Di Balik Status Negara Berpendapatan Menengah Rendah
Status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah rendah memberi dampak pada dua sisi. Di satu sisi ada dampak positif bagi Indonesia, salah satunya adalah fasilitas pembebasan tarif.
Indonesia menyandang lagi status sebagai negara berpendapatan menengah rendah tahun ini. Status yang disematkan Bank Dunia ini memberikan tantangan di tengah upaya pemulihan ekonomi Indonesia akibat pandemi Covid-19.
Bank Dunia, dalam laporan ”World Bank Country Classifications by Income Level: 2021-2022” menempatkan kembali Indonesia dalam kategori negara berpendapatan menengah rendah (lower middle income) pada 1 Juli 2021.
Menurut Bank Dunia, pendapatan nasional bruto (gross national income/GNI) per kapita Indonesia pada 2020 turun menjadi 3.870 dollar AS dari sebelumnya 4.050 dollar AS di tahun 2019. Padahal, pada 2019, Indonesia masih menyandang status sebagai negara berpendapatan menengah tinggi.
Tak hanya Indonesia, tercatat beberapa negara lain juga mengalami penurunan klasifikasi. Indonesia bersama Belize, Iran, dan Samoa turun dari negara berpendapatan menengah tinggi menjadi negara berpendapatan menengah rendah. Sementara Mauritius, Panama, dan Romania turun kelas dari negara berpendapatan tinggi menjadi negara berpendapatan menengah tinggi.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia tertinggal dari Thailand dan Malaysia yang sudah masuk kelompok negara berpendapatan menengah tinggi. Tahun ini, Indonesia satu kelompok dengan Filipina, Laos, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dan Myanmar sebagai negara berpendapatan menengah rendah. Adapun Singapura dan Brunei Darussalam masuk kategori negara berpendapatan tinggi.
Sebagai informasi, Bank Dunia tahun 2021 ini mengubah klasifikasi GNI untuk menentukan peringkat tiap negara. Klasifikasi berubah karena di setiap negara, faktor-faktor seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan pertumbuhan penduduk mempengaruhi GNI per kapita.
Pendapatan nasional bruto (GNI) adalah pendapatan yang diterima negara dari penduduk dan pengusaha, termasuk dari barang dan jasa yang diproduksi serta dijual ke luar negeri dan investasi luar negeri.
Bank Dunia membagi perekonomian menjadi empat kelompok berdasarkan pendapatannya, yakni berpendapatan rendah (low), berpendapatan menengah rendah (lower-middle), berpendapatan menengah tinggi (upper-middle), dan berpendapatan tinggi (high income). Klasifikasinya diperbarui setiap 1 Juli dan didasarkan pada GNI per kapita dalam mata uang dollar AS terkini.
Untuk tahun ini, negara yang dikategorikan sebagai negara berpendapatan rendah di level 1.046 dollar ke bawah, berpendapatan menengah rendah di level 1.046 hingga 4.095 dollar AS, berpendapatan menengah tinggi di level 4.095-12.695 dollar AS, dan berpendapatan tinggi di level lebih dari 12.695 dollar AS.
Turunnya Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah rendah itu tak lepas dari anjloknya perekonomian Indonesia akibat merebaknya pandemi Covid-19 sejak Maret 2020. Padahal, berdasarkan rancangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2020-2024, pemerintah memproyeksikan GNI Indonesia akan mencapai sekitar 4.300 dollar AS per kapita pada tahun 2020.
Namun dengan merebaknya pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi nasional pada 2020 justru terkontraksi hingga 2,07 persen. Sementara angka GNI turun dari 4.050 dollar AS di tahun 2019 menjadi 3.870 dollar AS di tahun 2020.
Sementara itu, inflasi tahun 2020 tercatat 1,68 persen, terendah sepanjang sejarah. Adapun nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada tahun 2020 rata-rata turun 2,66 persen dibandingkan tahun 2019.
Kondisi ini pada gilirannya berdampak besar pada penurunan pendapatan nasional bruto secara aggregat sekaligus menurunkan status Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah rendah.
Dampak bagi Indonesia
Status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah rendah memberi dampak pada dua sisi. Di satu sisi, ada dampak positif bagi Indonesia. Salah satunya adalah fasilitas pembebasan tarif (generalized system of preferences/GSP) dari Amerika Serikat.
Generalized system of preference (GSP) adalah fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974.
Dengan demikian, kalau Indonesia akan mengekspor barang ke luar negeri, tarif bea masuk akan lebih rendah. Sebab, dianggap sebagai negara yang membutuhkan asistensi dari negara negara maju.
Dampak positif lainnya adalah Indonesia akan lebih mudah mencari pinjaman dengan bunga rendah dari lembaga-lembaga internasional. Fasilitas dan kebijakan afirmatif yang diterima Indonesia selama menjadi negara berpendapatan menengah rendah akan berkurang.
