Jebakan Investasi Jerat Masyarakat Kecil
Investasi dengan keuntungan tinggi kian menjebak. Di tengah krisis keuangan saat ini, janji manis bunga tinggi terasa semakin menggiurkan. Apalagi jika terjadi di tengah pandemi Covid-19 ketika uang makin sulit dicari.
Investasi dengan keuntungan tinggi kian menjebak. Di tengah krisis keuangan saat ini, janji manis bunga tinggi terasa semakin menggiurkan. Di tengah situasi krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, uang makin sulit dicari.
Tak sedikit masyarakat berjibaku bertahan hidup dengan meminjam uang. Sebagian lainnya berupaya menambah pundi dengan berinvestasi, baik yang berisiko rendah maupun tinggi.
Seiring dengan antusiasme meminjam dan berinvestasi, jebakan penipuan pun ikut mengintai. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Juli 2021 setidaknya menutup 172 pinjaman online dan 11 entitas investasi yang beroperasi secara ilegal.
Satgas Waspada Investasi melaporkan investasi ilegal tersebut menawarkan investasi dalam bentuk perdagangan mata uang dan aset kripto tanpa izin atau bahkan memalsukan izin OJK.
Di tengah-tengah publik, problema investasi ilegal juga mengundang kekhawatiran. Hasil jajak pendapat Kompas pada awal Juli lalu merekam empat dari sepuluh responden pernah mendapatkan tawaran investasi yang mencurigakan berpotensi bodong.
Sebanyak 22,5 persen mengaku pernah ditawari melalui aplikasi pesan singkat ataupun kanal media sosial. Sementara 14,4 persen ditawari langsung oleh oknum peseorangan ataupun lembaga.
Secara khusus, 38,4 persen responden menyampaikan bahwa mereka juga mengetahui tawaran meminjam, menyimpan, ataupun investasi berkedok koperasi.
Penyertaan nama koperasi dalam upaya untuk mengelabui masyarakat tak pelak mencoreng citra baik koperasi sebagai agen pemberdaya masyarakat kecil. Apalagi, sejumlah responden juga mengaku pernah tertipu.
Baca juga: Akses Kredit untuk Rakyat
Masyarakat kecil menjadi target empuk penipuan karena memiliki ketergantungan dan kebutuhan ”uang cepat” relatif jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat berpunya. Hasil jajak pendapat ini merekam tingkat kejadian penipuan cenderung lebih banyak dialami masyarakat dari kelompok sosial ekonomi bawah.
Sebanyak 4,1 persen kelompok masyarakat dengan pengeluaran rumah tangga di bawah Rp 2 juta mengaku pernah tertipu. Kelompok responden dengan tingkat pendidikan rendah juga cenderung rentan terpapar penipuan. Persentasenya lebih tinggi dibandingkan masyarakat dengan latar ekonomi, pendidikan menengah, ataupun tinggi yang hanya berkisar 1,7 persen.
Meskipun persentase yang mengetahui adanya penipuan tak lebih dari 6 persen, ini tetap alarm bagi pengawasan jasa penyedia keuangan. Apalagi di lanskap keuangan kecil hingga mikro, mereka adalah suara-suara yang yang makin tak terdengar di tengah riuh krisis pandemi Covid-19 saat ini.
Di tengah pengawasan entitas keuangan yang masih bercelah saat ini, praktik simpan, pinjam, ataupun investasi bodong adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya, tingkat literasi keuangan masyarakat pada praktik buruk ini pun masih timpang.
Hanya 59 persen responden berpendidikan tinggi mengetahui adanya praktik gelap investasi dan 29,5 persen saja masyarakat berpendidikan rendah yang mengetahuinya.
Baca juga: Usia Muda Lebih Gemar Menabung
Jebakan investasi
Di tengah jebakan-jebakan penipuan yang memanfaatkan celah pengawasan yang masih rendah, masyarakat pun masih belum sepenuhnya memahami pengetahuan tentang pengelolaan keuangan.
