Hari Satelit Palapa dan Tantangan Swasembada Teknologi Komunikasi
Peringatan peluncuran Satelit Palapa 45 tahun yang lalu memberikan refleksi sudah seberapa jauh bangsa Indonesia menawarkan inovasi dan swasembada teknologi saat ini.
Satelit Palapa I yang diluncurkan pada 9 Juli 1976 menjadi tonggak lompatan teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia. Kehadiran satelit memunculkan dinamika sosial, ekonomi, serta politik yang mencerminkan corak relasi Indonesia dalam memanfaatkan teknologi.
Tekad pemerintah Orde Baru menghadirkan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) terwujud dengan diluncurkannya Satelit Palapa. Proyek ini mengawali dan mewakili visi teknologi bangsa Indonesia dalam bidang telekomunikasi modern.
Mengorbitnya Satelit Palapa dari segi pamor menempatkan Indonesia sebagai negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang memiliki dan mengoperasikan sendiri satelit komunikasi domestik. Negara tetangga yang paling cepat menyusul mengorbitkan satelit adalah Thailand pada 18 Desember 1993. Terpaut waktu 17 tahun bagi negara lain untuk mengimbangi capaian Indonesia dalam bidang persatelitan.
Di era 1990-an menyusul Malaysia, Filipina, dan Singapura yang memiliki satelit sendiri. Pada milenium baru, Vietnam mengoperasikan satelit VINASAT-1 sejak 2008, disusul Laos pada 2015. Masih tersisa Myanmar dan Kamboja yang hingga sekarang belum memiliki satelit domestik. Menurut rencana, dua negara tesebut dijadwalkan meluncurkan satelitnya dengan bantuan luar negeri tahun ini.
Berdasar publikasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), saat ini Indonesia memiliki sejumlah 12 satelit aktif yang berfungsi mendukung telekomunikasi. Wahana yang paling muda yaitu Satelit Telkom-4 atau Satelit Merah Putih yang diluncurkan dari SpaceX Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat pada 7 Agustus 2018.
Satelit memainkan peran penting dalam era informasi yang sudah bergulir sejak era 1970-an. Dimulai dengan era komputasi yang mengantarkan peradaban kepada era digital, dan yang terkini era media baru atau new media.
Memiliki wilayah yang begitu luas dengan lanskap kepulauan menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk menyediakan saluran komunikasi yang cepat. Dengan mempunyai jaringan komunikasi yang menghubungkan antarwilayah dapat mendukung persatuan, keamanan, mobilitas, serta pembangunan.
Satelit menjadi media yang dilirik pemerintah sebagai infrastruktur komunikasi. Pasalnya jangkauan sarana komunikasi saat itu masih kurang dari memadahi (Kompas, 9/7/1976).
Biaya yang besar menjadi tantangan pembangunan proyek satelit. Polemik pembangunan tersebut mengemuka di masyarakat mengingat di saat yang sama, Indonesia masih menghadapi ragam persoalan kemiskinan dan kesejahteraan rakyat.
Pemerintah menegaskan bahwa pengadaan satelit bukan merupakan proyek mercusuar. Walau menelan biaya Rp 561 miliar, ini merupakan prioritas negara di masa depan.
Pada waktu itu belum terbayangkan bahwa kekuatan kecepatan komunikasi berdampak begitu besar, salah satunya bagi perekonomian masyarakat dan negara. Ambil contoh pedagang kebutuhan pokok hendak memesan barang dari distributor. Pesan disampaikan melalui surat yang dikirim via pos. Surat diterima dua atau tiga hari kemudian.
Butuh hingga empat hari bagi pedagang untuk memesan barang dari distributor. Apabila pesanan bisa disampaikan melalui telepon, keesokan harinya barang sudah bisa diantarkan. Dengan demikian roda perekonomian berputar lebih cepat.
