Kebijakan PPKM darurat gagal memenuhi enam target yang ditetapkan. Pelonggaran kegiatan masyarakat disinyalir justru akan membuka peningkatan kasus yang selama PPKM darurat belum maksimal dilakukan.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Polisi mengajukan pertanyaan kepada pengguna truk yang memasuki perbatasan Jawa Tengah-DI Yogyakarta di Kecamatan Tempel, Sleman, DIY, Rabu (14/7/2021). Pengendara yang tidak dapat menunjukkan sertifikat vaksin Covid-19, surat keterangan hasil uji usap, dan surat jalan diwajibkan berbalik arah menuju tempat asal. Pemeriksaan di perbatasan provinsi diperketat seiring semakin meningkatnya penyebaran Covid-19.
Sepanjang dua setengah minggu pelaksanaan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat, hampir tak ada target yang mampu dicapai oleh pemerintah.
Walhasil, kebijakan ”darurat” ini pun nyaris tak berpengaruh sama sekali terhadap laju persebaran Covid-19. Jika tak ingin mendulang lebih banyak korban jiwa, pemerintah perlu segera melakukan langkah yang lebih konkret.
Selama pelaksanaan PPKM Darurat pada 3-20 Juli, setidaknya terdapat enam target yang ingin dicapai pemerintah. Keenam target tersebut ialah menambah testing, meningkatkan pelacakan (tracing), menekan kasus positif harian, menurunkan keterisian tempat tidur RS (bed occupancy rate/BOR), menggenjot laju vaksinasi, dan mengurangi mobilitas masyarakat. Dari keenam target tersebut, hanya target vaksinasi saja yang sempat berhasil dicapai pemerintah.
Tentunya, perkembangan vaksinasi ini perlu diapresiasi. Meski belum konsisten, pemerintah mampu menepati janji satu juta vaksin dalam sehari. Bahkan, jumlah vaksinasi pernah sampai menebus lebih dari 2,4 juta dalam sehari pada 14 Juli lalu. Sayangnya, keberhasilan pengendalian Covid-19 tak akan bisa dicapai dengan menggenjot vaksinasi saja.
Dalam semua model pengendalian pandemi, testing merupakan langkah awal yang sangat esensial agar mendapat gambaran yang akurat atas seberapa jauh virus telah merebak.
Sayangnya, dalam aspek ini, pemerintah masih jauh dari kata berhasil. Tak dapat dimungkiri, selama PPKM darurat, terdapat perbaikan soal jumlah tes harian. Dengan rerata tes harian sebanyak 139.000 orang per hari, pemerintah mampu meningkatkan tes lebih dari 40 persen dari sebelumnya yang sulit menembus 100.000 orang per hari.
Persoalannya, capaian ini masih sangat tidak konsisten. Di titik tertinggi pada 15-17 Juli, jumlah tes bisa ditingkatkan hingga 159.000-188.000 orang per hari. Namun, di titik terendah pada 4-5 Juli, jumlah tes masih berada di bawah angka 100.000 orang per hari.
Tak hanya itu, tiga hari terakhir sebelum perpanjangan PPKM darurat, jumlah tes justru menurun drastis hingga berada di kisaran 127.000-114.000 orang per hari.
TANGKAPAN LAYAR
Presiden Jokowi dalam pernyataan terkait PPKM darurat yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (20/7/2021).
Selain soal inkonsistensi, jumlah tes harian ini masih jauh dari target yang diajukan oleh pemerintah. Saat pengumuman PPKM darurat, pemerintah menargetkan tes berada di kisaran 400.000-500.000 orang tiap harinya.
Artinya, rata-rata pemerintah hanya mampu memenuhi sepertiga target testing. Bahkan, di titik puncaknya, jumlah tes masih belum sampai separuh dari target awal.
Ketidakmampuan pemerintah meningkatkan tes sejalan dengan kegagalannya dalam melakukan tracing. Hingga 20 Juli, rerata rasio kontak erat provinsi se-Jawa dan Bali masih berada di angka 1,26 atau termasuk dalam kategori terbatas (<5).
Artinya, dari satu orang terkonfirmasi, tak sampai dua orang kontak erat yang di lacak. Capaian ini tentu sangat jauh dari target awal, yakni setidaknya 14 orang kontak erat dilacak per satu kasus terkonfirmasi.
Kegagalan dalam hal memenuhi testing dan tracing dapat diartikan bahwa pemerintah sesungguhnya masih buta akan seberapa parah situasi di lapangan. Situasi ini diperparah dengan impotensi kebijakan PPKM darurat untuk menekan mobilitas masyarakat.
Meski pemerintah telah mencanangkan peraturan yang relatif lebih ketat dibandingkan dengan pembatasan sosial sebelumnya, nyatanya perubahan mobilitas warga sebelum PPKM darurat diberlakukan masih minim.
Salah satu sumber yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat perubahan mobilitas masyarakat ialah Google Mobility Report. Laporan ini melihat aktivitas masyarakat di beberapa titik lokasi, seperti perkantoran, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, dan area residential melalui ponsel yang terintegrasi dengan layanan Google Mobile Service.
