Yuk, Wisata Politik Susur Arah Koalisi Prabowo, Anies, dan Ganjar
Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo menjadi tiga nama yang diprediksi akan menentukan bandul koalisi pada Pemilu 2024. Komposisi partai politik jadi variabel penting guna menakar peluang ketiga nama ini.
Di tengah elektabilitas tokoh-tokoh yang sejauh ini masih terbilang rendah, meramu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden menjadi tak mudah. Diperlukan, tidak hanya kecermatan membaca peluang, tetapi juga strategi yang tepat menentukan pasangan.
Keruwetan menentukan dan memilih pasangan tampaknya akan menjadikan Pemilu Presiden 2024 penuh dinamika. Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan akan berada dalam pusaran keruwetan itu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Meski demikian, lika-liku perjalanan ketiganya menuju ajang kontestasi dapat menjadi sebuah wisata politik yang menarik untuk coba dijelajahi.
”Kalau Prabowo sama Puan, gimana”
”Ruwet ngadepin resistensi masyarakat.”
”Ganjar-Sandi?”
”Ruwet ngadepin resistensi partai.”
”Anies-AHY?”
”Yang ini ruwet cari koalisi partainya.”
Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo menjadi sosok-sosok yang cukup diperhitungkan publik untuk masuk ke dalam kontestasi nasional merebut posisi Presiden Republik Indonesia mendatang. Nama mereka hampir selalu masuk ke dalam tiga besar survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga riset.
Survei Litbang Kompas terakhir (April 2021), misalnya, setelah nama Joko Widodo, nama Prabowo disebut oleh 16,4 persen responden, Anies Baswedan 10 persen, dan Ganjar Pranowo 7,3 persen. Jika nama Jokowi tidak dimunculkan dalam ajang pertarungan, suara Prabowo naik menjadi 21,3 persen, Anies 11,7 persen, dan Ganjar 10,1 persen.
Prabowo-Puan
Meskipun saat ini elektabilitas Prabowo untuk menjadi calon presiden berada di posisi tertinggi dibandingkan dengan sejumlah kandidat lain, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra tersebut membutuhkan pasangan yang dapat mendongkrak suaranya agar lebih signifikan. Selain itu, Partai Gerindra yang hanya bermodalkan 78 kursi (13,57 persen) tidak cukup untuk mengajukan calon tanpa koalisi.
Setidaknya, sebuah partai harus memperoleh 115 kursi (20 persen dari total kursi DPR) di pemilu sebelumnya agar dapat mencalonkan sendiri di Pemilu 2024. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan, hanya PDI-P yang dapat mencalonkan diri tanpa harus berkoalisi karena mendapatkan 128 kursi (22,26 persen).
Bagi Prabowo dan Partai Gerindra, paling ideal tentu berkoalisi dengan PDI-P. Selain jumlah kursi menjadi lebih dari memadai (35,83 persen), gabungan suara Gerindra dan PDI-P juga cukup signifikan untuk meraup modal dukungan masyarakat. Suara yang diraih Gerindra 12,57 persen dan PDI-P 19,33 persen, total menjadi 31,9 persen.
Jika koalisi Grindra dan PDI-P ini terjadi, ruang gerak partai-partai lain untuk mencalonkan pasangannya menjadi makin sempit. Hanya dengan level kerumitan yang cukup tinggi dapat dihasilkan tiga pasang kandidat lainnya.
Untuk menghasilkan tiga pasang kandidat lain, hitung-hitungan di atas kertas, hanya terjadi jika Golkar berkoalisi dengan PAN, lalu PKB dengan Nasdem, dan terakhir Demokrat dengan PKS dan PPP. Namun, koalisi seperti itu tidak mudah dilakukan karena sebagian besar partai tersebut tidak punya kandidat potensial untuk dimajukan.
Figur dari partai selain Gerindra dan PDI-P, hanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Demokrat yang cukup menonjol. Namun, AHY belum cukup kuat untuk dicalonkan sebagai calon presiden, lebih mungkin sebagai calon wakil presiden.
