Penanggulangan Penyakit dan Manifesto Politik Soekarno
Sejarah mencatat, Indonesia pernah mengalami wabah penyakit. Kondisi ini menjadi salah satu penghambat manifesto politik Presiden Soekarno yang ingin menciptakan kemakmuran berbasis kekuatan rakyat.
Oleh
Dedy Afrianto
·6 menit baca
Pada awal periode kemerdekaan, Indonesia pernah mengalami situasi yang mirip dengan kondisi saat ini dalam penanggulangan penyakit. Kekurangan tempat tidur, akurasi data, penyakit tanpa gejala yang tidak terlacak, hingga kerja-kerja birokrasi yang tidak taktis menjadi hambatan yang dihadapi oleh Indonesia saat itu dalam menangani sejumlah penyakit. Kondisi ini juga menjadi salah satu penghambat manifesto politik Presiden Soekarno yang ingin menciptakan kemakmuran berbasis kekuatan rakyat.
Pandemi Covid-19 memberikan tantangan yang tak mudah bagi Indonesia. Hingga kini, sejumlah persoalan mendasar terkait penanggulangan pandemi masih mencuat. Perbedaan data antara pemerintah pusat dan provinsi ataupun antara pemerintah provinsi dan kabupaten adalah salah satunya. Tak jarang terjadi perbedaan data yang dipublikasikan antara lembaga pemerintah, baik data kasus positif harian maupun data kematian akibat Covid-19.
Persoalan lain yang juga mencuat adalah pelacakan orang tanpa gejala hingga yang paling menyita perhatian, keterbatasan fasilitas kesehatan dalam menampung pasien di sejumlah daerah. Sejumlah persoalan ini menjadi hambatan dalam penanganan pandemi.
Jika berkaca dari perjalanan sejarah bangsa, situasi seperti ini bukanlah kali pertama dialami oleh Indonesia. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia juga pernah mengalami hal serupa.
Vivek Neelakantan, cendekiawan sejarah kesehatan masyarakat di Asia, dalam bukunya berjudul Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno(2019), mengungkapkan, terdapat empat penyakit utama yang dinilai memengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia pada dekade 1950-an. Keempat penyakit itu adalah malaria, tuberkulosis, frambusia, dan lepra.
Bahkan, keempat penyakit ini pada 1950 pernah ditetapkan oleh pemerintah di masa itu sebagai penyakit rakyat. Artinya, penyakit ini telah banyak menjangkiti sehingga menjadi penyakit endemik bagi Indonesia.
Penyakit frambusia, misalnya, pada 1949, diperkirakan 15 dari 100 penduduk Indonesia terpapar penyakit ini. Artinya, secara persentase, sekitar 15 persen penduduk Indonesia saat itu diperkirakan menderita frambusia. Persentase kasus ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah pasien terpapar Covid-19 di Indonesia yang menurut data resmi pemerintah hingga 23 Juni 2021 mencapai 0,8 persen dari jumlah penduduk.
Frambusia atau patek adalah penyakit menular antarmanusia yang disebabkan oleh infeksi kronis bakteri Treponema pertenue. Penyakit ini terlihat sebagai lesi pada kulit dan dapat menyebabkan cacat pada tulang.
Jumlah kasus yang juga cukup tinggi tercatat pada penyakit tuberkulosis. Diperkirakan, setiap 5 dari 100 orang di Indonesia terjangkit penyakit ini pada masa itu. Artinya, sekitar 5 persen penduduk Indonesia diperkirakan menderita tuberkulosis.
Dengan kondisi seperti ini, Indonesia yang saat itu baru sedikit bernapas setelah melalui gejolak revolusi, kembali dihadapkan oleh tantangan yang tak mudah. Tantangan hadir baik dari sisi kesehatan maupun dari sisi politik.
Dari sisi kesehatan, Indonesia saat itu tampak belum siap untuk menanggulangi penyakit yang banyak menjangkiti masyarakat. Apalagi, tidak hanya satu penyakit yang harus dihadapi.
Ketidaksiapan ini, misalnya, tampak dalam penanganan penyakit malaria. Salah satu kendala dalam penanganan penyakit malaria saat itu adalah persoalan birokrasi. Kerja-kerja pemerintahan yang berbelit dari pemerintah pusat dan daerah memperlambat upaya penanggulangan penyakit malaria.
Salah satu persoalan birokrasi ini terlihat dalam bidang penyediaan sarana transportasi. Penggantian suku cadang untuk keperluan pemberantasan program malaria di daerah membutuhkan waktu hingga dua bulan. Akibatnya, upaya penanggulangan penyakit malaria berjalan lamban. Selain itu, belum terpetakannya garis komando dan tanggung jawab dalam penanganan malaria juga turut menambah lamban penanganan penyakit ini.
