Mengulang Pilkada Ulang
Pemungutan suara ulang di pilkada menjadi salah satu mekanisme evaluasi dari hasil kontestasi yang diwarnai kecurangan. Potensi hasil pilkada ulang tetap terbuka untuk kembali dipermasalahkan.
Pemungutan suara ulang dalam pemilihan kepala daerah menjadi salah satu mekanisme evaluasi dari hasil kontestasi yang salah satunya dipicu terjadinya pelanggaran.
Meskipun demikian, hasil pilkada ulang bukan jaminan menjadi hasil akhir sebab gugatan mengulang pilkada ulang juga terbuka lebar sebagai konsekuensi atas demokrasi prosedural yang selama ini disepakati.
Setidaknya fenomena ini bisa kita lihat dari kasus pemilihan kepala daerah di Provinsi Kalimantan Selatan pada 9 Desember 2020. Pemilihan gubernur ini diikuti oleh dua pasangan calon, yakni pasangan Sahbirin Noor-Muhidin yang diusung koalisi Golkar, PAN, PDI-P, PKS, Nasdem, dan PKB dan pasangan Denny Indrayana-Difriadi yang diusung koalisi Gerindra, Demokrat, dan PPP.
Hasil pilkada menetapkan pasangan Sahbirin-Muhidin sebagai peraih suara terbanyak dengan mengumpulkan 50,24 persen suara, mengalahkan pasangan Denny-Difriadi dengan perolehan 49,76 persen suara. Atas hasil ini, pasangan Denny-Difriadi mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena mencurigai adanya kecurangan dalam pilkada.
Hasilnya, MK pun memutuskan untuk mengabulkan gugatan pasangan ini dan memerintahkan penyelenggara pemilu untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di satu kota dan dua kabupaten, yaitu di 301 TPS di Kecamatan Banjarmasin Selatan, Kota Banjarmasin. Kemudian 502 TPS di lima kecamatan di Kabupaten Banjar, serta 24 TPS di Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin.
PSU pun digelar pada 10 Juni 2021 dan hasilnya tidak jauh berbeda dengan hasil pilkada sebelumnya. Pasangan Sahbirin Noor-Muhidin tetap unggul dengan 51,2 persen suara dan pasangan Denny Indrayana-Difriadi meraih 48,8 persen suara.
Hasil ini ternyata tidak menjadi episode akhir dari pilkada Kalimantan Selatan. Pasangan Denny-Difriadi tetap menganggap ada yang salah dalam proses pemungutan suara ulang tersebut.
Hal ini terbukti dengan langkah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Selatan, Denny Indrayana-Difriadi, yang kembali mengajukan gugatan ke MK terkait hasil pemungutan suara ulang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalsel yang sudah diajukan (Kompas, 22/6/2021).
Salah satu pertimbangan pasangan ini mengajukan gugatan adalah karena pelaksanaan PSU sarat dengan kecurangan berupa politik uang dan berbagai bentuk kecurangan lain.
Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Provinsi Jambi. Pilkada yang diikuti tiga pasangan calon ini juga harus melakukan pemungutan suara ulang di di 88 TPS di lima kabupaten di Jambi, yakni Kabupaten Kerinci, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, dan Kota Sungaipenuh.
Pasangan Al Haris-Abdullah Sani yang diusung koalisi PKB, PAN, dan PKS di pilkada 9 Desember 2020 unggul dengan meraih 601.630 suara (38,3 persen). Hasil ini digugat oleh salah satu pasangan calon lainnya ke MK yang kemudian memutuskan pilkada digelar ulang di sejumlah TPS di atas.
PSU Pilkada Jambi akhirnya digelar akhir Mei lalu yang sekali lagi hasilnya tidak berubah dengan apa yang ditetapkan oleh KPU Jambi di pilkada Desember sebelumnya. Pasangan Al Haris-Abdullah Sani tetap unggul dengan 38,3 persen suara meskipun jumlah suaranya turun sedikit menjadi 600.733.
