Masa Depan Perdamaian Israel-Palestina Kian Tak Pasti
Pergantian pemerintahan di Israel tidak menjamin akan ada perubahan terhadap konflik antara Israel dan Palestina. Masa depan perdamaian di Jalur Gaza dan Tepi Barat pun masih menyimpan ketidakpastian.
Instabilitas politik Israel selama dua setengah tahun terakhir berujung pada lengsernya Netanyahu setelah bercokol lebih dari satu dekade di kursi tertinggi pemerintahan.
Menariknya, tergesernya partai petahana memberikan ruang pada golongan minoritas, termasuk komunitas Arab, dalam peta kabinet pemerintahan Israel. Meskipun begitu, kuatnya konservatisme di tubuh pemerintahan masih menimbulkan tanda tanya atas titik terang terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina.
Peristiwa eskalasi konflik Israel-Palestina pada Mei lalu belum hilang dari ingatan kita. Krisis yang menyebabkan lebih dari 250 orang meninggal dan 2.000 lainnya luka-luka ini menjadi peristiwa eskalasi konflik Israel-Palestina yang paling buruk selama tiga tahun terakhir. Setelah sebelas hari pertempuran terbuka, keduanya pun sepakat melakukan gencatan senjata tanpa syarat.
Selesainya perang secara sementara ini juga dibarengi dengan usainya drama politik domestik Israel. Setidaknya selama dua setengah tahun terakhir terjadi perebutan kekuasaan yang cukup sengit antara partai Netanyahu (Likud) dengan partai-partai lainnya di Israel. Secara singkat, drama politik ini bisa dibagi menjadi empat babak.
Empat babak drama politik
Babak pertama ditandai dengan pemilu legislatif pada April 2019. Secara mengejutkan, Likud berhasil diimbangi oleh aliansi partai Biru dan Putih yang dipimpin oleh seorang reformis, Benny Gantz.
Namun, meski sama-sama memperoleh 35 kursi, partai Likud yang sedikit lebih unggul dari jumlah perolehan suara lebih dahulu berhasil membentuk koalisi pemerintahan.
Walakin, koalisi ini runtuh tak lama berselang akibat ketidakmampuan Likud mengakomodasi kepentingan partai-partai yang dipayunginya. Akhirnya, kabinet pun dicairkan dan parlemen sepakat mengadakan kembali pemilu pada paruh kedua tahun tersebut.
Pertarungan di pemilu kedua pada September 2019 menjadi penanda babak kedua drama politik Israel. Secara mengejutkan, partai Benny Gantz berhasil mengalahkan Likud dengan selisih 1 kursi. Awalnya, baik Likud maupun Biru dan Putih sepakat untuk membentuk koalisi pemerintahan dengan total perolehan sebesar 65 kursi.
Sebetulnya, apabila kedua partai ini bisa bekerja sama, konstelasi politik Israel bisa lebih stabil mengingat kedua partai ini bisa membentuk koalisi mayoritas (50 persen + 1 dari 120 kursi parlemen) tanpa mengundang partai lain.
Namun, spektrum politik kedua partai yang terlampau kontras akhirnya membuat mereka tak mampu menjaga keutuhan koalisi sehingga pemerintahan pun kembali dicairkan.
Pemilu pun kembali diadakan pada Maret 2020. Babak ketiga ontran-ontran politik ini kembali diperankan oleh Likud serta Biru dan Putih yang kembali memimpin perolehan kursi.
Baca Juga: Safari Diplomasi Modal Israel Tingkatkan Ketegangan
Meski mendapat kursi lebih sedikit dari Likud, pada awalnya Benny Gantz lah yang lebih dulu berhasil membentuk koalisi sekaligus mendapat restu dari presiden.
Namun, datangnya wabah Covid-19 ke Israel membuat Gantz berbalik arah dan justru meminang Netanyahu sebagai perdana menteri untuk membentuk pemerintahan darurat dengan perjanjian transfer kepemimpinan di tengah masa jabatannya nanti. Akan tetapi, langkah ini masih belum juga berhasil untuk membentuk pemerintahan yang stabil dan berujung pembubaran kabinet Israel di akhir 2020.
Babak final dari drama politik ini terjadi seusai pemilu yang diadakan pada Maret 2021. Berbeda dengan tiga pemilihan sebelumnya, kini aliansi Biru dan Putih yang dipimpin Gantz pecah dan suaranya dalam pemilu pun tergerus.
