Ketenangan Jiwa Jadi Orientasi Pekerja Saat Pandemi
Pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan membuat orientasi pekerja juga mulai terpusat pada pencarian kebahagiaan dan ketenangan jiwa.
Situasi ketidakpastian usaha akibat pandemi Covid-19 membuat kegalauan bagi karyawan. Gejolak angka penularan yang terus terjadi, berlanjutnya fase pembatasan aktivitas, dan makin banyak pekerjaan dilakukan secara daring membuat orientasi kerja karyawan ikut bergejolak.
Memasuki tahun kedua pandemi, penularan virus korona masih terus terjadi. Munculnya varian-varian baru virus korona, seperti varian Alpha dan Delta membuat kasus positif Covid-19 terus bermunculan. Di Indonesia, rekor penularan kasus Covid-19 juga terjadi di tahun kedua pandemi. Pada 2 Juli 2021, terdapat penambahan 25.830 kasus positif harian.
Setiap terjadi lonjakan kasus Covid-19, gejolak bukan hanya dirasakan di layanan kesehatan yang menangani bertambahnya junlah pasien korona. Tekanan di sektor perekonomian turut terjadi karena pemerintah segera merespons dengan pengetatan aktivitas publik untuk mengantisipasi penularan yang makin tidak terkendali.
Pembatasan sosial yang ketat membuat kegiatan di perkantoran, pabrik, pusat perbelanjaan, serta fasilitas umum menjadi minim, bahkan tutup sama sekali. Impitan aktivitas perekonomian berakibat pada lesunya dunia usaha yang turut berimbas pada sektor ketenagakerjaan.
Jika kantor dan pabrik banyak yang tutup, otomatis para pekerja diminta untuk bekerja dari rumah. Bagi karyawan yang bekerja di tempat usaha yang tidak memungkinkan melakukan remote working (kerja jarak jauh), kebijakan pembatasan sosial berimbas pada pengurangan jam kerja dan ancaman pemutusan hubungan kerja.
Dalam pantauan Organisasi Buruh Internasional (ILO) per 25 Januari 2021, sebanyak 114 juta orang telah kehilangan pekerjaannya. Sebanyak 33 juta di antaranya menjadi pengangguran dan sisanya menjadi pekerja inaktif, yaitu kelompok usia produktif yang berstatus pekerja, tetapi berhenti bekerja sementara waktu.
Di Indonesia, terdapat 19,1 juta penduduk yang terdampak Covid-19, baik itu yang menjadi pengangguran karena Covid-19, sementara tidak bekerja karena Covid-19, dan yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid-19.
Kondisi ini membuat orientasi kerja karyawan ikut berubah. Situasi pandemi bagi pekerja tidak hanya memunculkan gelombang PHK, tetapi juga menuntut adaptasi terhadap perubahan lanskap dunia kerja. Bahkan, sudah mengarah kepada antisipasi terhadap ketidakpastian dunia kerja.
Aspek pertama adalah adaptasi model kerja. Pembatasan mobilitas membuat kaum pekerja menyesuaikan dengan model remote working (kerja jarak jauh) atau work form home (bekerja dari rumah). Cara kerja ini menjadi kebiasaan baru saat pandemi.
Adaptasi yang harus dilakukan pekerja adalah menyiapkan peralatan untuk mendukung remote working. Ragam adaptasi peralatan itu meliputi ketersediaan perangkat teknologi digital, alokasi biaya operasional (listrik, kuota internet, tempat kerja), dan adaptasi dari aspek psikologis.
Penyesuaian dari aspek psikologi ini penting dilakukan karena tidak semua pekerjaan dapat dilakukan lancar dengan pola kerja jarak jauh. Melalui model tatap muka saja, banyak kerumitan pola kerja yang dapat terjadi. Sejumlah potensi kendala yang muncul dari model bekerja dari rumah adalah kesulitan berkoordinasi dan melakukan pengawasan, kehilangan fokus kerja karena ada gangguan di sekitar rumah, serta ketidakjelasan batasan jam kerja.
Bagi pekerja, kendala-kendala bekerja secara remote working menjadi risiko yang harus diatasi agar tetap dapat produktif. Ini artinya, jika mau bertahan dengan pola kerja baru, karyawan atau pekerja harus mengikuti ritme kerja daring termasuk konsekuensi ketidakjelasan batasan jam kerja dan menanggung biaya operasional di rumah.
