Urgensi Penguatan Industri Hulu Migas (Bagian Kedua)
Industri energi berkontribusi langsung bagi perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber pendapatan negara, terutama terhadap PDB nasional dan besarnya penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sektor migas.
Industri energi memberikan kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Secara makro, kontribusinya dapat dilihat terhadap PDB nasional dan pada besarnya penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari sektor sumber daya alam migas. Praktis, industri energi berkontribusi langsung bagi perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber pendapatan negara.
Sepanjang 2015-2020, kontribusi sektor pertambangan migas (hulu) rata-rata memberikan konstribusi bagi PDB nasional hampir mencapai Rp 400 triliun per tahun atau “hanya” setara sekitar 2,85 persen per tahun.
Secara nasional kontribusi PDB sektor hulu migas memang terlihat relatif kecil, tetapi kelompok ini memberikan nilai signifikan bagi pendapatan negara, terutama pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Baca juga : Sinergi dan Kontraproduksi Antara Ekonomi dan Energi
Setiap tahun, sektor migas menyumbang PNBP sekitar Rp 86 triliun per tahun atau sekitar 25 persen dari seluruh PNBP nasional. Artinya, secara tidak langsung kelompok hulu migas berperan besar menambah sumber pendapatan negara bukan nonpajak.
Demikian pula meskipun relatif kecil secara PDB nasional, namun secara sektoral kelompok pertambangan dan penggalian, industri migas hulu memiliki peran sangat besar.
Hal ini terlihat dari besaran kontribusi kelompok migas terhadap sektor pertambangan dan penggalian yang rata-rata mencapai 38 persen per tahun. Artinya, industri hulu migas sangat besar pengaruhnya bagi sektor ekstraktif pertambangan.
Berdasarkan laporan “Nota Keuangan beserta APBN Tahun Anggaran 2021, Kementerian Keuangan”, perkembangan pendapatan SDA migas selama periode 2016-2020 mengalami pergerakan yang cukup dinamis.
Tren pendapatan SDA migas mengikuti pola tren Indonesia Crude Price (ICP), sehingga saat ICP mencapai titik tertinggi selama periode tersebut, maka pendapatan SDA juga mencapai puncaknya pada saat yang sama.
Pada 2018, ICP mencapai titik tertingginya sebesar 67,5 dollar AS per barel, demikian juga dengan pendapatan SDA migas yang mencapai puncaknya Rp 142,79 triliun.
Pendapatan SDA migas tahun 2020 sebagaimana ditetapkan di dalam Perpres 72 tahun 2020 diperkirakan mencapai Rp 53,29 triliun. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan SDA migas mengalami tren positif dalam periode 2016-2020 sebesar 10,0 persen per tahun.
Pendapatan SDA migas dalam APBN tahun 2021 ditargetkan sebesar Rp 74.99 triliun, terdiri atas pendapatan minyak bumi sebesar Rp 57,93 triliun dan pendapatan gas bumi sebesar Rp 17,06 triliun.
Praktis, industri energi berkontribusi langsung bagi perekonomian nasional sekaligus menjadi sumber pendapatan negara.
Target pendapatan SDA migas tersebut naik 40,7 persen dari outlook tahun 2020. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kenaikan ICP sebesar 45 dollar AS per barel dan lifting gas bumi sebesar 1.007 MBOEPD pada APBN 2021.
Pemerintah dalam APBN 2021 menerapkan beberapa kebijakan teknis PNBP SDA migas untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Di antaranya dengan mengupayakan peningkatan lifting migas, antara lain melalui penyederhanaan dan kemudahan perizinan untuk meningkatkan investasi hulu migas.
Pemerintah juga berusaha mendorong pelaksanaan kontrak bagi hasil dan pengendalian biaya operasional kegiatan usaha hulu migas yang lebih efektif dan efisien.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyempurnakan regulasi, baik berupa peraturan maupun kontrak perjanjian. Pemerintah juga harus meningkatkan monitoring dan evaluasi, peningkatan sinergi pengawasan, dan transparansi pemanfaatan serta penggalian potensi.
Dengan memperbaiki sejumlah kebijakan teknis tersebut, diharapkan investasi di sektor hulu migas dapat meningkat, sehingga mampu memberikan kontribusi PNBP SDA migas lebih banyak lagi.
Selain itu, yang terpenting dari meningkatnya investasi hulu migas adalah makin lebarnya peluang Indonesia meningkatkan lifting nasional dan menambah sumber cadangan migas.
Lifting menyusut
Lifting minyak di Indonesia rawan untuk terus menyusut seiring dengan kian berkurangnya investasi di sektor hulu migas. Setiap tahun, rata-rata terjadi penyusutan nilai investasi kegiatan hulu migas hampir mencapai 1 miliar dollar AS. Hal ini merupakan masalah yang harus segera teratasi.