Sementara partai-partai lain harus mencalonkan figur utama yang kuat dari luar partainya, jika tak ingin sia-sia mengikuti pemilu. Dengan begitu, peluang Prabowo untuk mendapatkan dukungan dari partai lain juga cukup besar.
Jika Gerindra menggandeng PDI-P dalam pilpres nanti, besar kemungkinan Prabowo akan menempatkan Puan sebagai calon wakilnya. Dengan posisi politik Puan saat ini yang sangat penting, sebagai Ketua DPR serta Ketua Bidang Politik dan Keamanan PDI-P, mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan itu sangat mungkin tetap dapat masuk bursa pencalonan. Terlebih, ia adalah ”putri mahkota” dari PDI-P, partai dengan raihan suara terbanyak pada pemilu lalu.
Tawaran ini tentu menjadi sebuah solusi bagi PDI-P jika yang ingin diraih adalah mempertahankan trah darah biru Soekarno dalam pusat kekuasaan. Meski demikian, ini juga akan menjadi pertaruhan terbesar bagi PDI-P.
Pertama, karena sebagai partai penguasa dan peraih suara terbanyak, hanya rela menjadikan kadernya sebagai orang nomor dua dalam pencalonan kandidat. Jika pun terpilih, ada potensi penurunan suara untuk PDI-P karena capres bukan dari partainya sendiri. Yang diuntungkan sudah pasti Gerindra yang memiliki kandidat untuk posisi orang nomor satu.
Terlebih jika pasangan Prabowo-Puan kalah dalam pemilu, tidak hanya kekuasaan yang gagal diraih, tetapi juga masa depan partai akan makin sulit terkonsolidasikan.
Kedua, pencalonan Prabowo-Puan akan membawa serta persoalan resistansi dan penerimaan. Mudahnya menjalin pasangan Prabowo-Puan tidak menjamin kemenangan pasangan tersebut karena adanya resistansi yang cukup tinggi di masyarakat terhadap Prabowo.
Survei Litbang Kompas pada Oktober 2018, enam bulan menjelang menjelang Pemilu 2019, misalnya, mencatat tingkat resistansi yang cukup tinggi terhadap Prabowo dan pasangannya, Sandiaga Uno. Resistansi pemilih terhadap mereka mencapai 38,1 persen, lebih tinggi daripada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang 29,7 persen.
Sementara itu, nama Puan Maharani hingga saat ini belum muncul sebagai figur yang diperhitungkan dalam Pemilu 2024. Sepanjang tiga kali survei terakhir Litbang Kompas (Agustus 2020, Januari dan April 2021), namanya belum muncul sebagai tokoh yang dipilih responden sebagai presiden jika pemilu dilaksanakan pada saat survei berlangsung. Ini artinya, level penerimaan terhadap Puan hingga saat ini masih sangat rendah.
Ketiga, peta pencalonan akan sangat memengaruhi oleh maju atau tidaknya Anies Baswedan dalam bursa pilpres. Jika Anies maju, pemilih yang selama ini berada di sisi anti-Jokowi akan terpecah dua, ke Prabowo dan Anies. Ini memungkinkan menguatnya dukungan yang cukup besar untuk calon alternatif.
Baca juga: Ada Yu Jiyem di Balik Rivalitas Ganjar dan Anies
Anies Baswedan-AHY
Anies Baswedan, meskipun dalam survei cukup menonjol, bukan berasal dari kader partai tertentu. Sosok Anies sangat mungkin diusung oleh PKS, seperti dalam Pilkada Jakarta, tetapi harus menggalang koalisi yang cukup untuk bisa maju ke ajang kontestasi.
PKS dalam pemilu lalu hanya mendapatkan 50 kursi, perlu 65 kursi lagi untuk dapat mencalonkan. Jika berkoalisi dengan hanya satu partai lainnya, yang memenuhi syarat adalah kalau berkoalisi dengan Golkar yang mendapatkan 85 kursi sehingga total kursinya menjadi 135.
