Tantangan Pelestarian Cagar Budaya di Tengah Pandemi
Cagar budaya adalah warisan yang perlu memperoleh perhatian dalam situasi apapun, termasuk di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Sebagai investasi alam pikir dan alam rasa dari masa lampau yang perlu dikembangkan.
Pandemi Covid-19 memberi tantangan tersendiri dalam upaya pelestarian cagar budaya di Indonesia. Sebagai investasi alam pikir dan alam rasa dari masa lampau, pelestarian cagar budaya menjadi pekerjaan rumah yang tak kalah penting untuk diperhatikan di tengah pandemi.
Isu tentang cagar budaya memang kalah populer dibandingkan sejumlah isu lainnya selama pandemi Covid-19. Terakhir, isu ini ramai diperbincangkan di Indonesia pada pertengahan 2019, atau enam bulan sebelum ditemukannya kasus positif Covid-19 di China.
Saat itu, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), menetapkan Ombilin Coal Mining Heritage atau Warisan Tambang Batubara Ombilin di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, sebagai warisan budaya dunia.
Sayang, euforia ini tidak berlangsung lama. Akibat pandemi Covid-19, masyarakat seakan berjarak secara fisik dengan cagar budaya seiring kebijakan pembatasan mobilitas penduduk yang diterapkan. Sebelum pandemi, peninggalan bersejarah dapat dinikmati melalui beberapa obyek wisata.
Baca juga : Ironi Peringatan World Heritage Day di Indonesia
Walakin, pembatasan sosial yang beberapa kali dilakukan memaksa masyarakat menahan diri untuk melakukan kegiatan wisata, termasuk ke berbagai situs peninggalan bersejarah yang ada di Indonesia.
Meski secara fisik jarang dikunjungi akibat pembatasan mobilitas, sebagai warisan budaya bangsa, peninggalan bersejarah di Indonesia semestinya tetap memperoleh perhatian di tengah pandemi Covid-19. Apalagi Indonesia memiliki ribuan peninggalan bersejarah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Merujuk data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 2020 lalu terdapat 176 cagar budaya nasional yang tersebar pada 25 provinsi di Indonesia. DKI Jakarta (43 cagar budaya), Jawa Tengah (24), dan Sumatera Barat (21) adalah tiga wilayah dengan jumlah cagar budaya nasional terbanyak di Indonesia.
Cagar budaya nasional adalah peninggalan bersejarah yang telah ditetapkan oleh menteri sebagai prioritas nasional dalam upaya pelestarian cagar budaya. Cagar budaya yang termasuk dalam peringkat nasional terdiri dari benda, bangunan, situs, struktur, dan kawasan bersejarah.
Benda dan bangunan bersejarah mendominasi cagar budaya nasional Indonesia. Hingga 2020 lalu, terdapat 53 benda cagar budaya serta 57 bangunan cagar budaya.
Benda cagar budaya adalah benda alam ataupun buatan manusia yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah manusia di masa lampau. Sementara bangunan cagar budaya merupakan susunan dari benda bersejarah untuk memenuhi suatu ruang, baik berdinding ataupun tidak berdinding.
Selain cagar budaya yang menjadi prioritas nasional, setiap provinsi di Indonesia juga memiliki cagar budaya dengan jumlah yang jauh lebih besar. Hingga tahun 2020, terdapat 1.635 cagar budaya yang tersebar pada berbagai daerah di Indonesia.
Tiga daerah dengan jumlah cagar budaya terbesar adalah Jawa Tengah (273), Sumatera Barat (244), dan DKI Jakarta (227). Ketiga wilayah ini memang menyimpan banyak catatan sejarah perjalanan bangsa, sehingga memiliki berbagai peninggalan bersejarah yang ditetapkan sebagai cagar budaya.
Baca juga : Lasem Menuju Penetapan Kawasan Cagar Budaya
Pelindungan
Banyaknya jumlah cagar budaya di Indonesia tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Di baliknya, terdapat warisan budaya dan harkat martabat bangsa yang harus dirawat. Di tengah pandemi sekalipun, pelestarian cagar budaya tetap menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Upaya pelestarian cagar budaya tidak hanya sebatas merawat. Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, lingkup pelestarian mencakup pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.
Pertama, dari sisi pelindungan, cagar budaya harus dilindungi dari berbagai macam bentuk kerusakan. Pelindungan dapat dilakukan melalui pengamanan, pemeliharaan, zonasi, hingga pemugaran.