Berdasarkan data dari laporan tersebut, pemerintah hanya mampu mengurangi mobilitas masyarakat rata-rata sekitar 12,5 persen di provinsi yang terdampak kebijakan PPKM darurat.
Di satu sisi, kebijakan PPKM darurat yang membatasi kendaraan umum memang menurunkan kepadatan di titik transit, misalnya stasiun dan terminal bus. Namun, pembatasaan kegiatan bekerja ternyata belum terlalu berdampak karena penurunan kepadatan di area perkantoran rata-rata masih berada di bawah 10 persen. Hal ini juga diperkuat dengan tipisnya peningkatan kegiatan di area residensial dengan rata-rata di bawah 5 persen.
Menimbang kegagalan pemerintah dalam memenuhi beberapa target tersebut, tak mengherankan jika situasi pandemi masih jauh dari kata terkendali selama pelaksanaan PPKM darurat. Dilihat dari perkembangan penambahan kasus positif harian saja, situasi pandemi di Indonesia tampak sangat mengerikan.
PPKM darurat dimulai ketika kasus positif harian di Indonesia berada di angka 27.000. Tak sampai dua minggu setelahnya, kasus positif harian sudah lebih dari dua kali lipatnya di angka lebih dari 56.000.
Tren kasus positif harian di atas 50.000 ini terus berlanjut dua hari selanjutnya hingga kemudian melandai di kisaran 38.000. Perkembangan situasi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target pemerintah untuk menurunkan kasus positif harian hingga di bawah 10.000 di akhir pelaksanaan PPKM.
Dengan nihilnya penambahan tes yang signifikan dan kian tingginya kasus positif harian, positivity rate di Indonesia pun meroket. Di awal pelaksanaan PPKM darurat, positivity rate di Indonesia berada di kisaran 25 persen dengan tes sebanyak 110.000 dan kasus positif harian di angka 27.000.
Selama dua setengah minggu, rasio positif ini terus menanjak hingga lebih dari 33 persen. Jika dirata-rata, rasio positif selama PPKM darurat masih berada di kisaran 28,8 persen atau nyaris tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan target pemerintah di angka 10 persen.
Gambaran dari kegentingan situasi pandemi di Indonesia juga dapat dilihat dari tingkat BOR. Sebelumnya, hampir semua RS di tiap provinsi se-Jawa dan Bali penuh, dengan keterisian kasur di atas 80 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa faskes di daerah tersebut sudah tak mampu menampung pasien baru.
Melihat situasi ini, pemerintah pun menargetkan angka BOR bisa di bawah 65 persen atau sedikit di atas ambang batas WHO agar kematian dapat ditekan. Sayangnya, selama PPKM darurat dijalankan, tak satu provinsi pun mampu menekan BOR hingga di bawah 75 persen. Bahkan, Bali yang sebelumnya relatif aman dengan BOR sebesar 46 persen justru semakin gawat dengan BOR melonjak di angka 75 persen.
Dengan pertumbuhan kasus yang melambung tinggi, kolapsnya faskes otomatis akan membuat risiko kematian akibat Covid-19 meningkat tajam. Asumsi ini berubah menjadi realita di Indonesia ketika angka kematian semakin membesar tiap harinya.
Selama PPKM darurat, Indonesia telah menyaksikan delapan kali rekor kematian harian mulai dari 555 jiwa hingga 1.338 jiwa. Bahkan, empat dari delapan rekor tersebut terjadi secara berturut-turut pada 4-7 Juli silam.
Situasi kelam selama dua setengah minggu terakhir selama penerapan PPKM darurat ini semestinya cukup untuk menyadarkan pemerintah bahwa kebijakan yang tak efektif harus dibayar dengan nyawa yang melayang.
Terlepas dari vaksinasi, tak ada janji pemerintah di awal yang mampu ditepati. Upaya yang dilakukan pun masih tak berimbang dengan target yang ingin dicapai. Bahkan, untuk memenuhi separuh dari target pun pemerintah masih kesusahan.
Selama PPKM darurat ini kita belajar bahwa perburukan dapat tereskalasi dengan sangat cepat. Membohongi diri bahwa situasi masih terkendali tidak akan membuat pasien sembuh dan tak akan membuat virus tiba-tiba menghilang. Kesadaran dan kebesaran hati untuk menerima bahwa situasi sedang gawat justru akan memberikan pesan kewaspadaan yang positif bagi masyarakat.
Maka, meski jauh dari kata berhasil, PPKM darurat seharusnya bisa dijadikan pijakan awal pemerintah untuk membangun langkah penanganan pandemi yang konsisten.
Jangan terlena dengan penurunan sesaat sehingga terlampau cepat melakukan relaksasi demi mengejar kepentingan ekonomi. Sebab, tak ada kepentingan ekonomi apa pun yang lebih penting dari nyawa seorang warga negara. (LITBANG KOMPAS)