PPKM Darurat dan Harapan Semu
Situasi pandemi yang masih tak terkendali menyebabkan masyarakat menaruh harapan besar pada kebijakan PPKM darurat. Sayangnya, dampak kebijakan tersebut masih minim dalam menahan laju penularan Covid-19.
Hampir empat minggu Indonesia melewati masa pembatasan sosial yang kali ini dinamakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat. Berbeda dengan PPKM mikro sebelumnya, kali ini standar pengetatan mobilitas sosial cenderung terasa lebih ketat daripada pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB sebelumnya.
Banyaknya penyekatan jalan serta pembubaran pedagang kaki lima membuat kebijakan ini tampak nyata di lapangan.
Dampaknya terefleksi dari hasil jajak pendapat Kompas, awal Juli lalu. Mayoritas responden (79,9 persen) mengaku mengetahui adanya kebijakan PPKM darurat. Hampir separuh lebih responden mengakui suasana di daerah tempat tinggal mereka terasa lebih ”ketat” di masa PPKM darurat dibandingkan sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan harapan masyarakat terhadap keberhasilan PPKM darurat untuk menekan penyebaran Covid-19. Separuh lebih responden meyakini kebijakan ini akan berhasil. Mereka yakin penegakan hukum akan dijalankan di lapangan selama pelaksanaan PPKM darurat.
Baca juga : Perpanjangan PPKM Berlaku di Seluruh Indonesia
Sayangnya, keyakinan masyarakat masih belum bersambut hasil positif dari kebijakan. Sampai masa perpanjangan PPKM darurat 20 Juli 2021, pertumbuhan kasus dan kematian akibat Covid-19 justru meroket di angka tertinggi, dibandingkan dengan rata-rata kasus dan kematian pada tahun 2020.
Kegagalan pemerintah mengendalikan infeksi terlihat dari analisis trendline jumlah kasus dan positivity rate harian. Jika dilihat lebih lanjut, persamaan y dari garis tren kasus serta tingkat positif di Indonesia selama PPKM darurat masih di kuadran positif. Artinya, pemberlakuan PPKM darurat belum berdampak mengurangi penambahan kasus baru maupun positivity rate.
Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan infeksi terlihat dari elemen paling fundamental, yaitu capaian testing. Manajemen pandemi pemerintah masih belum mampu memenuhi kebutuhan dasar mitigasi kasus.
Dari target awal 400.000 orang dites per hari, pemerintah baru bisa mengetes sekitar 200.000 orang per hari. Dengan hanya separuh dari target pengetesan yang mampu dicapai, pemerintah pun bisa dikatakan baru mengetahui setengah dari peta persebaran Covid-19 di lapangan.
Hal serupa terlihat pada tingkat keterisian kasur rumah sakit (bed occupancy rate/BOR). BOR di provinsi se-Jawa dan Bali belum mencapai target pemerintah di awal penetapan PPKM darurat di rata-rata 65 persen. Tingginya BOR ini mengkhawatirkan. Jika terjadi kenaikan kasus secara luar biasa, fasilitas kesehatan (faskes) di daerah-daerah tersebut hampir dipastikan terancam lumpuh.
Lumpuhnya faskes ketika tak dapat menampung pasien berisiko akan menyebabkan lebih banyak korban meninggal akibat Covid-19. Sudah banyak kasus di beberapa daerah, pasien terinfeksi yang diperkirakan bisa tertolong jika mendapatkan penanganan memadai akhirnya meninggal karena tak tertampung faskes.
Hal ini terlihat dari angka korban positif yang meninggal saat isolasi mandiri. Data yang dihimpun oleh LaporCovid, lebih dari 2.400 pasien isolasi mandiri meninggal hingga minggu terakhir Juli ini. Korban kecelakaan atau ibu melahirkan juga ikut jadi korban jiwa dari kondisi lumpuhnya faskes.
Masyarakat tidak patuh
Di satu sisi, kegagalan PPKM darurat memang disebabkan oleh pemerintah yang tak mampu mengejar target yang ia pasang sendiri. Di sisi lain, masyarakat juga berkontribusi terhadap minimnya dampak kebijakan ”darurat” ini. Harapan publik terhadap keberhasilan PPKM darurat berbanding terbalik dengan tindakan mereka.
Hal ini tampak dari masih tingginya mobilitas masyarakat selama penerapan PPKM darurat. Hasil jajak pendapat menunjukkan, sekitar 17 persen dari responden yang berdiam diri di rumah secara penuh selama masa PPKM darurat. Bahkan, lebih dari sepertiga dari mereka mengaku tetap beraktivitas di luar rumah seperti biasa. Tak sampai 50 persen warga yang masih keluar rumah untuk memenuhi kebutuhan darurat.
Tingginya aktivitas masyarakat di luar rumah ini terkonfirmasi laporan Google Mobility Report. Laporan ini menelaah perubahan aktivitas masyarakat di beberapa titik lokasi, seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, dan perumahan, melalui sinyal ponsel yang ditangkap oleh layanan Google Maps.
Berdasarkan laporan tersebut, pemerintah hanya mampu mengurangi mobilitas masyarakat rata-rata 12,5 persen di provinsi terdampak kebijakan PPKM darurat selama 2-12 Juli. Rendahnya penurunan kegiatan di area perkantoran yang rata-rata masih berada di bawah 10 persen, contohnya, menunjukkan kebijakan PPKM darurat belum mampu mencegah masyarakat untuk bekerja. Data ini diperkuat dengan tipisnya peningkatan kegiatan di perumahan, rata-rata di bawah 5 persen.
Problem lainnya adalah PPKM darurat belum cukup dilaksanakan secara berkeadilan. Sebagian anggota masyarakat, terutama yang bekerja di sektor informal, mau tak mau harus tetap bekerja di luar rumah. Bagi mereka, pilihannya hanya terpapar Covid-19 atau mati kelaparan.
Agar PPKM darurat yang dilanjutkan dengan PPKM level 3-4 bisa berhasil, memastikan berjalannya program jaring pengaman sosial menjadi kunci. Distribusi bantuan sosial harus terus dikawal mengingat masih ditemukan kasus korupsi di tingkat akar rumput. Perlu didorong percepatannya karena realisasi anggaran pemerintah untuk bansos relatif rendah. Hingga minggu ketiga Juli, baru dua provinsi yang tingkat serapan anggarannya untuk bansos di atas 30 persen.
Kombinasi antara memelihara kemampuan bertahan ekonomi masyarakat bawah (informal) dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan, serta pembatasan mobilitas terukur, tampaknya harus tetap diseimbangkan menjelang berakhirnya masa PPKM darurat.
Baca juga : Mereka yang Peduli di Masa Pandemi
Pelonggaran kebijakan tampaknya belum menjadi opsi yang masuk akal bagi pemerintah dalam jangka waktu dekat. Jangankan relaksasi, garis tren kasus dan positivity rate menunjukkan, tanpa ada pengetatan yang lebih dramatis saja hampir dapat dipastikan kasus positif harian tetap akan sangat tinggi beberapa waktu ke depan.
Harapan publik, seberapa pun menggiurkannya perbaikan ekonomi dengan pelonggaran pengetatan mobilitas, pemerintah tetap harus mencegah risiko kesehatan yang sangat besar. Kebijakan PPKM darurat yang cenderung menyuguhkan harapan semu akan perbaikan semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah dan semua elemen masyarakat.