Antisipasi Orang dengan HIV dari Penularan Covid-19
Menerapkan protokol kesehatan, mengikuti vaksinasi Covid-19, dan tetap menjalani pengobatan antiretroviral menjadi bekal orang yang hidup dengan HIV tetap berdaya di masa pandemi Covid-19.
Masih merebaknya wabah Covid-19 di dunia membutuhkan kewaspadaan ekstra oleh orang dengan HIV dan orang dengan AIDS. Seluruh tindakan pencegahan yang direkomendasikan oleh otoritas kesehatan harus dilakukan untuk mencegah infeksi virus korona dan variannya yang makin cepat menular.
Infeksi virus korona masih mengancam keselamatan warga dunia. Paparan virus yang mampu mengikat sel-sel di organ pernapasan manusia menyebabkan peradangan paru-paru hingga penurunan saturasi oksigen. Akibatnya, dapat membuat gangguan pernapasan akut atau gagal napas.
Penyebaran virus korona yang terjadi antarmanusia ditularkan melalui droplet (percikan) dari penderita Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa semua orang di dunia, termasuk orang dengan HIV dan orang dengan AIDS, berisiko terinfeksi Covid-19. Virus korona yang terus bermutasi menjadi bom infeksi yang dapat menyerang kapan saja.
Bukan hanya dari paparan virusnya, dampak sosial ekonomi akibat wabah korona juga menjadi bentuk virus lain yang meneror mental masyarakat. Di masa pandemi korona, banyak negara menerapkan kebijakan karantina wilayah dan pembatasan sosial. Bagi orang dengan HIV dan orang dengan AIDS, pembatasan ini dapat memengaruhi akses layanan kesehatan dan pengobatan yang sedang dijalani.
Laporan Program Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mengatasi HIV-AIDS (UNAIDS) mengungkapkan dua masalah yang dihadapi orang dengan HIV di masa pandemi ini. Dalam publikasi UNAIDS Global AIDS Update 2021 disebutkan dua masalah tersebut adalah kesenjangan dalam mengakses vaksin Covid-19 dan terhambatnya layanan pengobatan HIV.
Tingkat vaksinasi bagi orang dengan HIV dan orang dengan AIDS di wilayah Afrika sub-Sahara belum mencapai 3 persen. Padahal, di wilayah tersebut banyak terdapat orang dengan HIV. Demikian pula dari aspek layanan HIV.
Pembatasan mobilitas penduduk menyebabkan penurunan layanan diagnosis dan perawatan HIV. Salah satu contoh penurunan layanan tersebut terjadi di KwaZulu-Natal, Afrika Selatan. Fasilitas tes HIV mengalami penurunan 48 persen setelah lockdown diberlakukan pada April 2020.
Laju inisiasi pengobatan juga terhambat karena 28.000 pekerja layanan kesehatan HIV dialihkan untuk membantu skrining gejala Covid-19. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan mencatat, sepanjang 2020, dari 215.039 orang dengan HIV dan AIDS yang menjalani pengobatan, ada 72.133 orang yang putus obat.
Munculnya tambahan kasus baru infeksi HIV pada 2020 yang mencapai 1,5 juta kasus di seluruh dunia menjadi tantangan baru pengobatan orang dengan HIV di masa pandemi. Bukan sekadar layanan kesehatan yang menurun, tetapi situasi krisis kesehatan berkepanjangan akibat pandemi Covid-19 juga membuat fokus perhatian negara-negara banyak tersita untuk menangani wabah korona.
Munculnya varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab penyakit Covid-19 telah membuat jumlah kasus baru dan kematian di dunia meningkat. WHO menyebutkan, total kasus baru positif korona di dunia pada periode 12-18 Juli lalu mencapai 3,42 juta. Jumlah tersebut naik 12 persen dibandingkan dengan pekan sebelumnya. Peningkatan juga terjadi dengan jumlah kematian yang mencapai 56.767 jiwa.
Memburuknya situasi pandemi kian mengancam keselamatan seluruh warga, termasuk orang dengan HIV dan orang dengan AIDS. Karena itu, penting bagi mereka untuk mengetahui informasi tentang penyakit Covid-19. Informasi yang dimaksud terutama mencakup penerapan protokol kesehatan, vaksinasi, hingga tetap menjalani pengobatan antiretroviral untuk menghindari penularan virus korona yang makin berbahaya ini.
Protokol kesehatan
Merujuk panduan yang diterbitkan WHO dan UNAIDS, tiga hal tersebut menjadi bekal utama yang harus dilakukan orang dengan HIV di masa pandemi Covid-19. Secara umum, kedua lembaga dunia tersebut menegaskan bahwa hingga saat ini virus korona masih menjadi jenis infeksi serius dan harus dicegah paparan virusnya agar tidak meluas. Langkah mendasar yang harus dilakukan adalah mengenali gejala penyakit Covid-19.