Polemik
Rencana proyek pengadaan Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) beserta segala infrastruktur pendukungnya terdokumentasi di artikel Kompas edisi 11 Agustus 1973 yang berjudul ”Komunikasi Melalui Satelit Domestik Lebih Ideal di Indonesia”. Kala itu jaringan komunikasi jarak jauh dalam negeri masih mengandalkan Jaringan Nusantara Microwave yang terbentang di wilayah Sumatera, Jawa, dan Bali.
Sistem komunikasi microwave mengandalkan sinyal radio yang diestafetkan oleh serangkaian stasiun-stasiun untuk meneruskan sambungan suara, video, atau data. Kelemahan sistem ini adalah memerlukan stasiun setiap jarak 60 kilometer. Sistem ini juga rentan terhadap gangguan teknis. Apabila satu saja stasiun rusak, jaringan akan lumpuh.
Melihat kondisi yang demikian, rencana pembangunan jaringan microwave di wilayah Kalimantan, Indonesia bagian timur dan pulau-pulau terluar sulit diwujudkan. Muncul gagasan untuk memanfaatkan teknologi satelit yang pada era 1960-an merupakan teknologi yang sangat canggih dan hanya bisa disediakan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Teknologi satelit digadang merupakan investasi masa depan karena dapat bermanfaat hingga 20 bahkan 30 ke depan. Pemerintah Indonesia kemudian menggandeng perusahaan Hughes Aircraft Company dari AS untuk melakukan survei di Indonesia pada 1973. Dari hasil survei, pemerintah menindaklanjuti dengan proses pembiayaan.
Melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita) II, pemerintah memberikan dana kepada Perum Telekomunikasi senilai 89,8 juta dollar AS guna membangun jaringan satelit domestik beserta 50 stasiun buminya. Dana diperoleh melalui hutang dari bank swasta di luar negeri dengan jangka pinjaman 15 tahun.
Setelah biaya tersedia, berlanjut pada tahap realisasi kontrak kerja. Perum Telekomunikasi dan pihak Hughes kemudian menandatangani kesepakatan proyek pembangunan SKSD pada 5 Juli 1974.
Sinergi
Keberadaan satelit bukan hanya memberikan harapan koneksi antarwilayah di Nusantara, melainkan juga transfer teknologi bagi bangsa Indonesia agar di kemudian hari mampu merancang, meluncurkan, dan mengoperasikan satelitnya sendiri.
Kemampuan tersebut membutuhkan daya dukung sinergi antara pemerintah dan swasta untuk mengembangkan teknologi keantariksaan. Konsep sinergi tersebut juga diterapkan oleh industri dirgantara Amerika Serikat.
Swasembada teknologi antariksa dapat dicapai National Aeronautics and Space Administration (NASA) berkat kerja sama dengan industri kedirgantaraan di Amerika Serikat. Bukti nyatanya adalah ketika digelar Apollo Program pada 1961 hingga 1972 dengan misi mendaratkan manusia ke bulan.
Indonesia merupakan negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang memiliki dan mengoperasikan sendiri satelit komunikasi domestik
Kesuksesan NASA disokong pihak swasta, yaitu perusahaan Boeing bersama dengan McDonnell Douglas dan Rockwell International yang membuat sebagian besar konstruksi roket Saturn V. Sedangkan perusahaan Northrop Grumman secara khusus membangun modul pendaratan di permukaan bulan.
Boeing dan perusahaan kedirgantaraan lainnya bergerak di bidang penerbangan militer ataupun komersial. Mereka banting setir terlibat dalam megaproyek antariksa dengan difasilitasi oleh lembaga negara, yakni NASA. Perkembangan terkini lahir perusahaan swasta yang murni bergerak di bidang keantariksaan, di antaranya SpaceX dan Blue Origin.
Dua perusahaan ini mampu bergerak secara mandiri, mulai dari perancangan, pembangunan, hingga pengoperasian dan peluncuran wahana antariksa. Kemampuan SpaceX untuk menghemat perjalanan angkasa luar dengan menggunakan kendaraan secara berulang merupakan terobosan besar.
