Setelah tertunda satu tahun akibat pandemi Covid-19, pesta olahraga terbesar sejagat akan kembali digelar mulai 23 Juli 2021 di Tokyo, Jepang. Indonesia akan berpartisipasi yg ke-16 kali.
Oleh
Dwi Erianto
·5 menit baca
Ajang pesta olahraga terbesar bangsa-bangsa dunia sudah digelar sejak 1896 di Yunani. Indonesia baru berpartisipasi di ajang itu tahun 1952 atau ketika Olimpiade XV digelar di Helsinki, Finlandia. Saat pertama kali berpartisipasi, Indonesia tercatat sebagai salah satu tim terkecil dengan mengirimkan tiga atlet di cabang angkat besi, renang, dan atletik.
Sesudahnya Indonesia hampir tidak pernah absen mengirimkan atlet terbaiknya di multievent terbesar di dunia itu. Indonesia hanya dua absen, yakni pada Olimpiade XVIII di Tokyo, Jepang, tahun 1964 karena kontroversi menyangkut ajang Ganefo dan Olimpiade XXII di Moskwa, Rusia 1980, di mana Indonesia turut serta dalam boikot yang diprakarsai Amerika Serikat terkait dengan perang Soviet-Afghanistan.
Sepanjang keikutsertaan di ajang Olimpiade, Indonesia sudah mengumpulkan 32 medali, 7 di antaranya medali emas. Bulu tangkis merupakan cabang andalan dan penyumbang semua medali emas tersebut. Cabang penyumbang medali lainnya adalah panahan dan angkat besi. Adapun cabang yang pernah diikuti kontingen Indonesia ialah sepak bola, atletik, renang, tenis, menembak, dayung, tinju, balap sepeda, loncat indah, dan surfing.
Jika dirata-rata sejak pertama kali meraih medali tahun 1988 hingga Olimpiade terakhir 2016, sedikitnya Indonesia meraih 3 medali di ajang tersebut. Tiga medali itu minimal terdiri dari 1 medali emas, 1 medali perak, dan 1 medali perunggu.
Orde Lama
Selama masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia sudah tiga kali berpartisipasi di ajang tersebut, tetapi tak satu medali pun berhasil diraih atlet Indonesia. Prestasi yang cukup membanggakan dicapai cabang sepak bola putra di Olimpiade XVI di Australia, di mana tim tersebut lolos hingga babak perempat final.
Keterlibatan perdana atlet Indonesia pada Olimpiade 1952 di Helsinki, Finlandia, tidak semata mengejar prestasi, tetapi membawa misi diplomasi memperkenalkan negara Indonesia yang baru berusia 7 tahun ke dunia internasional. Indonesia mengirimkan tiga atlet terbaiknya, yakni Maram Soedarmodjo pada cabang atletik, Habib Soeharko pada cabang renang, dan Thio Ging Wie untuk angkat besi.
Dari ketiga atlet itu, Thio Ging Hwie menempati posisi ke-8 dalam angkat besi kelas ringan putra, Sudarmodjo menempati posisi ke-20 dalam lompat tinggi putra, sementara Habib Soeharko hanya mengikuti babak penyisihan renang gaya dada 200 meter putra.
Pada Olimpiade berikutnya di Melbourne, Australia, tahun 1956, Indonesia kembali berpartisipasi dengan mengirimkan 22 atlet yang terdiri dari 20 atlet laki-laki dan 2 atlet perempuan. Sebanyak 13 atlet di antaranya adalah atlet sepak bola putra.
Tim sepak bola mencatatkan prestasi fenomenal dengan lolos hingga perempat final dan berhasil menahan imbang Uni Soviet, 0-0. Namun, pada partai ulangan (replay), Indonesia kalah dari Soviet, yang akhirnya menggondol medali emas. Indonesia pulang tanpa membawa satu medali pun, sama seperti sebelumnya, tetapi nama Indonesia sudah lebih dikenal oleh bangsa-bangsa dunia.
