Soe Hok Gie, Universitas Indonesia, dan Gelombang Surut Demokrasi
Tulisan Soe Hok Gie di Kompas 55 tahun silam perlu kembali dimaknai dalam konteks kekinian. Soe Hok Gie mengingatkan kita bahwa lingkungan universitas harus tetap independen dan bebas dari intervensi politik.
Agustus 1966, Soe Hok Gie, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, pernah menulis di harian Kompas bertajuk “Antara Kemerdekaan Intelektuil dan Instruksi Partai”.
Melalui tulisan ini, Gie menyoroti persoalan di China yang melakukan gerakan pembersihan intelektual demi kepentingan politik. Tulisan Soe Hok Gie seakan menjadi alarm bagi kaum intelektual di Indonesia untuk berhati-hati pada pusaran kepentingan politik elite.
Tulisan Soe Hok Gie dimuat dalam dua seri pada Sabtu, 20 Agustus 1966, dan Senin, 22 Agustus 1966. Secara panjang dan lebar, Gie menjelaskan duduk persoalan yang terjadi di China dengan fokus pandangan dari sisi kebebasan intelektual.
Tulisan ini diawali dengan kutipan Lin Hsi-Ling, seorang mahasiswi yang menjadi tokoh pemberontakan mahasiswa di Universitas Peking pada tahun 1957. Usai pemberontakan, nasib Lin Hsi-Ling tidak diketahui.
“Kita adalah orang-orang yang jujur. Orang jujur terdapat di mana-mana dan kita akan bersatu,” tulis Gie sebagaimana yang pernah disampaikan Lin Hsi-Ling.
Melalui kutipan ini, Gie seakan ingin menggambarkan posisi mahasiswa yang berupaya sekuat mungkin mempertahankan idealisme di tengah beragam kepentingan. Wajar, jika kalimat tentang kejujuran menjadi petikan yang digunakan oleh Gie untuk menggambarkan pentingnya idealisme di kalangan mahasiswa.
Salah satu bagian terpenting dalam tulisan yang diangkat oleh Gie adalah tentang kebebasan intelektual yang dicampuri oleh kekuatan elite politik di China saat itu. Mahasiswa dan kalangan intelektual lainnya diminta untuk melakukan kritik oleh elite politik terhadap segala hal yang dianggap kurang baik.
Intervensi politik ini berbuah pada gelombang aksi kritik dari kalangan mahasiswa. Bahkan, menurut informasi yang diterima oleh Gie dari rombongan mahasiswa Indonesia yang telah kembali dari Peking tahun 1966, mahasiswa di Peking juga diperintahkan untuk memukuli tenaga pengajar yang dianggap berbahaya bagi partai.
Namun, pesatnya gelombang aksi protes pada akhirnya membuat khawatir elite partai karena dinilai membawa nilai-nilai demokrasi. Pada akhirnya, dilakukan pengendalian pemikiran secara ketat guna meredam gerakan intelektual agar tidak membahayakan kepentingan elite. Mimbar akademik secara perlahan mulai dibungkam.
Baca juga: Mahasiswa, Rektor, dan Pusaran Kritik Penguasa
Telaah jiwa zaman
Tulisan Gie sepanjang 32 paragraf ini tentu bukanlah karya kosong yang hanya bercerita tentang persoalan yang terjadi di China semata. Di baliknya, terselip banyak makna yang seolah ingin disampaikan Gie di tengah revolusi kebudayaan yang terjadi di China.
Memang, secara eksplisit Gie tidak menyinggung atau mengaitkan situasi di China dengan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia. Namun, tulisan yang muncul di tengah-tengah situasi peralihan kekuasaan antara Soekarno dan Soeharto, menyiratkan suatu pesan khusus yang ingin disampaikan oleh Gie terkait mimbar kebebasan akademik.
Melalui kisah dunia intelektual di China yang disusupi oleh kepentingan politik, Gie mencoba untuk memberi cermin bagi dunia akademik di Indonesia untuk berhati-hati agar situasi serupa tidak terjadi.
Apalagi, di tengah peralihan kekuasaan, posisi mahasiswa, kampus, dan dunia intelektual yang ada di baliknya berada dalam ranah abu-abu yang bisa saja ditarik pada kepentingan elite.
Dengan memahami jiwa zaman yang dihadapi oleh Gie, arah tulisan yang disampaikan saat itu terlihat jelas. Selain untuk menampilkan bencana politik yang dihadapi oleh kaum intelektual di China, Gie ingin memberi pesan bagi kalangan mahasiswa dan dunia akademik agar tidak mudah terseret dalam arus gelombang politik baru yang akan dihadapi oleh mahasiswa.