Jika pemerintah gagal menjaring para investor, beban keuangan negara yang ditanggung pemerintah akan kian besar. Impor energi fosil berupa BBM dan gas akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi energi masyarakat.
Dengan investasi hulu migas yang kian susut, maka kontribusi sektor industri hulu migas bagi PDB nasional juga akan kian berkurang. Output produksi industri hulu migas kian mengecil dari waktu ke waktu. Selain itu, penerimaan negara dari SDA migas berupa PNBP juga akan berkurang.
Dengan kata lain, semakin sedikit jumlah lifting minyak bumi yang berhasil ditambang dari perut bumi Indonesia, maka akan memberikan dampak multiplier efek yang cukup besar. Kontribusi pada PDB semakin berkurang dan sumbangan PNBP bagi pendapatan negara pun semakin mengecil.
Berdasarkan laporan “Nota Keuangan beserta APBN Tahun Anggaran 2021, Kementerian Keuangan”, ada sejumlah variabel yang membuat PNBP meningkat terkait minyak bumi.
Salah satunya terkait perubahan sensitivitas asumsi dasar makro yang dapat mempengaruhi peningkatan PNBP. Pertama, jika ada kenaikan harga ICP 1 dollar AS per barel maka ada kemungkinan terjadi kenaikan PBNP secara umum sekitar Rp 3,7 triliun hingga Rp 4,4 triliun.
Selain itu, juga mendorong belanja negara naik Rp 3,11 triliun sampai dengan Rp 3,61 triliun, sehingga menambah surplus Rp 563,6 miliar sampai dengan Rp 849,2 miliar.
Selanjutnya, apabila terjadi kenaikan lifting 10 ribu barel per hari, dapat menyebabkan pendapatan negara naik Rp 1,64 triliun sampai dengan Rp 2,44 triliun. Hal ini juga turut mendorong belanja negara naik Rp 729,5 miliar sampai dengan Rp 965,9 miliar, sehingga menambah surplus Rp 915,4 miliar sampai dengan Rp 1,47 triliun.
Dari asumsi tersebut, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa peningkatan lifting minyak dapat berpengaruh besar bagi sektor pendapatan negara. Jika kenaikan lifting minyak juga disertai peningkatan ICP, maka akan berdampak besar bagi pendapatan negara. Dengan kenaikan, suplai minyak mentah Indonesia dapat bertambah lebih banyak, sehingga dapat memperkuat ketahanan energi nasional.
Selain itu, bertambahnya lifting minyak mengindikasikan bergairahnya industri hulu migas. Produksi meningkat, kontribusi bagi PBD bertambah, sumbangan bagi pendapatan negara melalui PBNBP juga naik, serta meningkatkan perekonomian daerah setempat.
Oleh sebab itu, fenomena penurunan investasi kegiatan hulu migas saat ini harus segera diantisipasi. Pemerintah harus melakukan sejumlah terobosan kebijakan agar investasi hulu migas dapat rebound kembali.
Ada sejumlah perbaikan yang sudah dilakukan untuk meningkatkan investasi sektor migas tersebut. Sebut saja soal penyederhanaan perizinan migas untuk dilimpahkan ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Berikutnya, penyediaan dan keterbukaan data melalui Permen ESDM No.7/2019 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Data Minyak dan Gas Bumi untuk mendorong keterbukaan akses data bagi para investor.
Selain itu, pemerintah juga telah berusaha berperan aktif menyediakan data baru dari selesainya akuisisi data seismic 2D 32.200 km Open Area. Pemerintah pun juga sudah menerapkan fleksibilitas sistem fiskal yang memberikan kebebasan kepada kontraktor migas untuk menentukan pilihan jenis kontrak, baik menggunakan Kontrak Bagi Hasil (PSC) Gross Split atau Cost Recovery, sehingga diharapkan investasi di sub sektor migas semakin menarik dan meningkat.
Kebijakan lainnya untuk mendorong investasi hulu migas adalah integrasi hulu-hilir untuk mempercepat waktu monetisasi yang salah satunya diakibatkan adanya gap harga keekonomian lapangan di sisi hulu dan kemampuan serap di sisi hilir. Oleh sebab itu, perlu disusun kebijakan berupa penurunan harga gas untuk mendorong tumbuhnya industri domestik.
Terakhir, stimulus fiskal pemerintah tidak lagi mengedepankan besarnya bagi hasil (split) untuk negara, tetapi lebih diarahkan mendorong agar proyek migas dapat berjalan melalui pemberian insentif bagi beberapa Rencana Pengembangan (Plan of Development/ POD) yang selama ini dinilai tidak ekonomis oleh kontraktor.
Dengan adanya sejumlah upaya perbaikan kebijakan tersebut, maka harapannya investasi di sektor hulu migas dapat meningkat. Kondisi ini tentu akan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional sekaligus menguntungkan bagi industri migas itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Urgensi Penguatan Industri Hulu Migas (Bagian Pertama)