Pecahan dari aliansi besutan Gantz, Partai Yesh Atid, yang akhirnya maju sebagai pesaing dari Likud dengan perolehan sebesar 17 kursi. Meski terpaut cukup jauh dari Likud yang mendapat 30 kursi, justru Yesh Atid yang terlebih dahulu berhasil membentuk koalisi pemerintahan. Akhirnya, dengan diangkatnya Naftali Bennet dari Partai Yamina, karut-marut politik ini pun berakhir.
Masa depan perdamaian
Lantas bagaimana nasib masa depan perdamaian di kawasan Gaza dan Tepi Barat? Sayangnya, jawaban dari pertanyaan tersebut masih menggantung. Di satu sisi, koalisi pemerintahan Israel saat ini cenderung lebih heterogen dibandingkan dengan sebelumnya.
Tak hanya dikuasai partai berhaluan kanan, partai yang lebih reformis seperti aliansi Biru dan Putih, partai berhaluan sosialisme, bahkan Partai Ra’am yang menaungi golongan Arab juga ikut diberikan tempat di pemerintahan.
Masuknya Ra’am sebagai bagian dari koalisi ini pun bisa dibilang menjadi sebuah catatan sejarah baru. Tak hanya dipinang oleh Yesh Atid, Ra’am yang mengantongi 4 kursi parlemen juga menjadi kunci kemenangan partai koalisi yang saat itu baru mengonsolidasikan 57 kursi.
Posisinya sebagai king maker pun berbuah Kementerian Hubungan Arab yang sebelumnya tak ada di kabinet pemerintahan Israel. Pos ini kemudian diisi oleh pimpinan Ra’am Mansour Abbas, menjadikannya orang Muslim ketiga dalam sejarah Israel yang berhasil menjabat sebagai menteri.
Meskipun begitu, kabinet yang lebih inklusif ini tak dapat disalahartikan sebagai perubahan dalam arah kebijakan Israel terhadap Palestina. Meski ada representasi Arab di pemerintahan, akan sangat sulit bagi mereka untuk bersuara di tengah kuatnya partai-partai lain di koalisi yang sebagian besar masih cenderung konservatif dalam isu tersebut. Bahkan, Partai Yamina yang menaungi sang perdana menteri terkenal memiliki pandangan yang konservatif hingga mengarah ke ultrakanan.
Maka, tak mengherankan apabila Mahmoud Abbas, pemimpin PLO dan Fatah di Tepi Barat, tetap pesimistis dan hanya melihat Mansour Abbas sebagai politisi yang pragmatis saja. Bukan tanpa alasan, secara prinsip, kedua Abbas ini memiliki pandangan yang sangat berbeda.
Di satu sisi, Mansour Abbas lebih mendukung normalisasi hubungan Israel dengan bangsa Arab lain. Hal ini telah tampak ketika ia menjadi salah satu orang di balik perjanjian Abraham Accords yang berhasil membantu Israel untuk menormalisasi hubungan dengan beberapa negara Arab, seperti UEA dan Bahrain sepanjang 2020.
Di sisi lain, Mahmoud Abbas secara konsisten menyuarakan kemerdekaan Palestina. Maka, posisinya pun praktis berseberangan dengan Mansour dalam hal normalisasi.
Baginya, normalisasi hubungan Israel dengan negara Arab lainnya akan terus memojokkan posisi negara Palestina di percaturan politik global. Pasalnya, normalisasi hubungan antara Israel dan negara di kawasannya berpotensi untuk memecah dukungan negara Arab yang kian hari sudah terasa kian melemah.
Sayangnya, dugaan pesimistis Mahmoud Abbas ini terlampau cepat terbukti. Tak sampai tiga minggu dari pembentukan kabinet pemerintah baru, Pemerintah Israel kembali menghujani Gaza dan sekitarnya dengan serangan udara dengan dalih membalas aksi balon api yang dilakukan secara sporadis oleh simpatisan Hamas.
Meski hingga kini belum ada aksi balasan, bukan tidak mungkin apabila serangan ini kembali memantik krisis serta mengakhiri gencatan senjata yang baru seumur jagung itu.
Tak ayal, masa depan perdamaian di Jalur Gaza dan Tepi Barat pun masih tak pasti. Di tengah tekanan dari dua arah, di sisi diplomatik dan militer, diperlukan kemauan kuat dari kekuatan dunia untuk mengulurkan tangan dan melindungi Palestina.
Selain itu, baik Liga Arab maupun PBB perlu berbuat lebih jauh dari sekadar mengeluarkan retorika ”pengutukan” sehingga juga bisa menelurkan resolusi konflik yang adil. Jika tak ada langkah yang dramatis, konflik tujuh dekade ini terus berlanjut hingga berabad-abad kemudian. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Palestina, Israel, dan Moderasi