Tahun 1960, Indonesia untuk ketiga kalinya kembali mengirimkan 22 atletnya ke Olimpiade Roma di Italia. Mereka terdiri dari 20 laki-laki dan 2 perempuan serta ambil bagian dalam kompetisi di tujuh cabang olahraga, yakni anggar, angkat besi, balap sepeda, layar, menembak, tinju, dan renang.
Sementara pada Olimpiade Tokyo Jepang 1964, Indonesia tak berpartisipasi karena mendapat sanksi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) sebagai dampak kemunculan the Games of the New Emerging Forces (Ganefo) yang digagas Presiden Soekarno pada 1963. Ajang pesta bangsa-bangsa negara berkembang itu sebagai tandingan Olimpiade.
Orde Baru
Indonesia berpartisipasi sebanyak delapan kali di ajang Olimpiade di bawah pemerintahan Orde Baru. Ajang yang berlangsung setiap empat tahun sekali itu hampir selalu diikuti Indonesia, kecuali Olimpiade XXXII Moskwa 1980, di mana Indonesia turut serta bersama Amerika Serikat dan sekutunya memboikot ajang tersebut karena perang di Afghanistan oleh Uni Soviet.
Pada masa Orde Baru, Indonesia baru bisa mendulang medali di Olimpiade XXIV di Seoul, Korea Selatan, tahun 1988. Medali pertama berupa perak disumbang dari cabang panahan oleh trio pemanah putri Indonesia, Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani. Setelah pecah telur di Korsel, di ajang-ajang berikutnya Indonesia selalu meraih medali hingga Olimpiade XXXI di Brasil pada 2016.
Partisipasi kembali Indonesia di ajang itu setelah dipulihkan keanggotaan di Komite Olimpiade Internasional (IOC). Indonesia kembali mengirimkan atlet untuk keempat kalinya di Olimpiade XIX di Meksiko 1968, sekaligus partisipasi perdana pada masa Orde Baru.
Kontingen Indonesia dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubowono IX dengan enam atlet yang berlaga di dua cabang, yakni angkat besi dan layar. Meski kembali tak meraih medali, kehadiran kontingen Indonesia di ajang Olimpiade itu berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa kondisi sosial politik di dalam negeri pascaperalihan kekuasaan tidak sampai membuat Indonesia absen dari pesta akbar tersebut.
Empat tahun kemudian, Indonesia kembali ikut serta dalam Olimpiade Muenchen 1972 dengan mengirimkan 10 atletnya di cabang tinju, atletik, loncat indah, angkat besi, dan bulu tangkis yang menjadi cabang percobaan dan pertama kalinya diperlombakan di Olimpiade. Di partisipasi untuk kelima kalinya, Indonesia kembali tanpa satu medali pun.
Hal serupa terjadi di Olimpiade Montreal, Kanada, 1976 dan Olimpiade Los Angeles, Amerika Serikat, 1984. Di Olimpiade Montreal yang digelar bulan Juli 1976, kontingen Indonesia berlaga di lima cabang olahraga, yakni panahan, atletik, tinju, angkat besi, dan renang. Sementara di Los Angeles 1984, kontingen Indonesia terdiri dari 16 atlet dan 9 ofisial berlaga di enam cabang, yakni atletik, panahan, angkat besi, tinju, renang, dan tenis.
Pada partisipasinya ke-8, Indonesia baru bisa meraih medali ketika Olimpiade ke-24 digelar di Seoul, Korea Selatan, pada 17 September-2 Oktober 1988. Trio pemanah putri Indonesia, Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani, berhasil mengalahkan tim panahan Amerika Serikat. Dengan keberhasilan tersebut, Indonesia berhasil keluar sebagai peringkat ke-2 dan berhak atas medali perak.
Perolehan satu medali perak itu menggores sejarah dalam lembaran olahraga Indonesia, yakni untuk pertama kali dalam 36 tahun, Indonesia baru dapat medali. Perolehan satu-satunya medali perak itu sekaligus menempatkan Indonesia di peringkat ke-36 dari 159 negara peserta. Keberhasilan tim panahan itu menjadi penyemangat dan mengilhami atlet-atlet lain untuk berjuang mendapatkan medali pada Olimpiade berikutnya. (LITBANG KOMPAS)