Tantangan Orang dengan HIV di Masa Pandemi Covid-19
Orang dengan HIV sangat mengharapkan akses untuk mendapatkan obat HIV dengan aman di masa pandemi Covid-19.
Bagi orang yang hidup dengan HIV, risiko terpapar Covid-19 dan kendala mendapatkan pengobatan antiretroviral menjadi kekhawatiran besar yang dirasakan selama pandemi korona. Saat ini, akses untuk mendapatkan obat ARV dengan aman menjadi kebutuhan utama orang dengan HIV.
Persoalan orang dengan HIV akan situasi pandemi Covid-19 tersebut terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pada 21-25 Juli 2021. Bagian terbesar publik (32,2 persen) mengungkapkan kekhawatiran orang dengan HIV akan terpapar Covid-19.
Selain infeksi virus korona, kendala pengobatan juga diungkapkan publik sebagai kewaspadaan di masa pandemi. Sebanyak 25,3 persen responden berpendapat orang dengan HIV kesulitan mendapatkan layanan kesehatan termasuk pengobatan ARV.
Temuan senada juga tergambar dari survei UNAIDS, WHO, dan Jaringan Indonesia Positif (JIP) kepada 1.035 responden orang dengan HIV. Orang Dengan HIV merupakan orang yang telah terinfeksi virus human immunodeficiency (HIV) penyebab AIDS.
Riset yang dilakukan pada Agustus 2020 tersebut menemukan, sebagian besar responden mengungkapkan khawatir tertular Covid-19 (40 persen) dan juga khawatir akan ketersediaan obat ARV (36 persen).
Tidak dimungkiri, kekhawatiran ini muncul setelah satu tahun lebih pandemi terjadi, penyakit Covid-19 masih mengancam setiap orang di bumi ini. Kekhawatiran dan kecemasan terhadap virus korona seolah-olah telah menjadi bagian hidup manusia saat ini. Apalagi situasinya tak kunjung membaik.
Data Kemenkes menunjukkan hingga 25 Juli 2021 jumlah kasus baru bertambah 38.679. Sementara jika dihitung rata-rata dalam seminggu terakhir, penambahan kasus baru mencapai 41.290 per hari. Tingkat kepositivan (positivity rate) mingguan mencapai 26,43 persen di atas standar WHO yaitu lima persen.
Melihat situasi ini, protokol kesehatan ketat sangat dibutuhkan untuk mengurangi penularan dan kematian akibat Covid-19. Akan tetapi, bagi sejumlah orang, mengikuti protokol kesehatan untuk menghindari penularan Covid-19 tidak cukup untuk menjaganya tetap bertahan hidup. Mereka yang memiliki penyakit tertentu termasuk orang dengan HIV harus berjuang lebih keras karena perlu tetap berobat demi menjaga kesehatannya.
Di Indonesia, setidaknya terdapat 427.201 kasus HIV yang berhasil ditemukan hingga Maret 2021. Jumlah tersebut baru 78,7 persen dari 543.100 kasus Orang Dengan HIV/AIDS yang diperkirakan ada di Indonesia hingga 2020.
Namun, dari kasus HIV yang ditemukan tidak semuanya rutin dan pernah mengikuti pengobatan. Hanya 269.289 ODHIV yang pernah mulai pengobatan ARV dan di antaranya tersisa 144.632 ODHIV yang masih terus mengikuti pengobatan ARV.
Terapi ARV berfungsi untuk menekan jumlah virus HIV yang ada di dalam tubuh dan menjaga kekebalan tubuh. Selain itu, pengobatan ini mengurangi risiko penularan virus ke orang lain dan mencegah munculnya gejala AIDS.
Pengobatan tersebut tidak menghilangkan penyakit. Namun, upaya ini dapat memperpanjang harapan hidup ODHIV. ODHIV yang rutin mengonsumsi obat-obatan ini dapat beraktivitas seperti biasa dan tetap sehat.
Syaratnya ODHIV tersebut harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Upaya ini harus rutin, tepat waktu dan tidak pernah putus. Jika terputus, jumlah virus HIV dalam tubuh dapat meningkat dan menyebabkan sistem imun tubuh terganggu
Pengobatan minim
Di masa pandemi, tidak mudah mengikuti pengobatan rutin ini. Tantangan yang dihadapi orang dalam HIV saat pengobatan adalah kekhawatiran stok obat habis karena kelangkaan obat ARV. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Saat awal pandemi, rantai pasok, ketersediaan dan aksesbilitas ARV sempat terganggu.
Keterlambatan distribusi ARV dialami oleh sejumlah fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Sebanyak 38,1 persen dari 42 fasyankes yang disurvei Knowledge Hub Kesehatan Reproduksi UI pada Agustus-September 2020 mengalami keterlambatan penerimaan stok selama satu hingga tiga minggu.
Kelangkaan stok obat menyebabkan sejumlah orang dengan HIV harus mengonsumsi obat lain. Padahal obat-obatan ini dapat menyebabkan efek samping.