Setidaknya 10,5 persen responden mengaku pernah mengalokasikan hampir seluruh uangnya untuk berinvestasi. Iming-iming keuntungan atau bunga tinggi menjadi alasan utamanya.
Perencana keuangan sekaligus kolumnis investasi harian Kompas sejak 2016, Prita Hapsari Ghozie, menjelaskan, investasi perlu dilakukan dengan sangat hati-hati.
Dana darurat dan jaring pengaman finansial, seperti asuransi kesehatan ataupun asuransi jiwa, perlu dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memulai berinvestasi.
Artinya, masyarakat yang mengalokasikan seluruh uang yang dimiliki untuk berinvestasi belum mencerminkan sikap pengelolaan keuangan yang baik. Pengalaman menginvestasikan seluruh uang untuk investasi terekam pada masyarakat di berbagai lapisan.
Dalam hal investasi, masyarakat dengan ekonomi menengah cenderung lebih berani mengambil risiko ini. Sebanyak 15,6 persen responden dengan pengeluaran bulanan antara Rp 4 juta dan Rp 7,49 juta pernah mengalokasikan hampir seluruh uang yang dimiliki untuk berinvestasi.
Menyusul kemudian di kategori responden dengan pendapatan antara Rp 2 juta dan Rp 3,99 juta sebanyak 12,6 persen. Investasi yang dimaksud, seperti untuk biaya pendidikan atau pembelian rumah.
Baca juga: Jebakan Perusahaan Pinjaman Daring Ilegal
Pengawasan
Selain meningkatkan literasi finansial, pengawasan menjadi lapisan penting untuk melindungi masyarakat dari praktik keuangan gelap. Rendahnya pengawasan atau penjaminan simpanan kepada masyarakat, khususnya dengan simpanan kecil, perlu menjadi perhatian pemerintah.
Narasi ini diharapkan menjadi pertimbangan di tengah upaya pemerintah saat ini yang masih memfokuskan pada penjaminan simpanan yang berjumlah besar.
Tak hanya investasi, masyarakat yang mencoba menyisihkan uangnya untuk menabung juga membutuhkan perhatian.
Kaum papa yang kehilangan uangnya ketika menyimpan di koperasi menjadi potret suram. Diberitakan Kompas pada 13 Juli 2021, lima anggota koperasi yang merupakan pekerja serabutan tidak dapat mengambil uangnya sebesar Rp 4,175 juta.
Uang yang terkumpul setelah susah payah menabung Rp 100.000 tiap bulan selama tiga tahun dibawa lari pengurus koperasi bersama uang anggota lainnya. Satu di antara korban penipuan dikabarkan meninggal diduga karena batinnya tertekan atas kehilangan uang tersebut.
Menjadi masyarakat miskin di negeri ini menanggung kerentanan ganda. Pengalaman ditipu yang dirasakan masyarakat bawah jauh lebih memukul di tengah jaring pengaman sosial yang ringkih.
Padahal, keinginan masyarakat untuk menabung menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), antusiasme masyarakat untuk menabung di bank umum menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir.
Pada Desember 2020 tercatat 350 juta rekening terdaftar di LPS atau naik 16,1 persen dari tahun sebelumnya. Sementara jumlahnya tercatat Rp 6.737 triliun atau naik 10 persen dari tahun sebelumnya.
Antusiasme menabung juga terekam dari 30,7 persen responden yang setiap bulan mengalokasikan uang untuk menabung. Dua dari tiga orang yang rutin menyisihkan uangnya mengalokasikan kurang dari 20 persen pendapatan bulannya, sedangkan yang lainnya menyisihkan lebih dari 20 persen. Sementara itu, 32,6 persen responden lainnya juga menyisikan anggaran untuk menabung meski tak menentu.
Di tengah antusiasme masyarakat yang makin sadar untuk memiliki jaring pengaman keuangan, pemerintah diharapkan turut andil dalam memberikan jaminan keamanan.
Tidak hanya pada entitas keuangan dengan skala besar, tetapi juga lembaga keuangan mikro yang menampung uang-uang kecil nan berharga milih mereka yang papa. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Tantangan Koperasi di Era Digital