Menyoal Konsistensi dan Kelanjutan PPKM Darurat
Peraturan pembatasan kegiatan masyarakat harus dilakukan dengan konsisten. Perubahan beberapa kali aturan terkait pembatasan berpeluang membingungkan masyarakat dan berpengaruh pada efektifitas di lapangan.
Upaya penanggulangan pandemi Covid-19 dengan pembatasan kegiatan masyarakat harus dilakukan dengan konsisten. Pengalaman penerapan pembatasan kegiatan sebelumnya perlu dijadikan acuan untuk memperkuat penegakannya agar kebijakan ini berjalan sesuai harapan.
Setelah lebih dari satu pekan penerapan, muncul wacana untuk memperpanjang masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Jika melihat tren penambahan kasus harian Covid-19 yang tak kunjung melandai, perpanjangan pembatasan dalam situasi darurat sepertinya akan menjadi pilihan yang tak terelakkan.
Laporan kasus baru Covid-19 dalam kurun sepuluh hari PPKM Darurat justru terus memecahkan rekor tertinggi hingga menyentuh lebih dari 54 ribu per hari (data per 14 Juli 2021).
Upaya penanggulangan pandemi Covid-19 dengan pembatasan kegiatan masyarakat harus dilakukan dengan konsisten
Kementerian Keuangan bahkan memperkirakan pembatasan tersebut bisa saja dilakukan selama enam minggu meskipun tentu akan berimbas pada upaya pemulihan perekonomian.
Diproyeksikan hal tersebut akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi kuartal III yang diprediksi pada kisaran 4-5,4 persen, seiring menurunnya tingkat konsumsi masyarakat selama masa pembatasan kegiatan.
Penyebaran Covid-19 yang belum juga terkendalikan bisa menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penanganan terburuk. Hal tersebut tergambar dari Indeks Pemulihan Covid-19 Nikkei Asia yang dirilis pada 9 Juli 2021 lalu, dimana Indonesia berada di peringkat 110 dari 120 negara.
Beberapa variabel yang menjadi tolak ukur indeks terkait dengan kondisi penanganan pandemi seperti manajemen infeksi, vaksinasi, dan mobilitas sosial. Termasuk pula tren kasus baru dan kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang justru terus meningkat per harinya.
Dari hasil pengukuran indeks, jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara, Indonesia hanya sedikit mengungguli Malaysia (peringkat 114) dan Thailand (peringkat 119). Capaian itu tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang masuk pada peringkat lima besar terbaik.
Selaras dengan hal itu, data yang disampaikan Kemenko Maritim dan Investasi, terkait hasil evaluasi pelaksanaan PPKM Darurat selama sepekan awal, menunjukkan belum dapat menekan mobilitas masyarakat secara signifikan. Secara rata-rata, penurunan mobilitas baru menyentuh 10-15 persen, padahal ditargetkan dengan adanya pembatasan mobilitas dapat turun hingga di atas 20 persen.
Belum tercapainya hasil seperti yang diharapkan, semestinya menjadi tolak ukur pemerintah untuk kembali melakukan pembenahan secara menyeluruh untuk penguatan regulasi hingga realisasi penegakkan aturan di lapangan.
Baca juga : Ironi di Tengah Pembatasan Mobilitas
Konsistensi aturan
Dalam kurun seminggu masa penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, pemerintah telah mengeluarkan enam aturan untuk memperketat pelaksanaan pembatasan kegiatan.
Namun demikian, rentetan aturan yang dikeluarkan setelah masa PPKM berjalan justru membuat banyak penyesuaian dan sosialisasi berulang dilakukan. Jika sudah begitu, terindikasi lemahnya kematangan rencana dan persiapan yang dilakukan pemerintah saat hendak memberlakukan kebijakan pembatasan darurat.
Mulanya, PPKM Darurat untuk wilayah Jawa-Bali mengacu pada Instruksi Mendagri (Inmendagri) No.15/2021 yang memuat aturan teknis pelaksanaan pembatasan kegiatan, daftar daerah yang melaksanakan pembatasan kegiatan, hingga sanksi kepada pelanggar.
Sesaat setelah aturan tersebut diumumkan, masih pada hari yang sama pemerintah justru kembali menerbitkan Inmendagri No.16/2021 guna merevisi beberapa hal yang tercantum pada Diktum sanksi.
Selanjutnya terbit Inmendagri No.17/2021 yang mengatur penerapan PPKM Mikro dan optimalisasi posko penanganan di tingkat desa dan kelurahan. Kebijakan ini sebetulnya penegasan dari aturan pembatasan sebelumnya yang sudah dilakukan, namun dalam skala pembatasan yang lebih kecil, seperti di tingkat lingkungan RT, RW, dan lainnya. Termasuk pula membentuk posko untuk kesiagaan penanggulangan kasus Covid-19 di akar rumput.
Beberapa hari berjalan, pemerintah kembali menerbitkan Inmendagri No.18/2021 untuk kembali merevisi aturan PPKM Darurat yang telah dikeluarkan sebelumnya. Dalam revisi kedua ini, terdapat perubahan dalam Diktum Ketiga terkait dengan pengelompokan sektor esensial dan kritikal.
Pembetulan pada aturan ini sebetulnya tak terlepas dari dinamika penerapan aturan pembatasan di lapangan yang sering memicu perdebatan menyoal sektor kegiatan yang boleh beroperasi sepanjang PPKM Darurat.