Transfer teknologi
Momen peluncuran Satelit Palapa yang dilakukan 45 tahun silam masih dapat dimaknai hingga sekarang sebagai pengingat sampai mana capaian teknologi keantariksaan Indonesia. Refleksi ini dapat ditarik mundur ke belakang dengan mendasarkan pada tujuan pembuatan dan manfaat yang hendak dituju dari pengadaan satelit di Indonesia.
Dari aspek konektivitas antardaerah, tujuan ini sedikti banyak sudah tercapai. Pekerjaan rumah konektivitas adalah pemerataan di wilayah-wilayah terluar Tanah Air yang kualitasnya belum setara dengan daerah perkotaan.
Yang perlu menjadi perhatian adalah manfaat dari aspek transfer teknologi dan penguasaan teknologi. Swasembada teknologi merupakan tantangan berikutnya agar teknologi satelit dapat dibuat di dalam negeri secara mandiri.
Alih teknologi merupakan langkah awal untuk mampu melompat maju mencapai kemandirian teknologi. Tahapannya dapat dimulai dari melakukan perakitan, kemudian ditingkatkan ke pembuatan, sehingga menguasai proses dari desain hingga pemanfaatan.
Upaya alih teknologi dapat terwujud dengan menggandeng pihak swasta. Pemerintah menyediakan payung hukum dan memberi stimulus bagi perusahaan yang bisa menyerap alih teknologi.
Kemampuan bangsa menguasai teknologi dapat menjadi pemantik untuk merebut pasar dan serapan konsumen terhadap produk teknologi buatan dalam negeri. Dr. Alfian dari LIPI menyampaikan pendapatnya di Kompas edisi 9 Juli 1976 dalam rangka menanggapi pemanfaatan Satelit Palapa.
Ia menyampaikan bahwa sebagai pengguna perlu mengenal sifat-sifat dari teknologi komunikasi. Mayoritas teknologi yang kita gunakan berasal dari impor dan merupakan buah cipta dari pemikiran dan kebudayaan asing.
Poin yang disampaikan bahwa alih teknologi perlu dibarengi dengan adaptasi nilai-nilai lokal dan keindonesiaan. Di era digital saat ini, pendapat Dr Alfian yang disampaikan 45 tahun lalu menemukan konteksnya karena arus informasi begitu deras masuk ke ruang-ruang privat melalui saluran ponsel pintar.
Berdasarkan data We Are Social pada Januari 2021, terdapat 345 juta ponsel pintar yang aktif tekoneksi ke jaringan internet. Peredaran ponsel pintar ini melebihi populasi Indonesia yang berjumlah 270 juta penduduk. Penetrasi pengguna internet juga tinggi, yaitu mencapai 74 persen. Sayangnya, produk ponsel pintar yang dikonsumsi masyarat Indonesia, mayoritas masih bermerek luar negeri.
Menyoal kemanfaatannya, pada dasarnya teknologi diciptakan demi kemajuan dan kebaikan. Namun praktiknya muncul dua sisi kemanfaatan dan kemudaratan yang saling tarik menarik.
Informasi yang begitu cepat mampu memberikan pengetahuan kepada masyarakat, sekaligus menyesatkan dengan adanya pihak yang memelintir kebenaran dengan tujuan menimbulkan kekacauan. Sebagai pengguna teknologi yang tinggal pakai, rawan mengalami ketergantungan dan perilakunya seolah dikendalikan bukannya mengendalikan teknologi sebagai sebuah alat.
Baca juga: Industri Satelit, Industri Masa Depan
Peringatan peluncuran Satelit Palapa dapat dimaknai secara luas sebagai penanda seberapa jauh negeri ini mampu menyaring arus informasi sekaligus bijak dalam menggunakan perangkat teknologi komunikasi. Demikian pula dalam aspek manfaat, sudah seberapa jauh bangsa Indonesia menawarkan inovasi dan swasembada teknologi, atau masih sebatas sebagai konsumen teknologi? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menguasai Teknologi Satelit, Merengkuh Kesejahteraan