Gejala umum yang harus diwaspadai adalah demam sedang hingga tinggi, batuk kering, sakit tenggorokan, hidung berair, badan letih, diare yang disertai muntah, serta hilangnya indera penciuman.
Pengenalan gejala ini diperlukan untuk melakukan tindakan pencegahan, yaitu menerapkan protokol kesehatan. Orang dengan HIV sangat dianjurkan untuk menggunakan masker, rajin mencuci tangan dengan sabun, serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan.
Disiplin menerapkan protokol kesehatan ini diperlukan untuk mencegah penularan Covid-19 yang dimulai dari droplet virus. Bahaya dari model penularan ini karena penyakit yang tersebar melalui droplet dapat ditularkan oleh orang yang terinfeksi saat berbicara, batuk, atau bersin.
Percikantersebut dapat tersebar melalui jarak yang pendek lewat udara, tetapi bisa mengenai mata, mulut, atau hidung orang yang tidak menggunakan alat pelindung. Karena itu, penting bagi orang dengan HIV untuk selalu mengenakan masker. Terlebih setelah munculnya varian baru virus korona, masker yang digunakan dianjurkan ganda, yaitu perpaduan masker medis dan masker kain.
Menjaga jarak dengan orang sekitar dan menghindari kerumunan juga harus dilakukan untuk menjaga penularan melalui droplet. Selain memakai masker dan menjaga jarak, rajin mencuci tangan menggunakan sabun menjadi protokol wajib yang harus dilakukan orang dengan HIV di masa pandemi.
Bahaya droplet dapat muncul saat mengenai benda di sekitarnya. Jika orang dengan HIV menyentuh benda yang sudah terkontaminasi dengan droplet tersebut, kemudian menyentuh mata, hidung, atau mulut, ia berpotensi besar dapat terinfeksi Covid-19.
Jika kemudian terinfeksi Covid-19, UNAIDS merekomendasikan untuk mengikuti tindakan sesuai arahan otoritas kesehatan setempat, baik itu segera melakukan tes Covid-19, mempersiapkan isolasi diri, maupun mencari perawatan medis jika bergejala Covid-19. Semua tindakan dan perawatan yang dijalani juga harus dalam pengawasan layanan kesehatan setempat.
Vaksinasi
Faktor kedua yang patut diketahui orang dengan HIV dan orang dengan AIDS di masa pandemi adalah mencari informasi tentang vaksinasi Covid-19. Pengetahuan tentang vaksin ini diperlukan untuk mengenal cara kerja vaksin dan apa saja yang harus diperhatikan oleh orang dengan HIV saat mengakses vaksin Covid-19.
Vaksin diperlukan dalam menghadapi wabah penyakit karena manfaatnya dapat turut membentuk sistem kekebalan tubuh. Antibodi ini membantu tubuh dalam mengenali dan membangun pertahanan melawan bakteri atau virus penyebab penyakit.
Selain dapat berperan membentuk sistem kekebalan tubuh secara individu, vaksin juga memiliki kemampuan membentuk kekebalan komunitas. Kekebalan yang dimaksud adalah kemampuan suatu komunitas atau populasi untuk terlindung dari virus. Kekebalan komunitas ini dapat tercapai jika 70 persen dari total populasi telah divaksin.
Secara umum, proses yang harus dilalui oleh orang dengan HIV dalam vaksinasi Covid-19 tidak jauh berbeda dengan warga lainnya. Hanya, untuk mengakses vaksin, orang dengan HIV harus melalui proses screening yang sangat ketat.
Petunjuk teknis pelaksanaan vaksinasi dari Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menyebutkan salah satu screening yang harus dilewati orang yang terinfeksi HIV atau AIDS adalah pemeriksaan CD4 atau sel limfosit/sel kekebalan tubuh. CD4 adalah parameter untuk mengukur imunodefisiensi dan petunjuk dini progresivitas penyakit.
Semakin tinggi CD4, semakin baik kekebalan tubuh. Ini artinya semakin rendah viral load HIV dalam tubuh. Untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19, orang dengan HIV atau orang dengan AIDS harus memiliki CD4 di atas 200. Apabila CD4 berada di bawah 200 atau bahkan tidak diketahui, vaksinasi tidak dapat diberikan.
Syarat ini penting sebagai seleksi awal karena vaksinasi yang dijalani dikhawatirkan dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI). Efek samping ini dapat berupa reaksi vaksin, kesalahan prosedur, atau reaksi lainnya seperti kecemasan.
Sebagaimana reaksi yang dapat muncul pada vaksinasi secara umum, efek samping yang muncul setelah vaksinasi Covid-19 antara lain menimbulkan reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal dapat berupa nyeri, kemerahan, bengkak, atau infeksi di jaringan kulit.
