PPKM Darurat, Momentum Perkuat Pelacakan Kasus Covid-19
PPKM darurat di wilayah Jawa dan Bali harus diikuti dengan langkah pemeriksaan dan pelacakan agar target penurunan kasus penularan Covid-19 dapat tercapai.
Oleh
Yohanes Advent Krisdamarjati
·4 menit baca
Penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM darurat di wilayah Jawa dan Bali memberi harapan penurunan angka penularan Covid-19. Target ini harus didukung penguatan kebijakan pemeriksaan, pelacakan, dan perawatan.
Kasus harian 2 Juli 2021 bertambah sebanyak 25.830 kasus! Ini adalah angka penularan harian tertinggi yang pernah dialami Indonesia sejak kasus Covid-19 masuk pada 2 Maret 2020. Dengan kondisi ini, dalam sepekan terakhir Indonesia berada di urutan kelima negara dengan penambahan kasus baru terbanyak di dunia, yaitu mencapai 138.352 orang. Begitu juga dengan angka kematiannya tertinggi keenam, yaitu menelan korban 2.733 jiwa.
Mengantisipasi makin parahnya kondisi penularan akibat munculnya varian baru virus korona, pemerintah merespons dengan mengeluarkan kebijakan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat Jawa dan Bali secara lebih ketat dua pekan mendatang. Targetnya, menurunkan angka penularan harian 10.000 kasus per hari. Apabila target angka penularan belum tercapai kurang dari 10.000 kasus, pemerintah membuka peluang untuk memperpanjang PPKM darurat setiap periode dwimingguan.
Selain menerapkan PPKM darurat, upaya lain yang sudah dilakukan pemerintah untuk menekan penularan adalah mempercepat vaksinasi. Target yang ditetapkan pemerintah adalah memvaksin 1 juta orang setiap harinya. Target tersebut pertama kali tercapai pada 27 Juni 2021. Tren kecepatan vaksinasi terus dipertahankan di angka sejuta orang setiap harinya.
Namun, vaksinasi saja masih belum cukup membendung penularan virus korona. Sejumlah warga bahkan tenaga kesehatan yang sudah mendapat vaksin Covid-19 juga ditemukan tertular Covid-19 dan meninggal.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah Eropa. Negara-negara seperti Kanada, Inggris Raya, Belgia, Belanda, Italia, Hongaria, Portugal, Jerman, Spanyo, Austria, dan Perancis sudah melakukan vaksinasi dosis pertama kepada lebih dari separuh warganya.
Ternyata, tingkat vaksinasi di negara-negara Eropa yang sudah tergolong tinggi belum mampu menciptakan kekebalan komunitas atau herd immunity. Seperti yang terjadi di Skotlandia. Bersama Inggris, Wales, dan Irlandia Utara, vaksinasi di Skotlandia sudah mencapai 67 persen dari populasi.
Namun, lonjakan kasus Covid-19 kembali menimpa Skotlandia. Terdapat 6 persen kasus baru Covid-19 yang berasal dari kluster penonton Piala Eropa yang menyaksikan di Kota London. Para pendukung tim nasional Skotlandia membawa pulang ”oleh-oleh” berupa virus korona.
Pemerintah Skotlandia segera mengisolasi potensi penularan virus sebelum merebak tak terkendali. Kluster penularan segera ditemukan dan diantisipasi supaya penyebaran virus tidak bertambah parah. Hal ini dapat dilakukan berkat pelacakan dan pengetesan yang intensif dilakukan.
Orang tanpa gejala
Pelacakan virus korona dapat diibaratkan seperti membangun benteng perlindungan dalam suatu komunitas. Orang yang terindikasi kontak erat supaya segera ditemukan dan dilakukan pengetesan. Pasalnya, salah satu ancaman terbesar dalam menekan penyebaran virus adalah para orang tanpa gejala (OTG).
OTG yang tidak mengalami gejala infeksi virus korona merasa diri sehat bahkan ada kecenderungan mengabaikan protokol kesehatan, mengenakan masker misalnya. Kelompok ini yang tidak akan tertedeteksi tanpa adanya penguatan pelacakan dan pengetesan.