Tak sampai di situ, perubahan pada Diktum aturan PPKM kembali dilakukan untuk ketiga kalinya melalui Inmendagri No.19/2021. Kali ini revisi dilakukan pada poin aturan yang melarang tempat ibadah untuk mengadakan kegiatan peribadatan berjamaah selama masa PPKM Darurat.
Baca juga : Perpanjang PPKM, DKI Tunggu Pusat
Selain itu, pembetulan juga dilakukan pada aturan pelaksanaan resepsi pernikahan yang mulanya diperkenankan dengan tamu sangat terbatas menjadi tidak diperkenankan sama sekali.
Terakhir, pembetulan juga dilakukan pada peraturan PPKM Mikro dengan diterbitkannya Inmendagri No.20/2021 tentang Perubahan Inmendagri No.17/2021.
Dalam instruksi menteri terbaru ini, pemerintah menetapkan daerah PPKM Mikro yang berada pada situasi penularan Covid-19 yang tinggi atau berada pada zona level empat untuk menaikkan status menjadi PPKM Darurat.
Daerah dengan zona level empat artinya jumlah kasus Covid-19 lebih dari 150 kasus per 100 ribu penduduk per minggu. Selain itu, perawatan di rumah sakit lebih dari 30 per 100 ribu penduduk per minggu dan kasus kematian lebih dari 5 per 100 ribu penduduk per minggu.
Kini, sejumlah kabupaten dan kota di luar Jawa-Bali yang kemudian memberlakukan PPKM Darurat antara lain Kota Medan, Bukittinggi, Manokwari, Kota Sorong, Padang Panjang, Kota Batam, Singkawang, dll yang berdasarkan kriteria kondisi pandemi masuk dalam kategori level empat.
Bisa jadi penerbitan aturan susulan sebagai bentuk respon pemerintah pada dinamika perkembangan di lapangan. Namun hal tersebut patut dievaluasi agar langkah penanganan di lapangan jauh lebih terkendali. Beberapa revisi sebenarnya tak perlu dilakukan jika penyusunan rencana kajian sebelum penerapan PPKM telah dilakukan dengan matang dan komprehensif.
Pada pembetulan poin sanksi, atau pun penegasan larangan kegiatan berjamaah di rumah ibadah hingga peniadaan resepsi pernikahan misalnya, sebetulnya sejak awal sudah dapat diperkirakan untuk dibuat aturannya. Revisi kebijakan terkait hal itu di tengah penerapan PPKM Darurat yang telah berjalan hanya akan mendatangkan kebingungan dan pertanyaan bagi publik.
Baca juga : Luhut: Pemerintah Bersiap Hadapi Keadaan Terburuk
Penegakan disiplin
Penerapan pembatasan kegiatan yang dipilih saat ini sudah semestinya pula dapat mengacu pada pengalaman sebelumnya. Tentunya terdapat sejumlah catatan penting yang dapat diserap dalam pemberlakuan PPKM Mikro atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terdahulu, seperti kejelasan poin peraturan, teknis pelaksanaan hingga sinergisitas dan sosialisasi yang harus dilakukan.
Terlebih domain PPKM Darurat yang karena kegentingannya berada di dalam koordinasi langsung pemerintah pusat, semestinya dapat lebih terorganisir dengan jauh lebih rapi dan terencana.
Realisasi PPKM Darurat di lapangan yang didasarkan pada petunjuk aturan yang berubah-ubah akan membutuhkan berulang penyesuaian hingga sosialisasi. Termasuk pula keterpaduan yang perlu dibangun seluruh petugas terdepan yang terlibat agar memiliki komitmen dan tidak multitafsir dalam menegakkan aturan kepada masyarakat.
Konsistensi yang berpijak pada penafsiran aturan hingga persoalan teknis seperti ketiadaan pemahaman dan sosialisasi optimal, seringkali menyebabkan penegakan disiplin di lapangan oleh petugas kepada masyarakat berjalan tak mulus.
Alhasil, selama masa PPKM Darurat media sosial dan pemberitaan ramai dengan bermacam kericuhan atau perdebatan saat petugas mendisiplinkan kegiatan masyarakat.
Pada kondisi serba sulit dan penuh tekanan, penegakan aturan oleh petugas dengan cara persuasif, sehingga menciptakan situasi yang damai saat ini tentu menjadi yang paling diinginkan.
Sekali lagi, pembetulan bukan hanya perlu dilakukan pada regulasi tertulisnya, namun juga cara penegakan aturan di lapangan oleh para petugas agar mengedepankan prinsip humanis.
Sempat ramai di jagat pemberitaan dan media sosial, pengendara yang dilarang memasuki batas penyekatan wilayah Jakarta dan diminta untuk putar balik karena tak dapat menunjukkan kelengkapan dokumen.
Ataupun kericuhan antara petugas dan para pedagang kaki lima dipaksa menutup lapak dagangannya. Adapula sidak petugas dan pemerintah daerah yang mendapati masih beroperasinya sejumlah kantor yang bergerak di bidang non esensial.
Jika masa perpanjangan PPKM Darurat benar akan diterapkan, tentu kita semua berharap keputusan itu dapat dilandasi pada pertimbangan, rencana dan kajian yang lebih komprehensif. Dengan begitu, penanganan pandemi ke depan bisa lebih lancar tanpa terlalu banyak memicu konflik, dan akhirnya menekan penyebaran virus Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bersama Patuhi PPKM Darurat