Ironi Banjir Informasi di Mata Publik
Fenomena banjir informasi menurut publik berada pada level yang buruk. Dampaknya pun beragam termasuk berpotensi menimbulkan segregasi sosial.
Banjir informasi menjadi sebuah ironi. Di satu sisi masyarakat diuntungkan dengan masifnya informasi yang beredar secara cepat, murah, dan mudah diperoleh. Namun pada sisi yang lain memunculkan dampak negatif dan segregasi sosial di masyarakat.
Situasi kejenuhan dan kebosanan masyarakat terhadap banjir informasi tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas. Hanya sepertiga responden saja yang merasa tidak jenuh dengan situasi banjir informasi yang terjadi, selebihnya merasa jenuh. Hal ini mengindikasikan masifnya persebaran konten informasi akibat dampak kemajuan teknologi tidak diikuti kesiapan literasi digital di masyarakat.
Pada hakekatnya percepatan teknologi informatika dan komunikasi yang disertai ledakan informasi ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, masyarakat lebih cepat terhubung dengan mudah melalui panggilan video, aplikasi percakapan, dan berkirim kabar melalui media sosial. Sebaliknya, banjir informasi melahirkan dampak informasi bohong atau hoaks yang merusak mental masyarakat.
Hoaks dalam istilah asilnya Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikan sebagai suatu bentuk penipuan yang tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoaks dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu. Walsh (2006) dalam bukunya berjudul “Sins Againts Science, The Scientific Media Hoaxes of Poe, Twain, and Others” menyebutkan bahwa istilah hoaks sudah ada sejak tahun 1800 awal revolusi industri di Inggris.
Baca juga: Banjir Informasi: Ladang Subur Tumbuhnya Hoaks
Data Kementerian Komunikasi dan Informatika periode 1 Agustus 2018 – 22 Juni 2021 menunjukkan terdapat 8.499 isu hoaks yang menerpa publik. Menurut data tersebut, tiga isu besar isu hoaks yang menerpa masyarakat terkait dengan bidang politik (1.252 hoaks), pemerintahan (1.702 hoaks), dan kesehatan (1.719 hoaks). Khusus kesehatan, mayoritas hoaks terkait pada isu pandemi Covid-19.
Publik mengungkapkan jika hoaks yang beredar saat ini mengkhawatirkan. Fakta tersebut ditemukan dalam jajak pendapat ini yakni sebanyak 41,6 persen menyatakan sangat mengkhawatirkan, sementara 42,3 menyatakan cukup mengkhawatirkan.
Jika ditelisik lebih jauh sumbernya, publik memandang media sosial dan situs daring merupakan penyumbang terbesar beredarnya hoaks di masyarakat. Publik melihat konten hoaks yang beredar di media sosial sudah berada pada level parah. Bahkan, sebanyak 35,3 persen diantaranya menyatakan konten hoaks di media sosial sangat parah dan 41,5 persen menyatakan cukup parah.
Bagi publik, kondisi banjir informasi yang melanda saat ini berpotensi menimbulkan segregasi sosial atau perpecahan di masyarakat yang berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), kemudian berbasis kelas sosial ekonomi, serta berbasis politik, ideologi, dan partai.
Baca juga: Mengapa Hoaks Cepat Menyebar?
Kondisi ini tidak terlepas dari kemampuan literasi digital masyarakat. Survei Literasi Digital yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2020 di 34 provinsi dengan melibatkan 1.670 responden menunjukkan skor literasi digital Indonesia sebesar 3,47 dari total 5. Angka rata-rata ini termasuk dalam kategori sedang. Indikator yang dikaji yakni informasi dan literasi data, komunikasi dan kolaborasi, keamanan, dan kemampuan teknologi.
Di tengah situasi banjir informasi saat ini, hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan sebagian responden menyatakan tetap mendapatkan intisari informasi yang disajikan media (48 persen) dan sebagian lagi menyatakan banjir informasi membuat bingung (41 persen), dan memunculkan ketidakpastian (9 persen).
Tingkat kepuasan publik terhadap akurasi informasi tergambar dalam jajak pendapat ini. Publik lebih merasa puas terhadap akurasi informasi yang disajikan media mainstream seperti surat kabar dan televisi (72 persen) dibandingkan media sosial. Ketidakpuasan akurasi terhadap media sosial tercermin dalam jajak pendapat ini sebesar 39,9 persen, sementara terhadap media mainstream sebesar 20 persen.