Keampuhan tracing dan testing sudah terbukti di negara-negara lain. Ketika mengatasi gelombang pandemi Covid-19, India merekrut hingga satu juta tenaga lapangan untuk melakukan penelusuran terhadap semua kontak erat pasien positif Covid-19. Pelacakan juga diperkuat dengan aplikasi penelusuran kasus positif. Dengan metode ini, kasus harian India yang mencapai hampir 100.000 pada September 2020 dapat teratasi dalam waktu empat bulan (Kompas, 9/2/2021).
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan bersama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada November 2020 meluncurkan program penguatan pelacakan dengan merekrut ribuan relawan untuk memutus rantai penularan Covid-19.
Pada mulanya program ini ditujukan bagi 51 kabupaten atau kota di 10 provinsi prioritas dengan kasus penularan tertinggi. Angkatan pertama terdapat sekitar 8.000 relawan yang mayoritas berlatar belakang tenaga kesehatan dan ditempatkan di 1.612 puskesmas. Wilayah kerja relawan mencakup kelurahan yang menjadi wilayah pelayanan puskesmas tempat mereka ditugaskan. Masa kerja setiap angkatan sepanjang dua bulan.
Sepak terjang tim yang disebut Contact Tracer Covid-19 ini tidak dapat dianggap remeh. Contact Tracer memiliki target kerja memeriksa orang bergejala dan tanpa gejala Covid-19. Pelacakan dilakukan terhadap 30 orang yang pernah kontak dekat dengan warga yang positif Covid-19, serta tempat isolasi diterapkan sampai tingkat RT. Namun, rencana ini belum terealisasi secara merata dan menyeluruh.
Lantas seberapa kemampuan pelacakan yang sudah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia? Menurut standar WHO, sedikitnya dilakukan pelacakan dan tes terdahap 30 orang yang pernah kontak erat dengan pasien positif Covid-19. Namun, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan capaian masih jauh dari standar minimum.
Rata-rata mingguan pelacakan secara nasional Pada periode 16-22 Mei 2021 hanya 1,3 kontak erat per kasus. Jumlah itu jauh dari standar pelacakan kasus kontak erat, yaitu 15 kontak erat per kasus. Data rata-rata seminggu terakhir (seven day moving average) 16-22 Mei 2021 menunjukkan bahwa di DKI Jakarta hanya menemukan sekitar 4,1 kontak erat dari tiap kasus.
Kondisinya memprihatinkan dapat ditemui di daerah dengan pelacakan nol orang, beberapa di antaranya adalah Papua Barat, Jambi, Maluku, dan Maluku Utara. Menjadi tergambar bahwa di wilayah dengan kemampuan pelacakan rendah, ancaman penularan akan semakin tinggi.
Karenanya momentum kebijakan PPKM di wilayah Jawa dan Bali menjadi saat yang tepat untuk juga memprioritaskan program 3T, untuk lebih sungguh-sungguh mewujudkan harapan memutus rantai penularan melalui langkah pelacakan.
Honor
Selain pembatasan sosial, penerapan protokol kesehatan, dan vaksinasi, ujung tombak yang dapat membentengi masyarakat dari meledaknya penularan virus adalah para Contact Tracer melalui pemeriksaan dan pelacakan. Jumlah relawan Contact Tracer yang masih minim harus menjadi perhatian pemerintah untuk menekan junmlah penularan baru dan memberikan perawatan bagi yang sudah terpapar virus korona.
Pada kondisi seperti sekarang ini tentu tugas yang diemban para relawan pelacak penularan semakin berat. Jangan sampai terus berulang keterlambatan pembayaran honor dan kekurangan penyediaan alat pelindung diri (APD).
Diberitakan bahwa beberapa petugas pelacakan belum menerima honor melewati batas waktu yang dijanjikan oleh pemerintah. Selain itu terdapat relawan yang harus rela membeli APD dengan uang pribadi supaya dapat tetap menjalankan tugasnya secara aman.
PPKM darurat yang diterapkan mulai 3 Juli 2021 membutuhkan dukungan seluruh eleman bangsa. Keberadaan relawan Contact Tracer juga harus mendapat dukungan anggaran pembiayaan yang memadahi dari pemerintah. Ini untuk memastikan fase awal memutus rantai penularan dapat dilakukan dengan baik. Tanpa pemeriksaan dan pelacakan, harapan pengurangan kasus penularan Covid-19 dapat tidak tercapai. (LITBANG KOMPAS)