Pasangan ini tetap mengalahkan kedua pasangan calon lainnya, pasangan Cek Endra-Ratu Munawaroh yang diusung koalisi PDI-P dan Golkar serta pasangan Fachrori Umar-Syafril Nursal yang diusung koalisi Gerindra, PPP, Hanura, dan Demokrat.
Meskipun sedikit berbeda, potensi pilkada ulang kembali diulang pernah terekam dalam sejarah pilkada di Indonesia. Sebut saja yang pernah ditorehkan di pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008. Pilkada ini digelar hingga ”tiga putaran”.
Putaran pertama digelar dengan lima pasangan calon yang hasilnya tidak ada satu pasangan calon pun yang meraih 30 persen suara. Putaran kedua pun digelar dengan mengikutsertakan dua pasangan calon peraih suara terbanyak pertama dan kedua di putaran pertama, yaitu pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf yang meraih 26,4 persen suara dan pasangan Khofifah-Mudjiono dengan 24,8 persen suara. Hasil putaran kedua Pilkada Jatim 2008 menghasilkan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf tetap unggul tipis dengan 50,2 persen suara dan pasangan Khofifah-Mudjiono dengan 49,8 persen suara.
Akibat ditengarai ada kecurangan, pasangan Khofifah-Mudjiono mengajukan gugatan ke MK yang kemudian diputuskan untuk melakukan PSU di Bangkalan dan Sampang serta penghitungan ulang perolehan suara di Pamekasan.
Dalam sejarah pilkada di Indonesia, Pemilihan Gubernur Jatim 2008 ini tercatat paling lama dan mahal karena lebih kurang Rp 800 miliar dihabiskan untuk perhelatan pilkada tiga putaran ini.
Baca juga: Hasil PSU Pilgub Kalsel Digugat ke MK
Diskualifikasi
Fenomena pilkada ulang juga terjadi pada kasus diskualifikasi pasangan calon. Di Pilkada 2020, setidaknya ada dua pilkada yang harus diulang di seluruh TPS di wilayah tersebut karena alasan diskualifikasi ini.
Keduanya diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, yakni terjadi di Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, dan Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua.
Pilkada Sabu Raijua awalnya lancar saja dengan kemenangan pasangan Orient P Riwu Kore-Thobias Uly yang diusung koalisi PDI-P, Demokrat, Gerindra dengan raihan suara mencapai 48,3 persen mengalahkan dua pasangan calon lainnya.
Salah satu pasangan calon yang kalah, yakni pasangan Taken Irianto Radja Pono-Herman Hegi Rdja Haba (jalur perseorangan), menggugat hasil pilkada yang memenangkan pasangan Orient P Riwu Kore-Thobias Uly.
Menurut penggugat, hasil pilkada ini harus dibatalkan karena ada proses dan tahapan yang dilalui sebelumnya, yakni terkait syarat kewarganegaraan dari Orient P Riwu Kore yang dinilai melanggar asas ini.
Hal ini berpedoman dari surat Konsul Jenderal Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia bertanggal 1 Februari 2021 yang menyatakan Orient P Riwu Kore masih berkewarganegaraan Amerika Serikat. Maka, secara formal pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai calon bupati menjadi cacat hukum.
Pada 15 April 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan membatalkan kemenangan calon bupati Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient Patriot Riwu Kore, akibat persoalan kewarganegaraan ini.
Orient, yang mengantongi kewarganegaraan Amerika Serikat, sempat lolos dalam tahap pencalonan, padahal syarat calon kepala daerah ialah warga negara Indonesia. MK pun memutuskan KPU untuk menggelar PSU di semua TPS tanpa melibatkan pasangan Orient P Riwu Kore-Thobias Uly.
Pada pemungutan suara ulang Pilkada Sabu Raijua 7 Juli 2021, pasangan Nikodemus N Rihi Heke-Yohanis Uly Kale yang diusung koalisi PKB dan Nasdem mendapatkan dukungan terbanyak dengan mendulang 56 persen suara.
Sementara itu, pasangan Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja Haba, yang sebelumnya menggugat ke MK atas kemenangan Orient P Riwu Kore, meraih 44 persen suara.