Selain itu, rantai pasok obat yang terkendala juga menyebabkan mereka menerima ARV lebih sedikit dari biasanya. Misalnya, biasanya obat diberikan untuk kebutuhan dua bulan. Namun, karena ada kelangkaan, obat hanya diberikan untuk dua sampai empat pekan. Orang yang hidup dengan HIV terpaksa harus bolak-balik ke fasyankes untuk mendapatkan obat.
Padahal di masa pandemi, risiko penularan Covid-19 lebih tinggi jika mobilitas tinggi khususnya ke fasyankes. ODHIV pun merasa mobilitas dengan jarak yang jauh apalagi tanpa ketersediaan sarana transportasi menjadi tantangan yang memberatkan dalam mengakses obat. Selain berisiko, sering bepergian untuk mendapatkan ARV juga akan menambah biaya transportasi.
Sebenarnya, untuk mengatasi berbagai kendala saat pandemi ini, WHO menganjurkan agar stok obat ARV bagi orang dengan HIV diberikan untuk tiga sampai enam bulan. Kementerian Kesehatan juga telah mengatur pemberian obat ARV untuk dua bulan dan pertimbangan layanan pengiriman obat dalam Protokol Pelaksanaan Layanan HIV selama Pandemi Covid-19.
Di sejumlah daerah, protokol tersebut diterapkan dengan berbagai cara. Misalnya, di Jawa Barat, layanan pemberian obat ARV tetap berjalan dengan pembatasan jumlah orang dan penyesuaian jadwal. Di Jakarta, layanan pengantaran obat ARV dilakukan dengan Jak-Anter.
Akan tetapi di daerah lain, protokol itu belum dapat sepenuhnya terlaksana lantaran terganggunya pasokan obat. Sehingga hal yang dapat dilakukan adalah pengurangan jumlah obat yang diberikan sampai stok-stok obat tersedia kembali.
Tekanan ekonomi
Permasalahan pengobatan yang dihadapi orang dengan HIV bukan hanya muncul dari sisi eksternal berupa stok obat. Dari sisi internal adalah kondisi perekonomian juga memengaruhi kepatuhan menjalani pengobatan.
Survei Jaringan Indonesia Positif, UNAIDS dan WHO juga menemukan kekhawatiran orang dengan HIV akan kehilangan sumber pendapatan serta tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup. Jika berlarut-larut tidak teratasi, problem tekanan ekonomi ini secara tidak langsung akan berdampak terhadap kepatuhan pengobatan ARV. Meskipun biaya obat ARV telah digratiskan pemerintah, ODHIV masih mengeluarkan biaya konsultasi dan transportasi menuju fasyankes.
Jika fasyankes yang memberikan pelayanan pasien HIV hanya berjarak dekat dengan tempat tinggal mereka, hal tersebut tidak masalah. Sayangnya, tidak seluruh fasyankes memberikan konseling, tes HIV dan pengobatan ARV.
Dari total 13.058 fasyankes yang tersedia di Indonesia, hanya 1.729 yang memberikan layanan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP) HIV/AIDS. Artinya, lebih banyak orang dengan HIV harus mencari fasyankes yang dapat memberikan perawatan meskipun jauh dari tempat tinggalnya.
Kendala layanan pengobatan dan tekanan ekonomi orang dengan HIV di masa pandemi mengingatkan bahwa penanganan kasus HIV harus tetap diutamakan. Menghadapi kendala-kendala itu, orang dengan HIV membutuhkan sejumlah pelayanan yang perlu diakomodasi. Terkait dengan pengobatan, mereka sangat mengharapkan akses untuk mendapatkan obat HIV dengan aman. Hal ini disampaikan 34,83 persen responden survei Jaringan Indonesia Positif, UNAIDS dan WHO.
Layanan pengantaran obat harus menjangkau orang dengan HIV, terlebih bagi mereka yang lokasi tempat tinggalnya sulit terjangkau dan tidak memiliki biaya untuk ke fasilitas kesehatan. Upaya ini dapat dikoordinasikan dengan kelompok atau komunitas penggiat penanganan HIV/AIDS yang sudah melakukan penyaluran obat dan pendampingan.
Hal lain yang dibutuhkan oleh orang dengan HIV berkaitan dengan pengobatan HIV adalah dukungan dari sesama pengidap HIV dan konseling. Orang dengan HIV tidak saja menanggung beban fisik namun juga secara mental. Terlebih di masa pandemi, ketakutan dan kecemasan bertambah.
Baca juga: Perluasan Tes HIV Terbentur Dinding Stigma
Dukungan dan pendampingan sangat dibutuhkan agar mereka tetap semangat mengikuti proses pengobatan. Pendampingan ini terutama sangat dibutuhkan bagi ODHIV baru, khususnya mereka yang baru terdeteksi di masa pandemi ini.
Sepanjang 2020 sampai Maret 2021, terdapat 49.637 kasus HIV yang sudah dilaporkan. Mereka inilah yang perlu pendampingan ekstra serta bantuan layanan pengobatan sebab untuk menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri. (LITBANG KOMPAS).
Baca juga: Orang dengan HIV Hadapi Beban Berlipat