Pengunduran diri
Selain adaptasi pola kerja baru, aspek lain yang muncul selama pandemi Covid-19 adalah antisipasi para pekerja terhadap ketidakpastian dunia kerja. Jika adaptasi merupakan pilihan moderat bagi pekerja untuk menyesuaikan diri dengan pola kerja baru, aspek antisipasi merupakan bentuk reaksi lugas pekerja dalam menghadapi situasi krisis dunia kerja.
Krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 memaksa perusahaan untuk berupaya dengan segala cara supaya dapat mempertahankan bisnis tetap berjalan. Salah satunya dengan melakukan efisiensi biaya operasional. Para pekerja ada yang terkena dampak berupa pengurangan gaji dan bonus selama krisis ekonomi.
Baca Juga: Dunia Usaha dan Pekerja Dibayangi Korona
Pengurangan upah dapat menimbulkan demotivasi para karyawan sehingga sulit untuk mencapai performa ketika kondisi normal. Sementara pihak perusahaan menginginkan setiap karyawannya bekerja sebaik mungkin walau dengan adanya pengurangan upah.
Kurang nyamannya situasi yang dihadapi pekerja terhadap kondisi perusahaan ini diprediksi Anthony Klotz memunculkan tindakan antisipasi dari pekerja. Klotz yang merupakan profesor di sekolah bisnis Universitas Texas A&M memprediksi situasi pandemi akan menimbulkan gelombang besar karyawan mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Melalui artikelnya di Bloomberg yang berjudul ”How to Quit Your Job in the Great Post-Pandemic Resignation Boom”, Senin (10/5/2021), ia memprediksi akan datangnya fenemena ”The Great Resignation” di masa pandemi.
Wacana yang dilontarkan Klotz menarik untuk diulas karena berbeda dengan wacana mayoritas. Pembahasan arus utama tentang ketenagakerjaan akibat krisis ekonomi selama pandemi berkutat seputar pemutusan hubungan kerja dan pengurangan jam kerja.
Temuan Klotz didasari dengan data pengunduran diri pekerja di Amerika Serikat pada masa pandemi Covid-19. Ia menemukan bahwa, berdasarkan data Bureau of Labor Statistics Job Openings and Labor Turnover Survey, pada Maret 2021 terdapat 2,4 persen dari total pekerja di AS yang mundur dari pekerjaannya. Klotz mengatakan bahwa angka tersebut adalah angka bulanan tertinggi selama 20 tahun terakhir.
Selain dari data statistik, Klotz menjabarkan landasan prediksi yang ia nyatakan dari aspek fenomena di lapangan. Saat ini, kondisi perusahaan masih dalam tahap menentukan kebijakan aturan kerja untuk karyawannya dan belum mencapai titik temu yang ideal.
Baca Juga: Tantangan Bekerja dari Rumah
Terdapat percampuran ketentuan antara sepenuhnya kerja remote atau jarak-jauh, ada pula yang menawarkan sudah mulai kerja di kantor secara bergantian dan bertahap. Namun, hingga saat ini masih banyak perusahaan yang belum memastikan akan menjalankan ketentuan kerja yang seperti apa.
Kondisi yang masih serba menggantung membuat karyawan merasa tidak pasti dan memikirkan untuk mengundurkan diri. Di sisi lain, masih ada tuntutan kebutuhan biaya hidup yang masih harus mereka penuhi. Kedua faktor tersebut membuat para pekerja mempertimbangkan untung-rugi untuk tetap tinggal di perusahaan atau memilih berhenti bekerja.
Pergeseran paradigma
Keputusan berhenti bekerja di saat krisis merupakan pertaruhan besar bagi pekerja. Di saat krisis melanda, orang berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Tentu ada sebuah alasan kuat yang menjadi pertimbangan seseorang untuk memilih berhenti bekerja di saat krisis.
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk meneropong fenomena ini dapat dilihat dari hasil riset yang dilakukan Kenita Putri dan Maria Jacinta Arquisola dari President University. Penelitian yang berjudul Influence Of Salary Satisfaction And Organizational Commitment Towards Turnover Intentions During Pandemic Covid-19 Situations (Mei 2021) itumencoba memotret dinamika pengunduran diri pekerja di masa pandemi.
Di masa pandemi terjadi pergeseran paradigma pekerja melihat dinamika bekerja sehari-hari. Mereka mencapai kesadaran untuk mengevaluasi karier dan kondisi tempat kerjanya sekarang. Dengan adanya risiko paparan virus korona, muncul beragam konsekuensi yang di masa prapandemi belum muncul atau bahkan tidak terpikirkan.
Misalnya, ketika sebuah keluarga memiliki anak, sedangkan kedua orangtuanya harus bekerja dengan meninggalkan rumah. Tugas mengasuh anak selama jam kerja biasanya diserahkan kepada penitipan anak atau diasuh oleh asisten rumah tangga di rumah.