Reaksi lebih parah berupa efek sistemik, yaitu demam, nyeri otot, nyeri sendi, badan lemah, dan sakit kepala. KIPI diklasifikasikan serius apabila menimbulkan kebutuhan rawat inap, gejala sisa yang menetap, hingga mengancam keselamatan jiwa.
Munculnya KIPI bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Reaksi KIPI juga umum ditemukan pada vaksinasi di luar Covid-19. Vaksinasi merupakan salah satu upaya pencegahan yang direkomendasikan UNAIDS untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Dengan mengikuti pemeriksaan awal sebelum melakukan vaksinasi dan pemantauan setelah melakukan vaksinasi, efek samping pemberian vaksin Covid-19 dapat diminimalkan.
Pengobatan
Selain penerapan disiplin kesehatan dan melakukan vaksinasi, ada hal utama yang tetap harus dijalankan oleh orang dengan HIV dan orang dengan AIDS di masa pandemi. Mereka harus terus menjalani pengobatan antiretroviral.
Antiretroviral merupakan bagian dari pengobatan HIV dan AIDS yang sudah digunakan sejak 1996 untuk mengurangi risiko penularan HIV dan menurunkan jumlah virus dalam darah. Meskipun belum mampu menyembuhkan HIV secara menyeluruh, terapi ARV dapat menurunkan angka kematian sehingga kasus HIV dan AIDS dapat dikendalikan.
Namun, untuk menjalani terapi antiretroviral, diperlukan syarat kepatuhan yang tinggi dalam menjalani pengobatan. Kepatuhan ini diperlukan untuk menurunkan replikasi virus dan menurunkan risiko transmisi HIV. Selain dari faktor individu orang dengan HIV untuk tekun menjalani pengobatan, faktor kepatuhan juga harus didukung akses pengobatan dan ketersediaan obat ARV.
Di masa pandemi Covid-19 ini, dua hal tersebut (ketersediaan dan akses) harus menjadi perhatian utama otoritas kesehatan dan pemerintah daerah untuk dapat menjamin keberlangsungan terapi antiretroviral. Bagi orang dengan HIV dan orang dengan AIDS yang menggunakan obat-obatan antiretroviral disarankan untuk memastikan ketersediaan obat ARV paling sedikit untuk pemakaian minimal 30 hari atau beberapa bulan ke depan.
Untuk memiliki stok hingga beberapa bulan, orang dengan HIV memerlukan dukungan pemerintah, rumah sakit, dan institusi farmasi. Demikian pula dengan akses layanan pengobatan. Rumah sakit dapat bekerja sama dengan klinik, poliklinik, atau jaringan pendamping HIV/AIDS untuk menjamin layanan terapi dapat berjalan rutin dan tidak putus. Salah satu contohnya dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melakukan layanan mobile atau pelayanan di luar puskesmas.
Langkah mendasar yang harus diketahui oleh orang dengan HIV adalah mengenali gejala penyakit Covid-19.
Protokol pelaksanaan layanan HIV/AIDS selama pandemi Covid-19 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan memberikan petunjuk pemberian persediaan obat ARV untuk masa 2-3 bulan dapat dipertimbangkan bagi orang dengan HIV dan orang dengan AIDS yang stabil dan yang tinggal di wilayah episentrum Covid-19.
Selain keberlanjutan pengobatan antiretroviral, catatan lain yang juga penting dilakukan dalam rangkaian pengobatan di masa pandemi ini adalah ajakan bagi mereka yang berisiko mengalami penularan HIV untuk segera memeriksakan diri agar dapat segera tertangani. Demikian pula bagi orang dengan HIV yang belum pernah mendapatkan pengobatan dapat segera mengikuti terapi ARV.
Baca juga : Penanganan HIV/AIDS Jauh dari Target
Semakin cepat terdeteksi dan mendapat pengobatan akan membuat orang yang hidup dengan HIV tetap berdaya di masa pandemi Covid-19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 87 Tahun 2014 menegaskan pentingnya melakukan pemantauan dalam enam bulan pertama terapi ARV. Perbaikan klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain untuk mengawasi kemungkinan terjadinya sindrom pulih imun.
Pengobatan yang dilakukan bukan hanya bermanfaat untuk mengurangi risiko penularan dan mencegah makin buruknya infeksi, melainkan juga meningkatkan kualitas hidup orang dengan HIV dan orang dengan AIDS. Di tengah pandemi Covid-19 yang masih belum tertangani, infeksi ganda dari keberadaan virus korona dapat mengancam keselamatan seseorang yang hidup dengan HIV tetapi tanpa dibekali pengobatan yang memadai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Memetakan Permasalahan HIV dan AIDS di Indonesia