Dengan status sebagai negara berpendapatan menengah rendah, Indonesia dianggap masih belum mampu mencari sumber pembiayaan yang lain. Hal ini dapat dioptimalkan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di atas lima persen.
Di samping itu, penurunan kelas juga akan berpengaruh pada bunga utang, khususnya utang luar negeri non SBN alias utang bilateral maupun multilateral. Biasanya negara menengah ke bawah justru mendapat keringanan.
Namun di sisi lain, status sebagai negara berpendapatan menengah rendah diperkirakan berdampak pada pencapaian target Indonesia menjadi negara maju pada 2045 dengan produk domestik bruto (PDB) 24.000 dollar AS per kapita atau lima besar dunia.
Potensi ini muncul karena Indonesia diperkirakan membutuhkan waktu lebih lama untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Semula, Bappenas menargetkan Indonesia jadi negara maju pada 2036. Tapi karena krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, kemungkinan Indonesia membutuhkan waktu lebih lama untuk menjadi negara maju.
Dampak lainnya, Indonesia akan kurang diminati dalam hal investasi karena dianggap tidak termasuk negara tujuan investasi dengan profil risiko aman. Hal itu berarti minat investasi dari luar untuk menanam modal jangka panjang bisa jadi akan berkurang.
Kebijakan pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan dalam Siaran Pers tanggal 7 Juli 2021 menyebutkan bahwa Indonesia akan bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Pemerintah berupaya agar perekonomian kembali pulih di tengah masih tingginya penularan pandemi Covid-19 di Tanah Air.
Kementerian Keuangan menyebutkan pemerintah akan terus menggulirkan kebijakan yang difokuskan pada upaya penanganan pandemi, penguatan perlindungan sosial, serta dukungan bagi dunia usaha, termasuk progam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Pada aspek kesehatan, angka penyebaran Covid-19 ditekan, antara lain dengan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali serta PPKM Mikro di luar Jawa dan Bali. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan vaksinasi dengan lebih masif dengan meningkatkan target vaksinasi per hari menjadi 1,5 juta hingga 3 juta vaksinasi per hari.
Program PEN yang sudah digulirkan sejak tahun lalu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan ekstra atau bantalan ekonomi bagi masyarakat. Pandemi Covid-19 membuat perekonomian masyarakat menjadi lebih rentan.
Tak hanya itu, kinerja investasi diproyeksikan semakin tumbuh tinggi setelah pandemi Covid-19 berakhir. Hal ini sejalan dengan langkah reformasi struktural yang dilakukan pemerintah untuk meraih potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Tujuannya agar pendapatan per kapita dapat terus ditingkatkan dan kesejahteraan masyarakat semakin baik.
Tantangan ke depan
Sebagai negara yang digolongkan berpendapatan menengah rendah, Indonesia masih dihadapkan pada beragam tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kesenjangan sosial antara kelompok kaya dan miskin.
Status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah rendah bisa menjadi cermin bahwa pemerataan pendapatan masih belum sepenuhnya tertangani dengan baik. Rasio gini yang menjadi ukuran kesenjangan masyarakat masih menunjukkan angka relatif besar.
Data BPS memperlihatkan dalam kurun satu dekade terakhir (2010-2020), rasio gini hanya bergerak sedikit dari angka 0,378 menjadi 0,385. Hal ini mengindikasikan bahwa kesenjangan sosial di Tanah Air tak banyak berubah secara fundamental.
Selain itu, sebagai negara kepulauan, Indonesia dihadapkan pada tantangan pemerataan pembangunan antara daerah yang satu dan daerah lainnya yang belum semuanya sama. Tidak sedikit daerah yang memiliki sumber daya alam besar justru mayoritas penduduknya miskin, seperti yang dialami Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan 26,8 persen dan Papua Barat 21,7 persen pada September 2020.
Pekerjaan rumah berikutnya adalah meningkatkan kualitas hidup penduduk Indonesia. Hal itu tecermin dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2020 yang masih berada di urutan ke-107 dari 189 negara yang dianalisis UNDP. Dengan nilai 0,718, IPM Indonesia masih di bawah negara tetangga, seperti Singapura (0,938), Brunei Darussalam (0,838), Malaysia (0,810), dan Thailand (0,777).
Terakhir, di kancah global, Indonesia diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan negara-negara lain di dunia. Forum Ekonomi Dunia yang mengeluarkan Global Competitiveness Report 2020 menempatkan Indonesia di peringkat ke-50, masih kalah bersaing dengan peringkat Singapura (1), Malaysia (27), dan Thailand (40). (Antonius Purwanto/Litbang Kompas)