Gie memang beberapa kali melakukan hal serupa dalam beragam tulisan lainnya yang dimuat pada harian Kompas. Cara ini digunakan untuk memberikan pesan sekaligus membuka wawasan masyarakat tentang situasi yang terjadi di dunia internasional.
Baca juga: Pergulatan dengan Kekuasaan
Gelombang surut
Pesan tersirat yang disampaikan oleh Gie tentang bahaya intervensi politik pada ranah akademik akhirnya benar-benar terjadi tak lama setelah ia meninggal dunia di Mahameru, puncak Gunung Semeru, Jawa Timur, pada Desember 1969. Kepentingan politik benar-benar merasuk ke ranah akademik dan membatasi ruang kritik mahasiswa. Dampaknya, terjadi gelombang surut demokrasi.
Mengapa disebut gelombang surut demokrasi?
Runtuhnya rezim pemerintahan Soekarno pada awalnya sempat membuahkan harapan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia pada kalangan mahasiswa. Apalagi, sejak 1959, Soekarno telah menerapkan praktik demokrasi terpimpin yang dikritik secara tegas oleh Mohammad Hatta dan sejumlah kalangan mahasiswa. Dengan situasi ini, peralihan kekuasaan tentu memunculkan harapan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Sejak 1966 hingga 1970-an, gerakan mahasiswa juga mengalami gelombang pasang seiring runtuhnya rezim Orde Lama. Gerakan kemahasiswaan dari internal dan eksternal kampus masing-masing menunjukkan eksistensinya. Puncaknya adalah saat terjadinya aksi protes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1973 dan peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
Sayangnya, gerakan mahasiswa setelah itu seketika berubah menjadi gelombang surut seiring pengekangan gerakan pada rezim pemerintahan berikutnya. Seperti yang dikhawatirkan Gie, intervensi politik akhirnya dialami oleh kalangan intelektual di Indonesia.
Mahasiswa harus berhadapan dengan sejumlah kebijakan yang membatasi ruang kritis mereka. Normalisasi Kehidupan Kampus adalah salah satu kebijakan yang pada akhirnya membungkam ruang kritis mahasiswa.
Kebijakan ini lahir melalui Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef.
Pemerintah secara jelas terlihat melakukan intervensi politik dengan masuk ke ranah kehidupan universitas. Mahasiswa pun dilarang untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan politik.
Baca juga: Jalan Sunyi Seorang Cendekiawan-Aktivis
Alam reformasi
Persis seperti peralihan orde lama ke orde baru, gelombang pasang gerakan mahasiswa kembali terlihat saat peralihan rezim antara Orde Baru dengan Reformasi. Gerakan mahasiswa kembali menunjukkan eksistensinya.
Di tengah euforia ini, timbul pertanyaan, apakah kehidupan kampus benar-benar steril dari kepentingan penguasa?
Jawabannya tentu tidak. Ragam kepentingan masih menyelinap masuk ke ranah kampus-kampus di Indonesia.
Tengok saja peraturan pemerintah yang mengatur kehidupan kampus pada awal periode reformasi. Peraturan Pemerintah Nomor 152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara, misalnya, melalui aturan ini, pemerintah menempatkan menteri sebagai salah satu unsur dalam Majelis Wali Amanat (MWA).
MWA memiliki sejumlah tugas seperti mengangkat dan memberhentikan rektor, menetapkan kebijakan umum universitas, hingga mengesahkan rencana kerja dan anggaran tahunan universitas. Dengan adanya pejabat politik dalam struktur MWA, tentu membuka ruang intervensi kebijakan politik di lingkungan universitas.
Terbaru, intervensi kebijakan pemerintah pada universitas kembali dilakukan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2000, rektor hanya dilarang merangkap jabatan sebagai direksi dalam badan usaha.
Padahal, dalam dua aturan sebelumnya pada tahun 2000 dan 2013, pimpinan universitas dilarang untuk rangkap jabatan sebagai pimpinan dan pejabat dalam badan usaha. Artinya, selain direksi, rektor juga dilarang merangkap pada jabatan lainnya dalam setiap badan usaha, baik milik negara maupun swasta.
Kondisi ini tentu menjadi lampu kuning bagi mimbar akademik di Indonesia. Apalagi, pada saat yang hampir bersamaan, terdapat upaya untuk membungkam gerakan mahasiswa saat BEM UI melakukan kritik melalui media sosial.
Pesan tersirat dalam tulisan Soe Hok Gie 55 tahun silam perlu kembali dimaknai dalam konteks kekinian agar lingkungan universitas tetap independen dan bebas dari intervensi politik dalam bentuk apapun.
Jangan sampai, mimbar akademik di Indonesia mengulangi pengalaman pahit para mahasiswa di China saat revolusi kebudayaan seperti yang ditulis Gie tahun 1966 silam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?