Dengan koalisi PKS-Golkar, dapat terbentuk pasangan Anies-Airlangga Hartarto. Dengan modal basis massa Islam dan nasionalis, mungkin punya peluang untuk meraih suara signifikan meski nama Airlangga hingga saat ini belum muncul sebagai kandidat yang cukup diperhitungkan.
Sedangkan jika menggalang koalisi tiga partai, PKS dapat menghimpun kekuatan dari Demokrat yang memiliki 54 kursi dan PPP yang memiliki 19 kursi sehingga total kursinya menjadi 123.
Dengan pola koalisi seperti ini, Anies sangat mungkin menggandeng AHY sebagai calon wakilnya. Pasangan ini cukup prospektif dan dapat menjadi ganjalan serius bagi perolehan suara untuk Prabowo-Puan. Bahkan, sangat mungkin beberapa partai lain, terutama Nasdem yang sejak awal memunculkan tanda-tanda dukungan untuk Anies, juga merapat ke kubu Anies-AHY.
Meski demikian, Nasdem terkenal sebagai partai yang selama ini cerdik menghitung peluang. Jika peluang Prabowo lebih besar, kemungkinan merapat ke Anies juga kecil. Sementara PPP yang saat ini cukup nyaman berkoalisi dengan PDI-P di pemerintahan, dapat saja melanjutkan koalisinya dengan PDI-P sehingga akan menyulitkan Anies mencari dukungan partai lain.
Hal serupa sangat mungkin terjadi pada PKB meski di level daerah beberapa kali berkoalisi dengan PKS, pada level nasional tampaknya masih cukup menjaga jarak.
Jika pun mau berkoalisi, PKB akan punya tawaran yang tertinggi, yaitu memajukan nama Muhaimin Iskandar sebagai calon wakil Anies. Dan, ketika itu terjadi, Demokrat mungkin akan menjauh dari koalisi. Kembali lagi, Anies harus mencari partai lain.
Yang terdekat dengan PKS tentu adalah PAN yang dalam pilkada mendukung pasangan Anies-Sandi. Jika koalisi antara PKS, PAN, dan Demokrat terbentuk, Anies-AHY cukup aman untuk menghimpun suara umat Islam yang selama ini anti-Jokowi dan anti-PDI-P serta sangat mungkin juga menyedot suara kalangan nasionalis dari Partai Demokrat.
Elektabilitas Anies hingga saat ini tercatat 10 persen, berdasarkan survei Litbang Kompas. Sedangkan AHY 3,3 persen. Jika nama Jokowi tidak diikutkan dalam bursa, suara untuk Anies menjadi 11,7 persen dan AHY 4,4 persen. Modal ini cukup ideal untuk memulai koalisi, memanfaatkan momentum.
Meski demikian, Anies memiliki kerumitan yang fundamental, yang akan terjadi jika ia berhadapan dengan Prabowo pada pemilu mendatang. Saat ini, Anies sangat mengandalkan limpahan suara dari Prabowo karena mayoritas pemilihnya (52,1 persen) adalah pemilih yang pada pilpres lalu memilih Prabowo.
Pun demikian dengan Prabowo, sebagian suaranya sangat mungkin berasal dari simpatisan Anies pada Pilkada Jakarta 2017. Dengan demikian, rivalitas Anies dan Prabowo cenderung akan melemahkan keduanya.
Di tengah segregasi dukungan yang demikian, Anies seolah berkejaran dengan waktu karena masa kepemimpinannya sebagai Gubernur DKI Jakarta akan berakhir tahun 2022. Panggung politik dan posisi tawarnya menjadi calon presiden mungkin akan makin melemah setelah itu.
Nasibnya akan sepenuhnya bergantung pada partai pengusung karena ia bukan kader partai. Hanya dengan upaya keras menaikkan elektabilitasnya, pamor dan peluangnya untuk dicalonkan akan tetap terjaga.