Sepanjang pandemi, pelindungan cagar budaya perlu memperoleh perhatian khusus. Pasalnya, terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang mengalami kerusakan. Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, terdapat gedung bekas Penjara Kalisosok yang sempat mengalami kerusakan hingga Maret 2021 lalu.
Upaya pelindungan juga sempat menjadi perhatian khusus terhadap sejumlah situs cagar budaya di Bali. Minimnya jumlah pengunjung berdampak pada persoalan pada bidang perawatan, khususnya kebersihan.
Kondisi ini tampak ke permukaan. Sejumlah peninggalan bersejarah yang belum berstatus sebagai cagar budaya, boleh jadi berhadapan dengan persoalan serupa.
Apalagi, pemerintah daerah juga melakukan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19, sehingga bisa berdampak pada minimnya anggaran pelindungan peninggalan bersejarah.
Bale Adat Sembalun di Nusa Tenggara Barat, misalnya, sejak mengalami kerusakan akibat gempa 2018 lalu, hingga kini masih butuh perhatian dan upaya perbaikan. Kebutuhan anggaran untuk penanganan Covid-19 menjadi salah satu kendala pemerintah daerah melakukan upaya perbaikan.
Di tengah pandemi sekalipun, pelestarian cagar budaya tetap menjadi hal yang perlu diperhatikan.
Pengembangan dan pemanfaatan
Selain pemeliharaan, tantangan berikutnya dalam upaya pelestarian cagar budaya di tengah pandemi adalah dari sisi pengembangan dan pemanfaatan. Upaya pengembangan dilakukan dengan cara peningkatan potensi nilai, informasi, maupun promosi cagar budaya. Selain itu, pengembangan juga dapat dilakukan melalui penelitian, revitalisasi, hingga adaptasi sesuai kebutuhan.
Sementara dari sisi pemanfaatan, cagar budaya dapat didayagunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Cagar budaya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, kebudayaan, hingga pariwisata. Syaratnya, kelestarian cagar budaya tetap harus terjaga dan dipertahankan.
Di tengah pandemi, upaya pengembangan dan pemanfaatan menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi di tengah pembatasan mobilitas penduduk. Pada sektor pemanfaatan bidang pariwisata, misalnya, ruang gerak masyarakat yang terbatas berdampak pada rendahnya kunjungan ke situs maupun bangunan cagar budaya di sejumlah wilayah.
Di DKI Jakarta, contohnya, Badan Pusat Statistik mencatat kunjungan ke gedung Museum Nasional pada tahun 2020 lalu merosot tajam hingga 78 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Jika pada tahun 2019 terdapat 305.086 pengunjung, maka tahun 2020 hanya terdapat 67.088 pengunjung. Gedung Museum Nasional adalah salah satu bangunan cagar budaya peringkat nasional yang dimiliki oleh Indonesia.
Kondisi yang sama juga terjadi di Sawahlunto, Sumatera Barat. Kunjungan ke museum kereta api pada tahun 2020 turun tajam hingga 72 persen dibandingkan jumlah kunjungan tahun 2017. Museum kereta api adalah bangunan stasiun kereta yang sejak tahun 2005 diresmikan sebagai museum. Dahulu, stasiun ini digunakan sebagai sarana pengangkutan batu bara.
Untuk menyiasati keterbatasan selama pandemi, sejumlah pemerintah daerah dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) telah mencoba berinovasi untuk tahap pengembangan maupun pemanfaatan. BPCB Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, pada tahun Oktober 2020 lalu melakukan kegiatan jelajah budaya virtual.
Kegiatan ini mengusung tema “Cagar Budaya: Eksistensi, Nilai Penting, dan Pelestariannya untuk Memperkuat Kepribadian Bangsa”. Para peserta diajak menjelajahi candi secara virtual yang dipandu oleh arkeolog, konservator, hingga pengkaji pelestarian cagar budaya.
Upaya diseminasi informasi juga dilakukan oleh BPCB Sumatera Barat. Melalui media sosial, informasi tentang cagar budaya disampaikan dengan desain kekinian yang menarik bagi anak muda. Inovasi ini semakin mendekatkan masyarakat, khususnya anak muda untuk mengenal warisan budaya leluhur.
Bagaimanapun, cagar budaya adalah warisan yang perlu memperoleh perhatian dalam situasi apapun. Cagar budaya bukan hanya sekadar peninggalan bersejarah, melainkan investasi alam pikir dan alam rasa dari masa lampau yang perlu dikembangkan untuk masa kini dan masa yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?