan tentu menjadi opsi terbaik untuk tetap bisa berkarya dan meningkatkan kualitas kehidupan di masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Tantangan Orang dengan HIV di Masa Pandemi Covid-19