Mengingat risiko penularan virus Covid-19, para orangtua dan keluarga berupaya untuk meminimalkan interaksi anggota keluarga dengan orang yang berasal dari luar rumah atau beda tempat tinggalnya.
Beberapa waktu lalu, muncul kluster penularan Covid-19 di kalangan asisten rumah tangga. Dari hasil penelusuran, didapati para asisten rumah tangga terpapar virus korona setelah mudik dari kampung halaman. Potret kejadian ini menjadi salah satu bukti bahwa ada faktor yang dapat mendorong seseorang yang tadinya bekerja kemudian melepas pekerjaan dan mengurus rumah tangga.
Sikap lain
Namun, fenomena pengunduran diri karyawan perlu ditelaah lebih mendalam. Prediksi dan analisis yang disampaikan Klotz mendapat konter argumen dari Jack Kelly, kontributor senior di Forbes yang membahas seputar karier dan konsultan upah karyawan.
Kelly menyampaikan bahwa pernyataan Klotz terlalu berlebihan melihat kondisi saat ini masih lebih besar jumlah orang kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan yang meninggalkan pekerjaan. Namun, Kelly juga menyatakan bahwa dunia kerja saat ini mengalami persoalan dengan ketimpangan antara tingginya kualifikasi yang diminta dengan upah yang ditawarkan terbilang rendah.
Kelly juga membenarkan munculnya fenomena kegalauan para pekerja di masa pandemi. Salah satu bentuk kegalauan yang mengerucut hingga muncul tuntutan adalah tentang model kerja di kantor dan kerja jarak jauh.
Merujuk hasil survei Harvard Business School, terdapat 71 persen pekerja kantoran mau kembali ke kantor apabila seluruh karyawan sudah mendapat vaksin. Selain itu, ada 54 persen responden yang berharap ketika kembali ke kantor ada pembatasan jarak antarkaryawan.
Temuan survei yang dilakukan Harvard mengindikasikan adanya perubahan cara pandang yang cukup signifikan terhadap tempat atau ruang kerja. Maka, tidak heran bahwa perusahaan besar seperti Apple saat ini sedang menghadapi tuntutan dari karyawannya yang enggan untuk kembali bekerja di kantor seperti sebelum pandemi.
Hal serupa juga dialami oleh Google dan Microsoft yang berencana memberlakukan kebijakan bekerja hibrida atau campuran antara di kantor dan di luar kantor.
Baik prediksi yang dikemukakan Anthony Klotz maupun skenario adaptasi yang disebutkan Jack Kelly, keduanya menggambarkan sebuah pergeseran paradigma pekerja di masa krisis. Persoalan yang dihadapi setiap individu pekerja berbeda-beda. Mulai dari mengutamakan kebutuhan keluarga hingga ada yang berupaya memperluas karier di bidang baru yang lebih lentur dari terpaan krisis.
Namun, pendapat keduanya memiliki kesamaan benang merah dalam menyikapi fenomena kegalauan pekerja di saat pandemi. Saat ini yang dibutuhkan kaum pekerja adalah kepastian, baik itu dari aspek model kerja, penghasilan, maupun kenyamanan kerja.
Pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan membuat orientasi pekerja juga mulai terpusat pada pencarian kebahagiaan. Nilai keutamaan yang dipegang bukan lagi hanya mengejar jenjang penghasilan, melainkan juga berkutat pada keluarga dan ketenangan jiwa.
Keselamatan anggota keluarga dari paparan virus korona menjadi daya dorong kebahagiaan yang dicari para pekerja. Untuk aspek pengembangan diri, para pekerja lebih menghargai nilai-nilai kreativitas dalam bekerja.
Di masa pandemi yang masih serba tidak pasti, ukuran-ukuran keberhasilan pekerjaan, idealnya tidak lagi bersandar pada target-target di atas kertas, tetapi juga harus lebih banyak membuka ruang kreativitas. Terbukanya kreativitas karyawan juga dapat menjadi sarana berkumpulnya ide-ide baru yang dapat digunakan perusahaan untuk berkembang di saat krisis.
Maka, di sinilah peran penting perusahaan dalam menjaga kondusivitas iklim kerja dengan mau mendengarkan kebutuhan karyawannya. Dialog antara perusahaan dan pekerja diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam menentukan model kerja untuk memberikan kepastian bagi karyawan. Kepastian pola kerja ini sedikit banyak akan menjawab kegalauan para pekerja dalam mengarungi krisis pandemi Covid-19. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Tidak Cukup Hanya Bekerja dari Rumah