Baca juga: Limpahan Suara Jokowi Juga Mengalir ke Anies
Ganjar-Sandiaga
Peta kontestasi dan koalisi Pemilu 2024 akan sangat dipengaruhi oleh sikap PDI-P. Jika ingin memajukan Puan dalam bursa pencapresan, paling mungkin adalah menggandeng partai yang tokohnya memiliki elektabilitas paling tinggi.
Gerindra dengan tokohnya Prabowo Subianto yang sejauh ini memiliki keterpilihan paling tinggi menjadi satu-satunya peluang bagi Puan dan PDI-P untuk berada di pusat kekuasaan. Dengan demikian, PDI-P merelakan Puan sebagai calon wakil presiden.
Namun, jika sikap yang pada akhirnya dipilih oleh PDI-P adalah merebut kembali posisi presiden, nama Ganjar Pranowo sudah pasti menjadi pertimbangan serius.
Elektabilitas Ganjar saat ini, berdasarkan survei Litbang Kompas, berada di angka 7,3 persen dan berada di urutan tiga besar tokoh yang dipilih publik untuk menjadi presiden. Bahkan, kalau bayang-bayang Jokowi dilepas, elektabilitasnya naik cukup tajam, menjadi 10,1 persen.
Hampir berimbang dengan Anies. Terlebih, setelah peristiwa tidak diundangnya Ganjar dalam temu kader PDI-P di Semarang yang memicu reaksi publik, sangat mungkin elektablitas Ganjar akan naik signifikan.
Jika Ganjar yang pada akhirnya dimajukan sebagai calon presiden, tetap yang paling ideal bagi PDI-P adalah menjalin koalisi dengan Gerindra. Meski demikian, pencalonan Ganjar oleh PDI-P sangat bergantung pada sikap Prabowo. Peluang Ganjar sebagai capres hanya bisa terjadi jika Prabowo tidak mencalonkan diri.
Kalau Prabowo tidak mencalonkan diri, tokoh yang paling mungkin untuk dimajukan oleh Gerindra adalah Sandiaga Uno. Mantan pasangan Prabowo ketika maju dalam Pilpres 2019 tersebut saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Sandiaga menjadi figur yang cukup diperhitungkan oleh publik untuk masuk bursa pencapresan. Dalam survei, namanya disebut oleh 3,7 persen responden sehingga menempatkannya di jajaran tengah popularitas keterpilihan. Dengan modal itu, Sandiaga berpotensi untuk digandeng menjadi calon wakil presiden.
Apakah Prabowo rela membuang kesempatan dan mewariskan peluangnya kepada Sandiaga? Itu hanya terjadi kalau, berdasarkan kalkulasi, peluang lebih besar kemenangan ada di pasangan Ganjar-Sandiaga dibandingkan dengan Prabowo-Puan.
Berdasarkan kalkulasi, peluang terjadinya limpahan suara dari Jokowi ke Ganjar saat ini cukup besar, yakni menaikkan dukungan bagi Ganjar 38,4 persen. Ini terjadi dalam kondisi netral, hanya menghilangkan nama Jokowi dari peta pertarungan. Limpahan suara itu dapat meningkat drastis jika Jokowi secara verbal memberikan dukungan hanya kepada Ganjar.
Namun, sama halnya hubungan saling ketergantungan antara Prabowo dan Anies, Ganjar juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Jokowi. Sebanyak 79,3 persen suara Ganjar berasal dari pendukung Jokowi pada pemilu lalu.
Dengan model patronasi seperti ini, nyaris tidak mungkin bagi Ganjar untuk melawan Jokowi jika terdapat amendemen yang memungkinkan Jokowi kembali mencalonkan diri. Ganjar juga sangat bergantung pada sikap PDI-P, terlebih karena mayoritas dukungannya berasal dari partai tersebut.
Semua kendali kontestasi pada akhirnya ada pada Jokowi. Apakah mengarahkan terbentuknya pasangan Prabowo-Puan ataukah Ganjar-Sandiaga. Atau, mengendalikan permainan dengan berkayuh di isu tiga periode. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Setengah Fiksi Pemilu: Pangeran-pangeran untuk Istana 2024