Hal ini bisa dipahami sebab proses produksi berita melalui media mainstream melalui jenjang yang cukup panjang. Untuk institusi surat kabar misalnya, proses produksi berita dimulai dari penentuan tema liputan, penentuan narasumber, reportase lapangan, proses penulisan berita, proses penyuntingan konten dan bahasa, dan penerbitan produk.
Sementara konten di media sosial bisa diproduksi secara instan oleh siapapun yang memiliki akun media sosial. Artikel “Information Overload Helps Fake News Spread, and Social Media Knows It” pada laman situs Scientific American (1/12/2020) menegaskan hal yang memperparah banjir informasi adalah penyebaran informasi secara daring.
Dalam artikel tersebut dijelaskan, masyarakat dengan mudahnya melihat dan memproduksi blog, video, tweet, dan unit informasi lain menjadi begitu murah dan mudah yang menyebabkan publik kebanjiran informasi. Akibatnya, masyarakat tidak dapat memproses semua materi instan sehingga memunculkan bias kognitif atau kesalahan sistematis dalam berpikir yang memengaruhi keputusan dan penilaian yang dibuat seseorang.
Baca juga: Hoaks Merajalela di Masa Pandemi
Upaya pengendalian
Terdapat tiga pemangku kepentingan yang menurut publik bertanggung jawab terhadap upaya pengendalian banjir informasi yakni pemerintah sebagai regulator (39 persen), institusi media sebagai produsen berita (24,9 persen), dan masyarakat sebagai market atau pasar (25,2 persen).
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembuat kebijakan diharapkan memperkuat regulasi yang mampu mengendalikan hoaks atau informasi bohong agar jangan sampai meracuni masyarakat. Publik memandang sebenarnya saat ini upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan banjir informasi sudah cukup memadai.
Pemerintah melalui Kemenkominfo membuat laman situs Aduan Konten sebagai fasilitas pengaduan isu hoaks. Melalui laman tersebut setiap orang berhak untuk menyampaikan pengaduan konten negatif dengan cara mendaftarkan diri, mengunggah tautan (link) serta tangkapan layar (screenshot) pada situs atau konten yang dilaporkan disertai alasan. Masyarakat juga bisa memantau proses penanganan yang dilakukan oleh Tim Aduan Konten Kemenkominfo.
Alasan publik mengapa banjir informasi perlu “dikendalikan” pada konteks supaya informasi yang beredar tidak menyesatkan masyarakat, diantaranya karena supaya masyarakat lebih tenang (57,4 persen). Selain itu, menurut publik banjir informasi berpotensi mengancam atau membahayakan negara (32 persen). Meskipun demikian, sebanyak 7 persen responden menyatakan banjir informasi tidak perlu dikendalikan karena pada akhirnya masyarakat yang akan menyeleksi sendiri informasi yang diterima.
Publik melihat konteks pengendalian informasi yang dilakukan pemerintah harus berbeda dengan konteks pengendalian informasi era Orde Baru. Konteksnya bukan mengekang kebebasan informasi atau kebebasan pers namun mengendalikan informasi bohong yang memiliki dampak pembodohan dan merusak tatanan sosial masyarakat.
Sistem pengendalian yang diterapkan menurut publik ada tiga hal yang bisa diprioritaskan yakni menyaring informasi (filter informasi), literasi digital terhadap masyarakat, dan adanya badan pengawas informasi. Ketiga hal ini sudah diimplementasikan seperti adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Program Literasi Digital Kemenkominfo, dan keberadaan Dewan Pers serta Komisi Penyiaran.
Kunci pengendalian informasi yang terpenting adalah di level masyarakat, karena bagaimanapun saat ini masyarakat tidak hanya sebagai konsumen informasi tetapi juga bisa menjadi produsen informasi sekaligus agen penyebar informasi. Banjir informasi akan berdampak sehat jika tidak disertai adanya kepentingan pihak tertentu yang menyeret masyarakat ke dalam arus turbulensi kebohongan informasi yang penuh guncangan. (Litbang Kompas)