Selain birokrasi, persoalan sarana kesehatan juga turut menghambat upaya penanggulangan penyakit di era kepemimpinan Soekarno. Dalam penanganan penyakit tuberkulosis, Indonesia hanya memiliki 15 sanatorium dengan kapasitas 1.537 tempat tidur. Padahal, saat itu jumlah orang di Indonesia yang telah tertular tuberkulosis ditaksir mencapai lebih dari satu juta orang.
Kondisi ini menghambat upaya kuratif dalam hal penanganan penyakit tuberkulosis di Indonesia. Di Bandung, Jawa Barat, misalnya, pada 1952 kekurangan tempat tidur saat melakukan penanggulangan tuberkulosis. Akibatnya, pengobatan hanya dilakukan dengan cara rawat jalan.
Kendala berikutnya yang dihadapi adalah pelacakan pada penderita frambusia. Keterbatasan jumlah tenaga medis di luar Pulau Jawa menyebabkan minimnya proses pelacakan, khususnya pada pasien yang tidak menimbulkan gejala berarti. Akibatnya, penularan menjadi ancaman yang cukup mengkhawatirkan, khususnya pada daerah-daerah dengan keterbatasan tenaga medis.
Hambatan tentang persoalan keterbatasan data juga menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh pemerintah di awal periode kemerdekaan, khususnya dalam menanggulangi penyakit lepra atau kusta. Sejumlah desa mencatatkan tingkat prevalensi hingga mencapai 15 pasien pada setiap 1.000 penduduk. Namun, data ini tidak tersedia secara lengkap pada seluruh wilayah (Neelakantan, 2019).
Segala hambatan ini tak hanya menjadi kendala bagi Indonesia dalam hal penanggulangan penyakit di setiap daerah di sisi kesehatan. Dari sisi politik, kondisi ini sekaligus menjadi batu sandungan bagi Presiden Soekarno untuk menjalankan roda pembangunan, terutama pembangunan berbasis sumber daya manusia. Padahal, wacana ini telah menjadi manifesto politik Soekarno untuk membangun Indonesia setelah berjuang mencapai kemerdekaan dan melalui periode revolusi.
Kekuatan rakyat yang diharapkan menjadi goyah untuk menopang pembangunan Indonesia karena banyaknya penyakit yang menjangkiti masyarakat. Artinya, persoalan kesehatan menjadi kendala bagi pemerintah untuk mencapai tujuan dan cita-cita politik. Kondisi tersebut mirip dengan situasi saat ini saat sejumlah program pemerintah harus kembali disesuaikan akibat pandemi Covid-19.
Ada dua langkah politik utama yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Pertama, melakukan kerja sama dengan sejumlah lembaga internasional. Saat itu, kalkulasi politik juga dimainkan untuk menerima kerja sama bantuan. Pasalnya, Indonesia mencoba menjadi negara nonblok di tengah Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Langkah berikutnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan strategi jemput bola. Pemerintah memutuskan untuk tidak bersikap pasif dan hanya menunggu kedatangan pasien yang bergejala. Untuk mengatasi sejumlah penyakit, dilakukan upaya jemput bola dengan mendata masyarakat secara langsung hingga ke permukiman.
Upaya ini salah satunya dilakukan untuk penanggulangan penyakit malaria. Survei dilakukan oleh pemerintah untuk memetakan kasus penyakit ini. Pada saat survei dilakukan, pengobatan langsung dilakukan jika petugas menemukan masyarakat yang diduga terjangkit penyakit malaria.
Bahkan, saking pentingnya upaya pemberantasan penyakit ini, Presiden Soekarno turun langsung untuk melakukan penyemprotan di kawasan Kalasan, Yogyakarta, November 1959. Ini menjadi simbol politik bahwa penanggulangan penyakit memperoleh perhatian serius dari pemerintah saat itu.
Upaya serupa dilakukan untuk menangani pasien tuberkulosis. Tenaga kesehatan melakukan kunjungan ke rumah penduduk untuk memastikan kondisi kesehatan warga setempat. Bagi pasien yang tidak mendapatkan tempat tidur, perawatan dilakukan dari rumah masing-masing dengan pantauan dari tenaga kesehatan.
Upaya lain yang dilakukan adalah melakukan sosialisasi langsung pada masyarakat, terutama keluarga pasien terkait penyakit yang diderita. Saat itu, pemerintah lebih memilih turun hingga rumah-rumah penduduk untuk memastikan bahwa masyarakat memahami kondisi kesehatan sehingga dapat mencegah penularan atau penambahan jumlah pasien baru.
Kondisi ini tentu dapat menjadi cermin bagi Indonesia dalam penanggulangan setiap penyakit saat ini ataupun di masa yang akan datang. Jangan sampai kondisi yang sama kembali terulang hanya karena kelalaian dalam melihat pengalaman sejarah bangsa (Litbang Kompas)