Status terpidana
Jika Pilkada Saibu Raijua digelar ulang karena diskualifikasi salah satu pasangan calon yang terbukti bukan warga negara Indonesia, di Pilkada Boven Digoel, salah satu pasangan calon juga didiskualifikasi karena terbukti masih berstatus sebagai terpidana.
Sebelumnya, di pilkada 9 Desember 2020, pasangan Yusak Yaluwo-Yakob Waremba yang diusung koalisi Demokrat, Golkar, Perindo berhasil memenangi pilkada dengan meraih 52,8 persen suara. Pasangan ini mengalahkan tiga pasangan lainnya.
Atas hasil pilkada ini, salah satu pasangan calon, Martinus Wagi-Isak Bangri mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendiskualifikasi pasangan Yusak Yaluwo-Yakob Weremba karena Yusak saat ditetapkan sebagai calon bupati masih berstatus terpidana kasus korupsi. Mahkamah pun mengabulkan gugatan ini dan memerintahkan KPU melakukan PSU tanpa mengikutsertakan pasangan Yusak Yaluwo-Yakob Weremba.
Kasus ini bermula dari perbedaan penafsiran antara Bawaslu dan KPU beserta jajaran di bawah sebagai pelaksana pemilihan dengan pengawas pemilihan, terutama terkait ketentuan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016 yang pelaksanaannya diatur dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Huruf f dan Ayat (2a) PKPU No 1/2020.
KPU memutuskan tidak meloloskan Yusak Yaluwo sebagai calon bupati karena masih berstatus terpidana. KPU berpatokan hitungan itu dimulai sejak mantan terpidana telah selesai menjalani pidana penjara dan orang yang bersangkutan sudah tidak ada hubungan.
Tidak ada hubungan yang dimaksud dalah baik teknis (pidana) dan administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak sebagaimana dijelaskan pada Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016).
Putusan KPU ini kemudian diadukan oleh Yusak ke Bawaslu. Bawaslu kemudian mengabulkan permohonan Yusak dan meminta KPU mengesahkannya sebagai calon bupati. Bawaslu berpatokan pada terminologi ”mantan narapidana”, bukan mantan terpidana.
Dari patokan ini, Bawaslu memaknai mantan narapidana adalah seseorang yang tidak lagi menjalani pidana penjara di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, menurut Bawaslu, seseorang yang mendapatkan pembebasan bersyarat karena telah pernah menjalani pidana di dalam lembaga pemasyarakatan, maka dikategorikan sebagai mantan narapidana.
Terkait Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU No 10/2016, MK sendiri telah memutus dalam Putusan 56/PUU-XVII/2019 bertanggal 11 Desember 2019 mengenai permulaan penghitungan jangka waktu (masa jeda) lima tahun bagi mantan terpidana yang hendak mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. MK pun akhirnya memutuskan Yusak didiskualifikasi. Pemungutan suara ulang pilkada Boven Digoel pun digelar pada Sabtu (17/7/2021).
Tentu saja, peta politik dari PSU akibat diskualifikasi calon akan berbeda dengan pemungutan suara ulang yang berbasis kasus kecurangan pilkada. Jika kasus pemungutan suara ulang di Pilkada Kalimantan Selatan dan Pilkada Jambi tidak mengubah konstelasi politik karena terbukti tidak mengubah hasil pilkada, pemungutan suara ulang akibat diskualifikasi calon pasti akan melahirkan pemenang pilkada yang berbeda.
Pemungutan suara ulang Pilkada Kabupaten Sabu Raijua sudah menghasilkan pemenang yang baru dan tentu demikian dengan pemungutan suata ulang di Boven Digoel nantinya.
Menariknya, hasil pemungutan suara ulang tetap bukan episode terakhir. Hasil ini tetap terbuka untuk kembali menjadi ajang sengketa di MK. Bukan tidak mungkin, hasil pilkada ulang akan terbuka untuk diulang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Problematika Pemilu Serentak 2024